Belajar dari pengalaman Poltak, kunci pengelolaan relasi dengan tetangga yang toksik adalah penerapan prinsip-prinsip toleransi, akomodasi, stalemate, dan konflik secara terukur.Â
Sedapat mungkin terapkan cara-cara toleran, tapi jika terpaksa, jangan ragu menerapkan cara konflik. Â Keduanya adalah dua ujung ekstrim dalam kontinuum cara mencapai keserasian relasi ketetanggaan.
Tapi ada biaya yang harus dibayar setelah menerapkan cara-cara kelola relasi dengan tetangga toksik itu. Pada kasus Poltak, relasinya dengan tiga tetangga toksik itu tak pernah sama lagi dengan sebelum konfflik kepentingan terjadi.
Secara sosio-psikologis, Poltak telah menjaga jarak dengan tiga tetangganya itu. Dia sudah mempersepsikan tetangganya toksik. Mendekat-dekatkan diri dengan tetangga macam itu sama saja mengundang semburan "racun" lagi.
Sebaliknya, Poltak juga sadar. Bagi tiga tetangganya, dia mungkin dipersepsikan toksik juga. Sebab mengganggu pemenuhan kepentingan mereka -- yang hanya dipersoalkan oleh Poltak. Jadi mereka juga jaga jarak pada Poltak.
Tapi ketidak-nyamanan sosio-psikologis semacam itu adalah keniscayaan. Itu adalah risiko-risiko yang harus diterima dalam pertetanggaan. Sebab mustahil tetangga harus seperti yang kita mau. Sama mustahilnya juga, kita harus sesuai dengan yang tetangga mau. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H