***
Setelah wisuda sarjana yang terasa biasa-biasa saja, Poltak segera bersiap untuk pulang kampung naik kapal laut "Kambuna". Â Dia beli tiket kelas ekonomi di sebuah agen perjalanan di kota Bogor.
Kelas ekonomi itu paling rendah. Â Disebut juga dek, kelas ekonomi itu berupa aula berisi puluhan tempat tidur berjejer rapat. Kakus dan kamar mandinya adalah fasilitas bersama, dipakai ramai-ramai. Harus tabah antri.
Selain beli tiket, Poltak juga membeli oleh-oleh wajib Jakarta yaitu dodol Garut. Orang Batak tidak syah pulang kampung dari Jakarta (Jawa) bila tanpa oleh-oleh dodol Garut. Begitulah tradisi buah tangan yang pondasinya diletakkan oleh para perantau generasi terdahulu.
Tibalah hari kepulangan, suatu Senin tahun 1984. Poltak dan seorang temannya sesama sarjana baru, Lundu anak Pangkalan Brandan, masuk ke terminal penumpang di Tanjung Priok. Mereka bersama seribuan penumpang lain, siap berlomba naik ke atas kapal "Kambuna" yang sudah sandar di pelabuhan.
Berlomba naik ke atas kapal?
Begitulah nasib penumpang kelas ekonomi atau kelas dek. Pada karcisnya tidak ada nomor tempat tidur. Jadi penumpang harus berebutan naik ke atas kapal untuk menjadi yang terdahulu mendapatkan tempat tidur di dek.Â
Itu artinya Poltak harus kuat menahan dorongan dan gencetan saat naik tangga ke atas kapal. Jelas di situ tak ada gunanya gelar sarjana. Kuli pelabuhan yang buta huruf lebih bisa diandalkan untuk urusan semacam itu. Wajar jika ada yang membayar mereka untuk ngetek tempat tidur di atas kapal.
Begitulah. Â Setelah mandi keringat dan merelakan tubuh macam daging giling, akhirnya Poltak dan Lundu sukses juga mendapatkan tempat tidur bersisian di dek. Poltak bertetangga dengan seorang nenek di sebelah kirinya. Nenek itu mendapat tempat tidur yang telah ditek oleh seorang buruh pelabuhan. Mestinya dibayar oleh anaknya. Lundu sendiri bertetangga dengan seorang lelaki paruh baya.Â
Tempat tidur itu tanpa alas tilam. Jika mau pakai tilam, bisa sewa pada anak buah kapal (ABK) seharga Rp 5,000 untuk dua malam. Konon itu akal-akalan ABK untuk dapat duit tambahan. Aslinya setiap tempat tidur itu ada tilamnya.
Poltak dan temannya, Lundu, memutuskan tidur tanpa alas tilam. Cukup pakai sarung sendiri. Untuk bantal, Poltak memanfaatkan tas ransel miliknya. Lundu juga begitu.