"Malam pertama selalu mendebarkan. Tak perduli kamu bukan lagi perjaka atau perawan."
Pantang pulang sebelum lulus. Itu prinsip Poltak dalam melakoni hidup merantau kuliah di pulau Jawa. Tak bisa ditawar.
Karena itu dia harus memendam dulu cita-citanya naik kapal laut "Tampomas". Itu cita-cita setiap BTL (Batak Tembak Langsung). Dari Toba langsung ke Jakarta naik kapal laut "Tampomas" rute Belawan-Tanjung Priok.
Poltak gagal naik "Tampomas" tahun 1980, saat pertama berangkat merantau ke Jawa. Â Kapal itu diberitakan sedang rusak. Akibatnya dia naik kapal terbang "Mandala" ke Jakarta. Hal itu sudah diceritakan sebelum ini.
Tapi cita-cita Poltak naik kapal "Tampomas" memang tak akan kesampaian. Pada tanggal 27 Januari 1981 kapal itu (Tampomas 2) terbakar dan tenggelam di perairan Masalembo Laut Jawa. Diberitakan sebanyak  369 orang penumpang tewas.
Kapal "Kambuna" kemudian diberitakan datang sebagai pengganti "Tampomas". Baiklah, Poltak kelak akan naik kapal baru itu bila tiba saatnya pulang kampung.
Saat itu tiba 4.5 tahun kemudian, di pertengahan tahun 1984. Itu tahun kelulusan Poltak secara tak terduga dari sebuah PTN ternama di Bogor.
Kelulusan tak terduga?Â
Begitulah. Waktu itu Poltak sedang sibuk bolak-balik ke dosen pembimbing untuk finalisasi skripsi tentang masyarakat transmigran di Tulangbawang, Lampung. Waktu pendaftaran wisuda sudah hampur lewat. Sehingga dia sudah ikhlas melewatkan kesempatan itu.
"Sudah daftar wisuda?" Tiba-tiba dosen pembimbing bertanya di satu siang yang cerah.
"Belum, Pak."
"Lho, kenapa?"
"Saya, kan belum ujian skripsi, Pak."
"Lho, Anda saya tanyai setiap kali konsultasi skripsi itu apa namanya kalau bukan ujian?"
"Oh ...." Poltak melongo, dungu. Ekspresi yang tak mencerminkan kesarjanaan.
"Ini," kata dosen pembimbing sambil mengangsurkan borang kelulusan yang sudah diteken, "Segera daftar wisuda ke fakultas."
"Baik, Pak. Terimakasih, terimakasih, terimakasih, Pak." Poltak salim ke dosen pembimbingnya sambil hatinya terbang ke awan, lalu berlari ke kantor fakultas.
Siang itu batas waktu terakhir pendaftaran wisuda.
Poltak akhirnya lulus dan wisuda sarjana juga. Satu-satunya sarjana yang lulus tanpa sidang ujian skripsi, mungkin, setelah Ir. Kasim Arifin. Kasim adalah legenda KKN IPB yang baru pulang 15 tahun kemudian dari Desa Waimital, Pulau Seram, untuk diwisuda jadi sarjana pertanian, sejak pergi ke sana tahun 1964.
Gelar insiniur kini boleh dicantumkan di depan nama Poltak. Lengkapnya Ir. Poltak Sitralala, begitu. Keren juga, eh. Â
Tapi yang lebih menggembirakan adalah pemenuhan syarat pulang kampung. Boleh pulang jika dan hanya jika telah lulus sarjana. Waktunya telah tiba.
***
Setelah wisuda sarjana yang terasa biasa-biasa saja, Poltak segera bersiap untuk pulang kampung naik kapal laut "Kambuna". Â Dia beli tiket kelas ekonomi di sebuah agen perjalanan di kota Bogor.
Kelas ekonomi itu paling rendah. Â Disebut juga dek, kelas ekonomi itu berupa aula berisi puluhan tempat tidur berjejer rapat. Kakus dan kamar mandinya adalah fasilitas bersama, dipakai ramai-ramai. Harus tabah antri.
Selain beli tiket, Poltak juga membeli oleh-oleh wajib Jakarta yaitu dodol Garut. Orang Batak tidak syah pulang kampung dari Jakarta (Jawa) bila tanpa oleh-oleh dodol Garut. Begitulah tradisi buah tangan yang pondasinya diletakkan oleh para perantau generasi terdahulu.
Tibalah hari kepulangan, suatu Senin tahun 1984. Poltak dan seorang temannya sesama sarjana baru, Lundu anak Pangkalan Brandan, masuk ke terminal penumpang di Tanjung Priok. Mereka bersama seribuan penumpang lain, siap berlomba naik ke atas kapal "Kambuna" yang sudah sandar di pelabuhan.
Berlomba naik ke atas kapal?
Begitulah nasib penumpang kelas ekonomi atau kelas dek. Pada karcisnya tidak ada nomor tempat tidur. Jadi penumpang harus berebutan naik ke atas kapal untuk menjadi yang terdahulu mendapatkan tempat tidur di dek.Â
Itu artinya Poltak harus kuat menahan dorongan dan gencetan saat naik tangga ke atas kapal. Jelas di situ tak ada gunanya gelar sarjana. Kuli pelabuhan yang buta huruf lebih bisa diandalkan untuk urusan semacam itu. Wajar jika ada yang membayar mereka untuk ngetek tempat tidur di atas kapal.
Begitulah. Â Setelah mandi keringat dan merelakan tubuh macam daging giling, akhirnya Poltak dan Lundu sukses juga mendapatkan tempat tidur bersisian di dek. Poltak bertetangga dengan seorang nenek di sebelah kirinya. Nenek itu mendapat tempat tidur yang telah ditek oleh seorang buruh pelabuhan. Mestinya dibayar oleh anaknya. Lundu sendiri bertetangga dengan seorang lelaki paruh baya.Â
Tempat tidur itu tanpa alas tilam. Jika mau pakai tilam, bisa sewa pada anak buah kapal (ABK) seharga Rp 5,000 untuk dua malam. Konon itu akal-akalan ABK untuk dapat duit tambahan. Aslinya setiap tempat tidur itu ada tilamnya.
Poltak dan temannya, Lundu, memutuskan tidur tanpa alas tilam. Cukup pakai sarung sendiri. Untuk bantal, Poltak memanfaatkan tas ransel miliknya. Lundu juga begitu.
Terompet kapal berbunyi. Tanda kapal akan mengawali pelayarannya menuju pelabuhan Belawan, Medan.Â
Poltak bergegas menuju buritan. Di sana sudah banyak penumpang berdiri melambaikan tangan ke arah para pengantar yang juga melambai dari terminal. Poltak ikut pula melambaikan tangan. Entah melambai ke siapa. Sebab tak ada seorangpun yang mengantarnya.
Kapal perlahan ditunda menjauh dari pelabuhan. Lalu berlayar sendiri semakin jauh meninggalkan Jakarta. Gedung-gedung di pelabuhan dan Jakarta perlahan-lahan menghilang dari pandangan Poltak.
"Terbukti, bumi memang bulat," gumamnya.
***
Pengalaman pertama naik kapal laut telah dimulai. Berlayar dari pelabuhan Tanjung Priok, mengarungi Laut Jawa, masuk ke Selat Bangka, lalu ke perairan Kepri, dan akhirnya ke Selat Malaka, sebelum nanti berlabuh di Belawan.
Jam makan malam diumumkan lewat pengeras suara. Para penumpang bergegas ke ruang makan. Tak ketinggalan Poltak dan Lundu.Â
Penumpang harus antri mengambil makanan. Mirip antrian makan tahanan dalam film-film Hollywood. Menunya nasi, sayur, dan ikan laut. Itu saja.
Seperti itulah makanan untuk penumpang kelas ekknomi atau dek. Makan malam hari Senin begitu. Makan siang dan malam hari Selasa begitu juga. Kebayang kalau seseorang berlayar seminggu dari Belawan ke Bitung. Setiap hari menunya begitu, tiba di Bitung mungkin sudah bersisik dia.Â
Selepas makan malam, Poltak mandi. Dunianya terbalik. Harus begitu. Kalau mandi sebelum makan malam, antrian terlalu panjang. Bisa-bisa ruang makan sudah tutup sementara acara mandi masih tahap sabunan.
Setelah menikmati langit malam berhias sabuk Bima Sakti dari buritan, dan berhasil mengidentifikasi rasi bintang Waluku dan Biduk, Poltak kembali ke dek, bersiap untuk tidur.
Inilah malam pertama tidur di kapal laut bagi Poltak. Apapun itu, malam pertama selalu mendebarkan. Tak perduli kamu bukan lagi perjaka atau perawan.
Bagi Poltak, malam pertama tidur di dek kapal menjadi mendebarkan karena itu untuk pertama kalinya, setelah dewasa, dia tidur disamping nenek-nenek. Masalahnya dia lasak saat tidur. Sehingga khawatir terjadi sesuatu yang tak pantas.
Bagaimana, coba, kalau tanpa sadar dia berguling, tahu-tahu sudah tidur memeluk nenek-nenek di sisinya. Itu kan gak pantas banget. Pantasnya Poltak memeluk gadis manis, kan.
Tapi untunglah malam pertama berlalu dengan mulus. Tak ada yang aneh-aneh kecuali bunyi orang-orang ngorok bersahut-sahutan. Anggap iru sebagai ganti bunyi jangkriklah. Â
Pagi-pagi buta, Poltak sudah bangun untuk menikmati matahari terbit. Dia naik ke lantai teratas, lalu olahraga jalan kaki mengelilingi kapal. Lumayan jaraknya untuk sepuluh putaran.
Langit di ufuk timur memerah tanda sang surya akan mengintip bumi. Tak lama kemudian pancaran sinarnya menerpa jutaan punggung gelombang air laut. Menyajikan pemandangan hamparan emas berkilauan sejauh mata memandang. Indah, indah sekali.Â
Selanjutnya adalah sarapan pagi. Beli sepotong roti dan segelas kopi di kedai kapal. Harganya dua kali lipat harga darat. Okelah. Apapun jadi  masuk akal di tengah lautan.
Poltak menghabiskan hari mengeksplor badan kapal "Kambuna". Naik-turun lantai, lalu berkeliling. Berdiri sandar di pagar kapal, menikmati pemandangan lautan dan langit luas. Satu kali dia menyaksikan ikan-ikan terbang berlompatan mengikuti kapal. Kali lain menikmati koreografi awan di langit, dari awan putih berarak ceria sampai awan hitam bergulung horor.
Lundu temannya memilih jalan sendiri, keliling kapal mencari jodoh. Katanya, "Apalah jawabku nanti, kalau ibuku tanya sudah punya pacar, belum." Betul juga alasannya. Â Tapi cari jodoh di atas kapal laut? Pertemuan cinta Jake dan Rose di atas kapal "Titanic" tahun 1912 hanyalah khayal sutradara James Cameron.
Malamnya Lundu terbaring lesu di tempat tidurnya. Lelah sepanjang hari berburu jodoh tanpa hasil. Â "Kasihan," pikir Poltak, "Ternyata modal gelar sarjana tak guna untuk cari jodoh di atas kapal laut."
 "Lebih baik kau dekati nenek-nenek kalau mau cari jodoh, Lundu."
"Bah, apanya maksudmu, Poltak!"
"Bercanda. Sudah, kita tidur saja."
Poltak memejamkan mata sambil mengingat pembicaraan tadi siang dengan nenek-nenek yang kini sudah tidur di sampingnya.
"Aku punya cucu. Cantik kalipun. Kurasa kalian berdua cocoklah itu."
"Bah, ompung, maunya cucu ompung itu sama aku?"
"Bah, pasti maulah dia itu. Datanglah kau amang ke kampung kita di Medan Tembung. Biar ompung kenalkan ke cucu ompung, ya."
"Olo, ompung. Mudah-mudahan ada hari yang baik. Kalau jodoh, tak lari ke mana."
Cuplikan pembicaraan itu alasan Poltak mengatakan untuk cari jodoh lebih baik mendekati nenek-nenek di kapal. Bukan mengejar-ngejar anak gadis. Itu bikin capek hati dan badan. Â
***
Rabu pagi tiba. Kapal akan berlabuh di Belawan. Pelayaran akan usai.
Tapi tak secepat yang dipikirkan Poltak. Kapal baru mendekati pelabuhan menjelang tengah hari. Mula-mula hanya tampak garis pantai. Lalu berangsur-angsur terlihat siluet gedung-gedung. Sampai kemudian pelabuhan tampak jelas.
Sekali lagi terbukti, bumi memang bulat!
Turun dari atas kapal tak seheboh saat naik. Penumpang lebih sabar. Tak ada tempat tidur kelas dek yang harus dikejar. Â
Turun dari kapal, Poltak dan Lundu bergegas ke terminal bus. Di situ mereka berselisih jalan. Lundu naik bus jurusan Pangkalan Brandan, sambil memikirkan jawaban jika ibunya bertanya soal pacar. Poltak naik bus PMH jurusan Siantar. Dari situ dia pindah naik bus jurusan Toba.
Hari sudah malam, sekitar pukul 8 malam, saat Poltak turun dari bus, lalu menyusuri jalan kecil menuju rumahnya di kampung Robean, Panatapan.
Seekor anjing menggonggong. Itu Si Bleki, anjing milik keluarganya.
"Hush, Bleki!" Si Bleki langsung mengenali Poltak, berlari menyambutnya  dalam gelap malam. Si Bleki masih ingat suara dan bau badannya, setelah empat setengah tahun lewat.
"Luar biasa daya ingat anjing ini," pikir Poltak. "Lebih hebat dari daya ingat mahasiswa penganut sistem kebut semalam."
"Ai ho do na ro i, amang?" (Kaukah yang datang, anakku?) Terdengar suara ayah Poltak bertanya dari dalam rumah.
"Ido, au do on, among," (Iya, ini aku, bapa) jawab Poltak.
Terdengar bunyi langkah kaki bergegas memburu di atas lantai papan menuju pintu depan rumah. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H