Terompet kapal berbunyi. Tanda kapal akan mengawali pelayarannya menuju pelabuhan Belawan, Medan.Â
Poltak bergegas menuju buritan. Di sana sudah banyak penumpang berdiri melambaikan tangan ke arah para pengantar yang juga melambai dari terminal. Poltak ikut pula melambaikan tangan. Entah melambai ke siapa. Sebab tak ada seorangpun yang mengantarnya.
Kapal perlahan ditunda menjauh dari pelabuhan. Lalu berlayar sendiri semakin jauh meninggalkan Jakarta. Gedung-gedung di pelabuhan dan Jakarta perlahan-lahan menghilang dari pandangan Poltak.
"Terbukti, bumi memang bulat," gumamnya.
***
Pengalaman pertama naik kapal laut telah dimulai. Berlayar dari pelabuhan Tanjung Priok, mengarungi Laut Jawa, masuk ke Selat Bangka, lalu ke perairan Kepri, dan akhirnya ke Selat Malaka, sebelum nanti berlabuh di Belawan.
Jam makan malam diumumkan lewat pengeras suara. Para penumpang bergegas ke ruang makan. Tak ketinggalan Poltak dan Lundu.Â
Penumpang harus antri mengambil makanan. Mirip antrian makan tahanan dalam film-film Hollywood. Menunya nasi, sayur, dan ikan laut. Itu saja.
Seperti itulah makanan untuk penumpang kelas ekknomi atau dek. Makan malam hari Senin begitu. Makan siang dan malam hari Selasa begitu juga. Kebayang kalau seseorang berlayar seminggu dari Belawan ke Bitung. Setiap hari menunya begitu, tiba di Bitung mungkin sudah bersisik dia.Â
Selepas makan malam, Poltak mandi. Dunianya terbalik. Harus begitu. Kalau mandi sebelum makan malam, antrian terlalu panjang. Bisa-bisa ruang makan sudah tutup sementara acara mandi masih tahap sabunan.
Setelah menikmati langit malam berhias sabuk Bima Sakti dari buritan, dan berhasil mengidentifikasi rasi bintang Waluku dan Biduk, Poltak kembali ke dek, bersiap untuk tidur.