Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengelola Relasi dengan Tetangga Toksik

20 Oktober 2022   14:54 Diperbarui: 21 Oktober 2022   16:01 1571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetangga itu ibarat kucing dalam karung. Mungkin dia "madu", mungkin juga "racun". Setelah sedikitnya satu semester bertetangga, barulah terang sosoknya.

Kalau bukan "madu" pemanis hidup,  ya, "racun" perusak hidup.

Kalau kebetulan tetangga itu "madu", ya, syukur kepada Tuhan. Tapi menikmatinya jangan berlebihan. Ingat, "diabetes" bisa merusak hidup, bahkan membunuh.

Kalau tetangga ternyata "racun"? Nah, ini yang mesti dikelola ekstra serius, jika solusi pindah rumah hal mustahil.

Saya hendak berbagi tip kelola relasi dengan -- sebut saja ustilahnya -- tetangga toksik semacam itu. 

***

Karena ini kisah nyata, maka nama orang dan tempat akan saya samarkan (pseudonim). Agar terhindar dari sangkaan pencemaran nama baik.

Tersebutlah Poltak.  Dia, sekeluarga, pindah rumah ke Gang Sapi Jakarta 25 tahun lalu. Jadi secara kependudukan karena sudah 20 tahun lebih, keluarga Poltak sudah tergolong "penduduk asli". Bukan pendatang lagi.

Indikasinya, Poltak kini selalu diundang ikut rapat RT. Tak hanya dimintai iuran RT. Bahkan sejumlah tetangganya menanyakan kesediaan Poltak menjadi Ketua RT.

Tapi situasi itu ibarat sungai yang dalam. Permukaannya tenang tapi di dasarnya ada gejolak.

Relasi pertetanggaan Poltak sejatinya tidak baik-baik saja. Khususnya dengan tetangga sebelah kiri, depan (seberang), dan belakang rumah. Mereka adalah tetangga toksik untuk Poltak.  Sementara tetangga sebelah kanan rumah adalah "madu" yang tak pernah dimanfaatkan.

Tiga tetangga itu dikatakan toksik karena menerabas wilayah hak privat Poltak dan, juga, mengokupasi wilayah hak publik seolah hak privat.

Hal itu lalu menimbulkan konflik hak kepemilikan yang berkepanjangan karena, walau sudah ada solusi, merusak keserasian sosio-psikologis antar tetangga.

Begini ceritanya menurut tuturan Poltak.

Kasus pemanfaatan tembok rumah

Carport rumah Poltak aslinya dipisahkan oleh tembok setinggi 1.80 cm dengan carport tetangga rumah sebelah kiri. Tembok itu itu adalah tembok rumah milik Poltak.  

Masalahnya, tetangga aktif memanfaatkan bagian atas tembok itu untuk meletakkan aneka benda. Semisal kemasan oli, kemasan cat, kuas bekas, dan spon kotor. Juga menjembreng kain gombal dan lap chamois kotor.

Bagi Poltak, istri, dan anak-anaknya, ulah tetangga itu tergolong pemanfaatan ilegal. Sudah ilegal, eh, jorok pula. Bagaimanapun, itu bukan pemandangan yang elok.

Sudah diingatkan Poltak sampai tiga kali, kelakuan tetangganya itu tak berubah juga. Pemandangan tak elok itu masih eksis juga.

Ya, sudah. Tak ada cara lain. Tembok ditinggikan sampai ke atap carport. Tentu setelah pemberitahuan kepada tetangga tadi.

Case closed? Harapan Poltak begitu. Nyatanya tidak. Tetangganya malah kreatif menanamkan paku di tembok carport untuk mengantung apa saja yang dia mau gantung. 

Meski ulah tetangga itu terbilang merusak tembok, tapi Poltak tak menegurnya. Menurut Poltak, itu termasuk korbanan bertetangga.

Untuk menjaga relasi dengan tetangganya, Poltak mengambil sikap toleran. Ada kepentingan tetangga yang dimaklumi, walau tak semestinya demikian.

Kasus okupasi jalan umum

Tetangga depan (seberang) rumah Poltak adalah pedagang rupa-rupa barang.  Selain mengusahakan warung kelontongan, dia juga menjual bahan bangunan bekas (kayu, pralon, besi) dan kayu bakar.  Menjelang lebaran dia juga jual kambing.  

Sumber masalah adalah bahan bangunan bekas, kayu bakar, dan kambing-kambing itu.  Semua dijejalkan di sebidang pekarangannya yang sempit.  

Beberapa kali terjadi bahan bangunan bekas dan kayu bakar itu meluber ke badan jalan Gang Sapi.  Persis di depan gerbang carport rumah Poltak. Hal itu menyulitkan Poltak memasukkan mobilnya ke carport.  Ruang belok terlalu sempit, sehingga besar risiko badan mobil menggesek ujung luar tembok carport.

Poltak sudah mengingatkan tetangga itu agak tak menumpuk barang di jalan itu dagangannya di badan jalan.  Tapi tetangganya diam saja, cuek,  tak ambil peduli. 

Sekali peristiwa, tetangga itu menjemur kayu bakar pada setengah badan jalan persis di depan carport rumah Poltak.  

Saat Poltak menegur tetangganya, eh, itu tetangga malah marah-marah berdalih dulu tanah miliknya.  

Kali ini Poltak memilih konflik terbuka di ruang publik.  Dia berargumentasi, tak peduli dulu jalan itu tanah tetangganya, faktanya sekarang itu jalan umum.  Jadi jalan itu tak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi.

Kalah argumen, tetangganya mati kata. Tapi, bukannya mengangkat kayu bakar miliknya dari badan jalan, malah ngacir masuk rumah.

Tak ada pilihan lain. Poltak naik ke mobilnya lalu melindas kayu bakar itu. Sebagian kayu bakar jadi remuk karena asalnya kayu kaso setengah lapuk.

Setelah peristiwa itu, tetangga tadi tak pernah lagi mengokupasi badan jalan Gang Sapi dengan barang dagangannya.  Pilihan Poltak untuk konflik terbuka terbukti menjadi solusi efektif.

Kasus okupasi tembok rumah

Ini ulah tetangga belakang rumah.  Sudah telat saat diketahui.

Tetangga itu diam-diam membangun rumah bedeng untuk anaknya yang baru menikah. Ternyata bangunannya langsung menempel ke tembok dapur rumah Poltak. Dia tidak membangun tembok sendiri.

Hal itu diketahui Poltak saat para tukang sudah memasang atap.  Pemilik rumah hanya minta maaf dan minta izin saat Poltak meminta dia untuk membangun tembok sendiri.  Jangan menghaki tembok rumah tetangga.

Tapi nasi sudah menjadi bubur.  Menyuruh bongkar rumah itu jelas tak manusiawi. Meminta kompensasi nanti malah bikin tetangga merasa penguasa tembok.

Poltak terpaksa harus mengambil sikap akomodatif sebagai solusi.  Dia mengakomodir pemenuhan kepentingan tetangga belakang rumah  pada temboknya. Dengan kesepakatan, tetangga dilarang meningkat rumah bedengnya. 

Kasus pemeliharaan selokan depan rumah

Poltak membayar seorang tukang sampah khusus untuk mengangkat sampah rumahan dua kali seminggu.  Sedangkan ketiga tetangganya tadi tergantung pada tukang angkut sampah dari kelurahan yang belum tentu datang sekali sebulan.

Akibatnya, tiga tetangga itu sering membuang sampah rumah tangga ke selokan.  Pada musim hujan, sampah itu akan terbawa arus air ke Kali Mampang (anak Kali Krukut).  Tapi pada musim kemarau, sampah akan menumpuk di selokan. Lalu membusuk di situ dan menebar bau yang bikin pening kepala.

Poltak satu dua kali melihat tetangga akan buang sampah ke selokan.  Saat ditegur, sampah dibawa kembali ke rumahnya. 

Tapi Poltak kan bukan polisi sampah.  Lebih sering dia tak lihat.  Lalu tiba-tiba saja sampah sudah menumpuk di selokan depan rumahnya.

Karena sudah menyangkut penyalahgunaan selokan, sarana umum, Poltak memilih untuk menyampaikan masalah itu kepada Pak RT.  Minta agar Pak RT menegur keras warga agar tak membuang sampak ke dalam selokan.

Pak RT kemudian menegur warga, termasuk tetangga Poltak.  Tindakan buang sampah ke selokan berhenti dua-tiga hari.  Setelah itu terjadi lagi, tapi dengan intensitas dan frekuensi yang lebih rendah. 

Bagi Poltak, kondisi itu diterima sebagai situasi stalemate. Semacam dead lock. Tetangga berusaha mengurangi tindakan buang sampah ke selokan.  Poltak mengurangi tuntutannya tentang kebersihan selokan. 

***

Berdasar pengalaman Poltak, ada empat cara yang dapat diterapkan dalam pengelolaan relasi dengan tetangga yang toksik. Tetangga yang hanya peduli kepentingannya, tanpa peduli kepentingan pihak lain.  

Pertama, toleransi yaitu memaklumi pemenuhan kepentingan tetangga yang sebenarnya tidak boleh, tapi pada akhirnya diterima sebagai biaya sosial ketetanggaan.

Kedua, akomodasi yaitu menerima pemenuhan kepentingan tetangga pada aset milik sendiri, dengan pembatasan-pembatasan tertentu.

Ketiga, stalemate yaitu saling menekan kepentingan sampai ke titik terendah yang "buntu", tak mungkin lagi dikurangi (oleh tetangga toksik) atau dinaikkan (oleh tetangga yang protes). 

Keempat, konflik langsung dan terbuka untuk menempatkan hak dan kewajiban setiap pihak yang bertetangga pada posisi dan porsi yang benar.

Belajar dari pengalaman Poltak, kunci pengelolaan relasi dengan tetangga yang toksik adalah penerapan prinsip-prinsip toleransi, akomodasi, stalemate, dan konflik secara terukur. 

Sedapat mungkin terapkan cara-cara toleran, tapi jika terpaksa, jangan ragu menerapkan cara konflik.  Keduanya adalah dua ujung ekstrim dalam kontinuum cara mencapai keserasian relasi ketetanggaan.

Tapi ada biaya yang harus dibayar setelah menerapkan cara-cara kelola relasi dengan tetangga toksik itu. Pada kasus Poltak, relasinya dengan tiga tetangga toksik itu tak pernah sama lagi dengan sebelum konfflik kepentingan terjadi.

Secara sosio-psikologis, Poltak telah menjaga jarak dengan tiga tetangganya itu. Dia sudah mempersepsikan tetangganya toksik. Mendekat-dekatkan diri dengan tetangga macam itu sama saja mengundang semburan "racun" lagi.

Sebaliknya, Poltak juga sadar. Bagi tiga tetangganya, dia mungkin dipersepsikan toksik juga. Sebab mengganggu pemenuhan kepentingan mereka -- yang hanya dipersoalkan oleh Poltak. Jadi mereka juga jaga jarak pada Poltak.

Tapi ketidak-nyamanan sosio-psikologis semacam itu adalah keniscayaan. Itu adalah risiko-risiko yang harus diterima dalam pertetanggaan. Sebab mustahil tetangga harus seperti yang kita mau. Sama mustahilnya juga, kita harus sesuai dengan yang tetangga mau. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun