Tapi benarkah anak-cucu kaum komunis menyusup ke lingkungan legislatif, eksekutif, dan mungkin juga judikatif? Â
Itu tidak benar. Mereka masuk secara sah lewat jalur birokrasi rekrutmen. Â Sejak era pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid, kesempatan itu telah dibuka untuk mereka. Dasarnya kesetaraan HAM sebagai warga negara Indonesia. Â
Fakta mereka anak-cucu kaum komunis/PKI tidaklah membuktikan mereka neo-komunis /PKI gaya baru. Idiologi tak pernah diturunkan secara genetik, tapi secara pedagogik, khususnya lewat indoktrinasi.
Pelabelan sebagai "anak-cucu kaum komunis" oleh KAMI itu tergolong ad hominem. Frasa-frasa anak-cucu kaum komunis, fakta kekejian PKI, dan gejala adu domba, persekusi/perundungan, dan pembunuhan karakter secara sengaja telah disebut berurutan dalam surat KAMI. Â Implisit, itu bermakna pencitraan negatif pada anak-cucu kaum komunis.
KAMI implisit menuduh anasir neo-komunisme/PKI gaya baru berada di belakang kasus-kasus adu domba warga, persekusi, perundungan, dan pembunuhan karakter yang kini terjadi dalam masyarakat. Seolah-olah itu semua adalah program kegiatan PKI gaya baru. Di atas sudah ditunjukkan anggapan semacam itu tak berdasar.
Don Quixote de la Opositor
Surat KAMI kepada Presiden Jokowi itu mengingatkan saya pada Don Quixote de la Mancha. Tokoh rekaan Cervantes ini tipikal manusia yang yang gemar menciptakan musuh khayal, lalu tampil sebagai ksatria untuk menaklukkannya.Â
KAMI juga begitu dalam kasus klaim keberadaan neo-komunisme/PKI gaya baru. Itu adalah musuh bangsa dan negara yang diciptakan KAMI dalam khayal.  Lalu dia tampil sebagai ksatria  Don Quixote de la Opositor -- dari "wilayah oposisi "-- untuk menghancurkannya. Dalihnya demi "menyelamatkan Indonesia".
Apa yang disebut KAMI sebagai neo-komunisme/PKI gaya baru itu tak lebih dari "manusia jerami". Â Itu adalah hasil konstruksi KAMI yang ditegakkan dengan perancah argumen-argumen sesat (logical fallacy).
Lucunya, KAMI menuntut Presiden Jokowi untuk segera memberantas neo-komunisme/PKI gaya baru yang hidup dalam imajinasi tokog-tokohnya.
KAMI menuntut Jokowi untuk, pertama, meminta DPR menghentikan pembahasan RUU HIP dan RUU BPIP atau bahkan menariknya dari Prolegnas.
Kedua, menyeru lembaga-lembaga Pemerintah dan penyiaran publik, khususnya TVRI, menayangkan film Pengkhianatan G 30-S/PKI agar rakyat paham noda hitam sejarah bangsa.