Kedua, memberantas jaringan terorisme berbasis agama seperti Negara Islam Indonesia (NII), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Tauhid ( JAT), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK).
Ketiga, membersihkan institusi dan organisasi negara/pemerintah, termasuk TNI, Polri, dan BUMN, dari orang-orang berhaluan anti-Pancasila, anti-UUD 1945, anti-NKRI, dan anti-pemerintah. Sebagian di antaranya ditengarai simpasitan/pendukung HTI.
Tiga langkah pemerintah itu eksplisit menarget sekelompok umat Islam, termasuk mereka yang diklaim ulama, sebagai sasaran "pembersihan". Bukannya mendukung upaya itu, KAMI justru menganggapnya sebagai opresi terhadap Islam. Muncullah istilah kriminalisasi ulama.
KAMI justru melontarkan argumen yang mendistorsi fokus pemerintah. Betul, KAMI masih bicara soal umat Islam. Tapi bukan sebagai subyek yang ditengarai anti-Pancasila/NKRI. Â Melainkan sebagai obyek kekejian PKI di masa lalu.
Kata KAMI dalam suratnya:
"... Â kekejaman PKI pada Pemberontakan Madiun 18 September 1948. ... Â membunuh para ulama, santri, dan rakyat yang tidak berdosa, hanya karena mereka tidak bersetuju dengan ideologi komunisme."
Dengan ungkapan itu, KAMI menyerang Jokowi. Dia dinilai abai terhadap fakta kekejian PKI terhadap umat Islam di masa lalu. Hal serupa mungkin saja akan terulang kembali. Sebab kini ada gejala/gelagat kebangkitan neo-komunisme/PKI gaya baru.
KAMI menguatkan klaimnya dengan menunjuk pada fakta adu domba, penyandungan, dan pembunuhan karakter dalam masyarakat.
"... Â upaya adu domba sesama warga masyarakat (khususnya sesama Umat Islam dan antar umat beragama), penyandungan (bullying) hingga pembunuhan karakter (character assasination) terhadap lawan politik merupakan cara-cara Kaum Komunis, yang juga pernah dilakukan pada masa lampau menjelang makar atau pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965."
Itu argumentum ad ignorantiam. Mungkin betul itu cara-cara PKI di masa lalu. Tapi tak ada bukti hal serupa kini dilakukan oleh individu/kelompok neo-komunisme/PKI gaya baru. Sebab KAMI sendiri gagal membuktikan dan menunjukkan keberadaan neo-komunisme/PKI gaya baru itu.
KAMI justru menutupi fakta bahwa persekusi terhadap suatu kelompok umat beragama di Indonesia dilakukan oleh kelompok umat beragama lainnya. Pemecah-belahan bangsa berdasar agama juga dilakukan para penceramah dan pengkotbah agama secara terbuka lewat media sosial. Jelas para pelaku itu bukan  neo-komunis/PKI gaya baru. Â