Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #088] Teroris Kecil Menyandera Satu Kelas

21 Maret 2022   05:00 Diperbarui: 21 Maret 2022   05:15 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase foto oleh FT (Foto: kompas.com/dok. istimewa)

Senin pagi yang heboh di ruang kelas enam SD Hutabolon. Tiga orang murid masuk kelas dengan wajah agak asimetris. 

Siapa lagi kalau bukan Poltak, Binsar, dan Bistok. Dampak sengatan tawon di hutan Sibatuloting belum sepenuhnya hilang dari wajah mereka. 

Bibir Poltak masih terlihat dower, kuping kirinya masih menebal. Bibir dower Poltak, tergantung selera, bisa saja dianggap seksi. Seperti bibir Lionel Richie. 

Wajah Binsar dan Bistok tak kurang asimetrisnya. Kelopak mata kiri dan pipi kanan Binsar masih agak gembung. Kedua cuping hidung Bistok masih lebih tebal dari biasanya. 

"Habis kelahi dengan anak-anak Toruan," kata Binsar gagah menjawab pertanyaan Alogo tentang wajah-wajah yang asimetris itu.

"Bohonglah kau, Binsar. Kalau bekas kelahi kan biru-biru. Itu pasti bekas sengatan tawon," bantah Jonder.

Jonder memang sangat hapal bekas sengatan tawon. Dia sudah cukup kenyang dengan sengatan tawon di wajah. Karena ulah iseng Poltak, Binsar, dan Bistok juga.

Di tajuk pepohonan makadamia, yang berjejer di sisi barat jalan raya antara Panatapan dan Hutabolon, kerap ada tawon kertas bersarang. Saat berangkat pagi ke sekolah, jika Jonder, Adian, dan Togu berada di belakang, maka Poltak, Binsar, dan Bistok akan melempari sarang tawon itu dengan batu.

Tawon kertas akan marah jika diganggu. Dia akan menyerang pengganggunya. Poltak, Binsar, dan Bistok sudah mengantisipasinya dengan cara kabur secepat mungkin. Maka siapa lagi yang jadi korban sengatan tawon marah itu kalau bukan Jonder, Adian, dan Togu.

"Rasakan! Kena karma kalian!" sorak Jonder puas hati.

"Ada apa ini ribut-ribut," tegur Guru Arsenius yang tiba-tiba sudah berdiri di depan kelas.

"Poltak, Binsar, dan Bistok disengat tawon, Gurunami." Jonder mengadu dengan puas hati.

"Oh, baguslah. Bukan anak laki namanya kalau tak pernah disengat tawon," kata Guru Arsenius dengan suara datar.

Guru Arsenius tahu, peluang anak kampung disengat tawon itu seratus persen. Jika bukan karena diserang gerombolan tawon, ya, karena mengusik sarang tawon. Atau karena iseng menangkap tawon yang sedang menghisap madu bunga liar.

"Anak-anak," Guru Arsenius minta perhatian murid-muridnya. "Minggu lalu Pak Guru minta masing-masing kalian membawa seekor hewan kecil untuk pelajaran Ilmu Hayat pagi ini. Semua bawa, kan?"

"Bawa, Gurunami!"

Setiap anak langsung meletakkan hewan bawaannya  di atas meja. Macam-macam jenisnya. Mulai dari lipan, laba-laba, lipas, belalang, jangkrik, capung, tawon, kodok, bengkarung, gelatik, dan lain-lain.

"Poltak! Mana hewan bawaanmu."

"Ada, Gurunami," jawab Poltak sambil meletakkan bungkusan kaos singlet bekas di atas meja.

"Berta! Maju ke depan. Jelaskan tentang hewan yang kamu bawa."

Berta segera maju ke depan kelas sambil membawa seekor belalang dalam kantong plastik bening di tangannya.

"Ini belalang, insekta atau serangga. Invertebrata atau tanpa tulang belakang, bernafas dengan trakea. Makan daun-daunan, berkembang biak dengan cara bertelur."

"Bagus. Seratus. Lepaskan belalangmu ke luar. Alogo! Maju!"  

Alogo maju ke depan membawa seekor kodok dalam kantong plastik bening. 

"Ini kodok, amfibi. Vertebrata atau bertulang-belakang, bernafas dengan insang ..."

"Ompungmu bernafas dengan insang. Itu berudu!" sergah Guru Arsenius.

"Olo, Gurunami. Kodok bernafas dengan paru-paru dan kulit. Makan serangga kecil, mengandung kelenjar racun pada kulitnya. Berkembang-biak dengan cara bertelur, bermetamorfosa."

"Bagus. Sembilan puluh. Lepaskan kodokmu. Kau Bistok, maju!"

Bistok maju ke depan membawa seekor lipan dalam kotak plastik kecil. 

"Ini lipan, artropoda atau hewan dengan tubuh beruas-ruas. Invertebrata atau tanpa tulang belakang.  Bernafas dengan trakea, makan hewan melata lainnya. Berbisa, berkembang-biak dengan cara bertelur." 

"Bagus. Seratus."

Begitulah cara Guru Arsenius mengajarkan deskripsi ciri hewan kepada murid-muridnya. Tidak dengan cara menghafal. Murid ditantang mempelajari hewan-hewan sekitar secara langsung.

"Poltak! Maju ke depan!" 

Akhirnya tiba juga giliran Poltak. Dia menjadi yang terakhir dari pemanggilan secara suka-suka. Guru Arsenius selalu memanggil secara acak, bukan berdasar daftar absensi.

"Kau bawa hewan apa itu, Poltak," tanya Guru Arsenius curiga.

"Gurumani, aku membawa ... ." 

Poltak memutus kalimatnya.  Dia membuka ikatan buntalan kain, merogoh sesuatu di dalamnya, lalu mengangkat tinggi-tinggi hewan bawaannya.

"Ular, Gurunami!"

Kelas langsung heboh. Teriakan-teriakan kaget bersahutan. Murid-murid perempuan menjerit-jerit ketakutan. Jeritan Berta paling nyaring.

Poltak, sambil tersenyum, mengangkat tinggi-tinggi seekor ular pelangi di tangan kanannya. Ular sepanjang satu meter itu menggeliat-geliat di udara. Menebar rasa takut pada seisi kelas. 

Tak seorangpun mengira Poltak membawa seekor ular. Tidak juga Binsar dan Bistok. Mereka tahunya Poltak membawa bengkarung.

"Poltak! Cepat jelaskan soal ularmu!" perintah Guru Arsenius dengan nada kecut, sambil beringsut mundur ke pojok ruang kelas.

Sebuah rahasia besar terungkap. Ternyata Guru Arsenius, guru senior dengan tampilan penuh wibawa itu, takut juga pada ular. Itu fakta baru bagi murid-muridnya.

Apa jadinya suatu kelas bila guru dan seluruh murid, kecuali satu orang, dicekam rasa takut? Kelas akan dikuasai satu orang yang tak takut itu. 

Itulah yang terjadi di kelas enam SD Hutabolon pada Senin pagi itu. Poltak, satu-satunya orang tak takut, menguasai kelas enam. Dia layaknya seorang teroris kecil yang menyandera guru dan murid  satu kelas dengan senjata ular di tangan. 

"Ini ular pelangi, reptil atau hewan melata. Dinamai begiitu karena kulitnya berpendar macam pelangi saat kena sinar matahari. " 

Sembari menjelaskan soal ular, Poltak berjalan ke arah bangku Jonder.  Seolah-olah dia seorang guru yang sedang mengajar. Gaya itu ditirunya dari gaya Pastor Silverius saat mengajarkan Sakramen Ekaristi di Sekolah Minggu.

"Jenis ular ini," lanjut Poltak, "tidak berbisa. Tapi jago menggigit," tegasnya sambil tiba-tiba menyorongkan kepala ular di tangannya persis ke depan hidung Jonder.

"Agoi!" Jonter berteriak keras. 

Badannya tersentak menghindar ke samping. Hilang keseimbangan, lalu rubuh ke lantai, membawa serta Gomgom yang duduk disampingnya.

"Bodat! Kurangajar! Awas kau, Poltak!"  Jonder mengumpat, marah-marah.

"Jonder! Jaga mulutmu!" tegur Guru Arsenius, keras.

"Olo, Gurunami. Poltak menakuti aku."

"Poltak! Tak usahlah kau banyak gaya. Teruskan penjelasanmu!"

"Olo, Gurunami.  Ular makan kodok, katak, dan ikan-ikan kecil. Dia berburu  di selokan, sungai, sawah, atau rawa. Ular berkembang-biak dengan cara bertelur."

Poltak mulai bergaya lagi. Berjalan ke arah Berta, Tour, Poibe, dan Dinar. Sambil memainkan ular di tangannya.

"Poltak! Pergi!" Berta menjerit, mengusir Poltak dan ularnya. Poltak mundur ke dekat Guru Harbangan yang berdiri cemas di pojok ruangan.

"Ular begerak dengan cara merayap. Alat geraknya otot dan sisik pada perut. Ular sulit bergerak pada permukaan licin. Misalnya di lantai semen ini. Lihat ini."

Poltak tiba-tiba melepaskan ularnya di lantai ruang kelas. Ular itu merayap dengan cara melemparkan tubuhnya ke arah bangku-bangku kelas. Membuat kelas heboh kembali dengan teriakan-teriakan cemas dan takut.

Walaupun Poltak sudah bilang ular pelangi itu tidak beracun, tapi ular tetaplah ular. "Jangan pernah percaya pada ular." Begitu kata Guru Gayus dalam pelajaran agama. "Sekali kamu lengah, maka kamu akan celaka." Murid-murid ingat betul nasihat Guru Gayus itu.

Ular pelangi itu merayap terpontal-pontal di lantai. Gerakannya semakin menggila. Kini sudah hampir mencapai kolong kursi Poibe.  

"Naiķ ke atas kursi! Semua!" Poltak berteriak.  

Serentak semua murid naik ke atas kursi masing-masing. Sambil menjerit-jerit panik.

"Awas! Angkat rok!" teriak Poltak lagi. Isengnya kambuh.

Serentak murid-murid perempuan mengangkat rok masing-masing. Dalam situasi panik, orang cenderung melakukan saja apa yang diperintahkan, tanpa sempat berpikir.

"Wooo ... merah, kuning, biru ...."  Di tengah kepanikan begitu, Jonder sempat-sempatnya mengabsen warna celana dalam murid-murid perempuan. Dasar tukang intip kolor.

Murid-murid perempuan serempak menurunkan rok. Sambil dari mulut mereka berlontaran kosa kata kebun binatang untuk Jonder.

"Cepat tangkap ularmu, Poltak!" Guru Arsenius membentak Poltak, tapi dalam nada cemas.

"Olo, Gurunami."

Poltak berhasil menangkap kembali ular pelangi itu, tepat di kolong kursi Jonder. Di atas kursi, Jonder berdiri dengan lutut gemetaran. 

Sepintas Poltak melihat selangkangan celana Jonder basah kuyup. Sambil tersenyum puas, Poltak kembali ke depan kelas dengan ularnya.

"Dalam Kitab Kejadian dikatakan, pada mulanya ular memiliki kaki  ..."

"Cukup, Poltak! Ini pelajaran Ilmu Hayat! Bukan Agama." Guru Arsenius memotong penjelasan Poltak.

"Santabi Gurunami, aku mau jelaskan ..."

"Sudah, sudah jelas! Cukup! Pontenmu seratus! Buang sana ularmu itu."

"Olo, Gurunami." 

Poltak keluar dari kelas membawa serta ular biang kerok kekacauan itu. Seisi ruang kelas serentak menghela nafas lega. Situasi kembali tenang.

"Ya, Tuhan," bisik Guru Arsenius di sela degup jantungnya yang memburu. "Terimakasih telah Kau bebaskan kami dari pencobaan ini. Janganlah Kau utus lagi anak segila Poltak itu untuk  bersekolah di sini." (Bersambung) 

 

 

 

 

   

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun