"Ayo, Poltak! Binsar! Bistok! Lompat sini!" Buntora berteriak dari dasar air terjun.Â
"Lompat, Poltak!" Binsar dan Bistok berteriak sambil terjun ke danau.
Poltak melepas kemeja dan celana pendeknya. Tinggal sembat, celana dalam, melekat di tubuhnya. Lalu ikut terjun ke air danau yang dingin.
Keenam anak itu bersuka-ria, berenang-renang, di sekitar dasar air terjun. Bercanda dan berceloteh. Kecipak air ramai meningkah.
Buntora, Badia, dan Hisar adalah jago-jago renang dan selam. Mereka bergerak di air layaknya anak-anak ikan mujair. Itulah kelebihan anak-anak pantai Danau Toba.
Bedalah dengan Poltak, Binsar, dan Bistok. Mereka cuma punya pengalaman renang di lubuk sungai, tebat, dan pea, rawa. Tak punya pengalaman mengatasi ombak dan arus bawah air.
"Tolong! Tolong!" Tiba-tiba Poltak berteriak-teriak minta tolong.Â
Tanpa disadari, Poltak rupanya terseret arus ke tepi lingkaran dasar air terjun. Itu bidang mati gaya. Di antara tarikan air terjun ke dasar danau dan dorongan air naik kembali ke permukaan.
"Tolong!" Poltak masih berteriak keras, sebelum dia merasakan tarikan pada kedua kakinya ke dasar air terjun.
Di bawah air, Poltak merasa tubuhnya terseret ke dalam pusaran, Â lalu ikut berputar-putar tiada henti. Terjebak di dasar air terjun.
"Tuhan, tolong. Aku calon pastor, Tuhan."Â