Sabtu yang cerah. Sekolah bubar pukul sebelas, seerti biasa. Â Poltak, Binsar, Bistok, dan anak-anak lainnya dari Panatapan gembira mengayun langkah pulang ke rumah.
"Poltak! Binsar! Nanti kita ikut ke Binangalom, maukah?" Bistok tiba-tiba menawarkan sebuah perjalanan.
"Hah? Ikut marhata sinamot?" Binsar balik bertanya.
Semua warga Panatapan sudah tahu Hotman, abang Si Bistok, akan melepas status doli-doli namatua, bujang lapuk. Dia akan menikah dengan Saulina, adik sepupu Na Ringkot, anak perawan dari kampung Binangalom.Â
"Maulah!" Poltak berteriak mengiyakan, sebelum Bistok menjawab Binsar.
Maka jadilah begitu. Tiga sekawan itu ikut rombongan orangtua yang hendak marhata sinamot, musyawarah adat mahar kawin, ke Binangalom.
Ikhwal Hotman menemukan Saulina sebagai rongkap, jodoh, itu adalah berkah panen padi.
Bulan Juni sampai Juli adalah masa panen padi sawah di Panatapan. Â Saat Ama Ringkot panen, datanglah gadis Saulina, adik sepupu Na Ringkot, istrinya dari Binangalom untuk membantu.
Hotman ikut pula marsialapari, tolong-menolong, di sawah Ama Ringkot. Â Maka bertemulah Saulina dan Hotman di kegembiraan panen padi.
Entah siapa yang memulai, Saulina kemudian dijodoh-jodohkan dengan Hotman. Awalnya sebatas gurauan para penuai. Akhirnya menjadi isu sosial sekampung.
Maka jadilah seperti itu. Â Hotman dan Saulina seia-sekata membangun mahligai rumahtangga.Â
Adat perkawinan pun dijalankanlah. Dimulai dengan marhusip, bisik-bisik, pembicaraan awal antara keluarga Hotman dan Saulina. Dibisikkanlah di situ perkiraan besaran sinamot, mas kawin.
Setelah itu berlanjut ke marhata sinamot. Kerabat Dalihan Natolu dari kedua pihak, yaitu hula-hula, boru, dan dongan tubu bermusyawarah untuk mufakat besaran sinamot yang harus diserahkan keluarga Hotman kepada keluarga Saulina.
Rombongan keluarga Hotman berangkat pukul satu siang, selepas makan siang bersama di rumah Bistok. Di dalam rombongan itu ada Poltak, Binsar, dan Bistok. Ayah Binsar juga ikut. Nenek Poltak, tidak.
Binangalom itu kampung terpencil, jauh di selatan Panatapan, di pantai timur-luar Danau Toba. Jaraknya sekitar empatbelas kilometer dari Panatapan. Butuh waktu sekitar empat jam ke sana berjalan kaki.
Tapi ayah Hotman sudah menyewa sebuah motor prah. Dengan menumpangi motor barang itu, rombongan bergerak ke Lumbanjulu, tujuh kilometer di arah tenggara. Hanya sekitar limabelas menit lewat jalan raya Trans-Sumatra.
Dari Lumbanjulu, belok kanan memasuki jalan pasir-batu, motor prah bergerak pelan-pelan menuju Binangalom ke arah barat daya.Â
Itulah perjalanan sepanjang tujuh kilometer yang penuh goyangan dan guncangan. Jalanan berbatu, berlumpur, bergelombang, naik-turun bukit dan lembah.
Para penumpang harus berdiri atau duduk merapat ke dinding bak motor prah itu. Agar tubuh tak  terpental-pontal ke sana ke mari.
Motor prah berisi rombongan keluarga Hotman akhirnya tiba juga di Binangalom. Berhenti tepat di halaman rumah orangtua Saulina.Â
Kampung orangtua Saulina itu berada di ujung teluk Binangalom. Di pangkal sebuah lembah sempit, bersisian dengan muara sungai Binangalom yang berhulu di Gunung Simanuk-manuk.Â
Memandang ke arah barat dari kampung itu, tampaklah teluk Binangalom yang indah. Di kejauhan terlihat ujung selatan pulau Samosir.
"Horas!" Kerabat orangtua Saulina menyambut rombongan.
"Horas!" Anggota rombongan membalas, senyampang turun dari motir prah.Â
Poltak, Binsar, dan Bistok  yang pertama turun. Bertiga serentak melompat dari pintu belakang bak motor prah itu.
Anak-anak Binangalom memandang iri pada tiga sekawan itu. Â Bagi mereka, jangankan naik motor prah, melihatnya pun sangat jarang. Â
Sama-sama kampung di daratan Uluan-Toba, dibanding Panatapan, Binangalom lebih terbelakang. Kampung itu terlalu jauh dari jalan raya. Â Tak ada angkutan darat yang masuk ke sana.Â
Alat transportasi  utama bagi warga Binangalom adalah kapal danau.  Dengan kapal itu warga kampung  bepergian ke Parapat, Porsea,  dan Balige, atau ke Onanrunggu di Samosir.
"Buntora! Â Sini kau. Â Kenalan dengan teman-temanmu ini. Â Ajak mereka main-main!" Ayah Saulina berteriak kepada seorang anak lelaki yang sedang takjub mengamati roda-roda motor prah.
"Olo, Among." Â Anak bernama Buntora itu adik Saulina. Â Dia berlari mendekat, bersalaman, dan berkenalan dengan Poltak, Binsar, dan Bistok.
Ada yang spesial. Hidungnya yang berhias ingus hijau dan tubuhnya yang bongsor. Itu mengingatkan Poltak pada sosok Polmer.
"Mereka laemu," Ayahnya menegaskan.
"Ayo, kita ke tao," ajak Buntora kepada para laenya, iparnya itu. Sambil menghisap ingusnya. Slap.
"Badia! Hisar! Ayo ke tao!" Buntora mengajak juga dua orang temannya ikut ke tao, danau.
Enam anak sebaya itu berlari menyusuri jalan tanah landai ke tao, danau, ke bibir teluk Binangalom.
"Tulang Juangsa! Mau kemana, tulang!"Â
Buntora berteriak kepada seorang pemuda di anjungan sebuah kapal di pelabuhan.
"Tes mesin! Ke Situmurun!"Â
Pemuda bernama Juangsa itu, kenek kapal, dan seorang lelaki paruh baya yang duduk di bilik kemudi baru selesai mereparasi mesin kapal.
"Kami boleh ikut, ya, tulang?" Kali ini Hisar yang memohon.
"Boleh! Ayo! Naik semua!" Â
Keenam anak itu segera berlompatan naik ke lantai haluan kapal.Â
"Bah, siapa pula teman-temanmu ini, Buntora?" Jurumudi kapal bertanya heran.
"Mereka laeku, Ompung Golom. Adik-adik lae Hotman dari Panatapan. Ini lae Bistok, ini lae Binsar, dan ini lae Poltak."
"Bah. I do hape?" Bah, seperti itu rupanya.
Kapal memutar haluan dibantu tulang Juangsa dengan dorongan galah bambu, lalu bertolak lurus menuju mulut teluk.
Cuaca bagus untuk berlayar. Hari cerah, angin bertiup pelan. Permukaan danau tenang berhiaskan batak-batak, ombak-ombak kecil.
Di mulut teluk, kapal berbelok ke kanan, menyusur pantai lurus ke utara. Pantai timur-luar danau itu, di sebelah kanan, umumnya curam, kecuali pada lembah-lembah sempit yang dijadikan pemukiman. Begitupun pantai timur-dalam, di sebelah kiri, di pulau Samosir.Â
Selat di antara dua pantai itu dahulu, pada peristiwa letusan mahadahsyat Gunung Toba, Â terbentuk akibat kubah lava yang patah dua -- menjadi Samosir di barat dan Uluan-Toba di timur -- saat terangkat ke permukaan kawah.
"Parapat dan Balige sebelah mana, Buntora?" Poltak mencari orientasi.
"Sebelah mana, tulang?" Buntora minta jawaban pada Juangsa.
"Balige lurus jauh ke sana." Juangsa menunjuk ke arah selatan. "Parapat lurus jauh ke situ," lanjutnya sambil menunjuk ke arah utara. "Onanrunggu di seberang sana," menunjuk ke ujung daratan di barat.
Tak terasa waktu berlalu, tiba-tiba saja haluan kapal sudah mengarah tepat ke sebuah air terjun di tebing kanan.
"Situmurun!" Buntora, Badia, Hisar serentak bersorak sambil menunjuk ke arah air terjun yang jatuh ke danau dari puncak tebing.
Poltak, Binsar, dan Bistok takjub memandang air terjun itu. Untuk pertama kalinya mereka melihat air terjun sebesar dan setinggi itu. Dari seluruh murid SD Hutabolon, mereka menjadi yang pertama menyaksikannya.
"Situmurun itu tingginya tujuhpuluh meter. Ada tujuh tingkat." Ompung Golom, jurumudi, menjelaskan.
"Dari mana sumber airnya, ompung?" tanya Poltak.Â
"Dari gunung Simanuk-manuk."
"Bah. Banyak kalilah air di Simanuk-manuk itu." Poltak takjub.
"Itu berkah dari Namartua Simanuk-manuk. Roh leluhur kita yang bersemayam di sana." Ompung Golom menjelaskan.
Kapal berhenti tepat di samping air terjun. Poltak, Binsar, dan Bistok memandang takjub ke puncak air terjun.Â
"Rasanya kecil kali di bawah sini," bisik Poltak dalam hati.
"Ayo, mandi!" Buntora, Badia, dan Hisar bersorak. Bersamaan dengan itu, ketiganya sudah menyebur ke dasar air terjun. Telanjang bulat.
"Oi! Hati-hati kalian!" Tulang Juangsa mengingatkan.
"Ayo, Poltak! Binsar! Bistok! Lompat sini!" Buntora berteriak dari dasar air terjun.Â
"Lompat, Poltak!" Binsar dan Bistok berteriak sambil terjun ke danau.
Poltak melepas kemeja dan celana pendeknya. Tinggal sembat, celana dalam, melekat di tubuhnya. Lalu ikut terjun ke air danau yang dingin.
Keenam anak itu bersuka-ria, berenang-renang, di sekitar dasar air terjun. Bercanda dan berceloteh. Kecipak air ramai meningkah.
Buntora, Badia, dan Hisar adalah jago-jago renang dan selam. Mereka bergerak di air layaknya anak-anak ikan mujair. Itulah kelebihan anak-anak pantai Danau Toba.
Bedalah dengan Poltak, Binsar, dan Bistok. Mereka cuma punya pengalaman renang di lubuk sungai, tebat, dan pea, rawa. Tak punya pengalaman mengatasi ombak dan arus bawah air.
"Tolong! Tolong!" Tiba-tiba Poltak berteriak-teriak minta tolong.Â
Tanpa disadari, Poltak rupanya terseret arus ke tepi lingkaran dasar air terjun. Itu bidang mati gaya. Di antara tarikan air terjun ke dasar danau dan dorongan air naik kembali ke permukaan.
"Tolong!" Poltak masih berteriak keras, sebelum dia merasakan tarikan pada kedua kakinya ke dasar air terjun.
Di bawah air, Poltak merasa tubuhnya terseret ke dalam pusaran, Â lalu ikut berputar-putar tiada henti. Terjebak di dasar air terjun.
"Tuhan, tolong. Aku calon pastor, Tuhan."Â
Poltak belum hilang kesadaran. Masih sempat berdoa. Walau dalam nada putus asa. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H