"Mereka laeku, Ompung Golom. Adik-adik lae Hotman dari Panatapan. Ini lae Bistok, ini lae Binsar, dan ini lae Poltak."
"Bah. I do hape?" Bah, seperti itu rupanya.
Kapal memutar haluan dibantu tulang Juangsa dengan dorongan galah bambu, lalu bertolak lurus menuju mulut teluk.
Cuaca bagus untuk berlayar. Hari cerah, angin bertiup pelan. Permukaan danau tenang berhiaskan batak-batak, ombak-ombak kecil.
Di mulut teluk, kapal berbelok ke kanan, menyusur pantai lurus ke utara. Pantai timur-luar danau itu, di sebelah kanan, umumnya curam, kecuali pada lembah-lembah sempit yang dijadikan pemukiman. Begitupun pantai timur-dalam, di sebelah kiri, di pulau Samosir.Â
Selat di antara dua pantai itu dahulu, pada peristiwa letusan mahadahsyat Gunung Toba, Â terbentuk akibat kubah lava yang patah dua -- menjadi Samosir di barat dan Uluan-Toba di timur -- saat terangkat ke permukaan kawah.
"Parapat dan Balige sebelah mana, Buntora?" Poltak mencari orientasi.
"Sebelah mana, tulang?" Buntora minta jawaban pada Juangsa.
"Balige lurus jauh ke sana." Juangsa menunjuk ke arah selatan. "Parapat lurus jauh ke situ," lanjutnya sambil menunjuk ke arah utara. "Onanrunggu di seberang sana," menunjuk ke ujung daratan di barat.
Tak terasa waktu berlalu, tiba-tiba saja haluan kapal sudah mengarah tepat ke sebuah air terjun di tebing kanan.