"Ini belalang, insekta atau serangga. Invertebrata atau tanpa tulang belakang, bernafas dengan trakea. Makan daun-daunan, berkembang biak dengan cara bertelur."
"Bagus. Seratus. Lepaskan belalangmu ke luar. Alogo! Maju!" Â
Alogo maju ke depan membawa seekor kodok dalam kantong plastik bening.Â
"Ini kodok, amfibi. Vertebrata atau bertulang-belakang, bernafas dengan insang ..."
"Ompungmu bernafas dengan insang. Itu berudu!" sergah Guru Arsenius.
"Olo, Gurunami. Kodok bernafas dengan paru-paru dan kulit. Makan serangga kecil, mengandung kelenjar racun pada kulitnya. Berkembang-biak dengan cara bertelur, bermetamorfosa."
"Bagus. Sembilan puluh. Lepaskan kodokmu. Kau Bistok, maju!"
Bistok maju ke depan membawa seekor lipan dalam kotak plastik kecil.Â
"Ini lipan, artropoda atau hewan dengan tubuh beruas-ruas. Invertebrata atau tanpa tulang belakang. Â Bernafas dengan trakea, makan hewan melata lainnya. Berbisa, berkembang-biak dengan cara bertelur."Â
"Bagus. Seratus."
Begitulah cara Guru Arsenius mengajarkan deskripsi ciri hewan kepada murid-muridnya. Tidak dengan cara menghafal. Murid ditantang mempelajari hewan-hewan sekitar secara langsung.