Tetangga itu ibarat kucing dalam karung. Mungkin dia "madu", mungkin juga "racun". Setelah sedikitnya satu semester bertetangga, barulah terang sosoknya.
Kalau bukan "madu" pemanis hidup, Â ya, "racun" perusak hidup.
Kalau kebetulan tetangga itu "madu", ya, syukur kepada Tuhan. Tapi menikmatinya jangan berlebihan. Ingat, "diabetes" bisa merusak hidup, bahkan membunuh.
Kalau tetangga ternyata "racun"? Nah, ini yang mesti dikelola ekstra serius, jika solusi pindah rumah hal mustahil.
Saya hendak berbagi tip kelola relasi dengan -- sebut saja ustilahnya -- tetangga toksik semacam itu.Â
***
Karena ini kisah nyata, maka nama orang dan tempat akan saya samarkan (pseudonim). Agar terhindar dari sangkaan pencemaran nama baik.
Tersebutlah Poltak. Â Dia, sekeluarga, pindah rumah ke Gang Sapi Jakarta 25 tahun lalu. Jadi secara kependudukan karena sudah 20 tahun lebih, keluarga Poltak sudah tergolong "penduduk asli". Bukan pendatang lagi.
Indikasinya, Poltak kini selalu diundang ikut rapat RT. Tak hanya dimintai iuran RT. Bahkan sejumlah tetangganya menanyakan kesediaan Poltak menjadi Ketua RT.
Tapi situasi itu ibarat sungai yang dalam. Permukaannya tenang tapi di dasarnya ada gejolak.