Maka jadilah seperti itu. Â Hotman dan Saulina seia-sekata membangun mahligai rumahtangga.Â
Adat perkawinan pun dijalankanlah. Dimulai dengan marhusip, bisik-bisik, pembicaraan awal antara keluarga Hotman dan Saulina. Dibisikkanlah di situ perkiraan besaran sinamot, mas kawin.
Setelah itu berlanjut ke marhata sinamot. Kerabat Dalihan Natolu dari kedua pihak, yaitu hula-hula, boru, dan dongan tubu bermusyawarah untuk mufakat besaran sinamot yang harus diserahkan keluarga Hotman kepada keluarga Saulina.
Rombongan keluarga Hotman berangkat pukul satu siang, selepas makan siang bersama di rumah Bistok. Di dalam rombongan itu ada Poltak, Binsar, dan Bistok. Ayah Binsar juga ikut. Nenek Poltak, tidak.
Binangalom itu kampung terpencil, jauh di selatan Panatapan, di pantai timur-luar Danau Toba. Jaraknya sekitar empatbelas kilometer dari Panatapan. Butuh waktu sekitar empat jam ke sana berjalan kaki.
Tapi ayah Hotman sudah menyewa sebuah motor prah. Dengan menumpangi motor barang itu, rombongan bergerak ke Lumbanjulu, tujuh kilometer di arah tenggara. Hanya sekitar limabelas menit lewat jalan raya Trans-Sumatra.
Dari Lumbanjulu, belok kanan memasuki jalan pasir-batu, motor prah bergerak pelan-pelan menuju Binangalom ke arah barat daya.Â
Itulah perjalanan sepanjang tujuh kilometer yang penuh goyangan dan guncangan. Jalanan berbatu, berlumpur, bergelombang, naik-turun bukit dan lembah.
Para penumpang harus berdiri atau duduk merapat ke dinding bak motor prah itu. Agar tubuh tak  terpental-pontal ke sana ke mari.
Motor prah berisi rombongan keluarga Hotman akhirnya tiba juga di Binangalom. Berhenti tepat di halaman rumah orangtua Saulina.Â
Kampung orangtua Saulina itu berada di ujung teluk Binangalom. Di pangkal sebuah lembah sempit, bersisian dengan muara sungai Binangalom yang berhulu di Gunung Simanuk-manuk.Â