Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KAMI, PKI, dan Don Quixote de la Opositor

4 Oktober 2021   06:02 Diperbarui: 4 Oktober 2021   16:10 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga, anggota: ada sejumlah individu pendukung idiologi neo-komunisme yang menjadi anggota/simpatisan partai atau organisasi pengusung  idiologi itu.

Keempat, aktivitas: ada program kegiatan terencana yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan partai atau organisasi.

Apakah empat unsur itu terpenuhi dalam klaim KAMI tentang gejala neo-komunisme/PKI gaya baru di Indonesia?

Jelas tidak ada gejala idiologi neo-komunisme di Indonesia. KAMI memang menyatakan penolakannya pada RUU Haluan Idiologi Pancasila (HIP) dan RUU Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP). KAMI menilainya sebagai upaya merendahkan, meremehkan, menyelewengkan, dan menyalahgunakan Pancasila.

RUU HIP mendapat penolakan utamanya dari kalangan NU, Muhammadiyah, MUI, dan aktivis anti-komunisme karena dinilai berpotensi memberi ruang hidup pada komunisme/PKI. RUU itu disorot tajam karena memuat klausul Trisila dan Ekasila yang digagas Soekarno.

Tapi jelas RUU HIP dan RUU BPIP bukan indikasi neo-komunisme. Sejauh tujuannya adalah penegakan Pancasila sebagai idiologi negara.  Lagi pula RUU itu datang dari DPR RI. Apakah mau bilang DPR RI berhaluan neo-komunisme?

Jelas juga tidak ada partai atau organisasi berhaluan neo-komunisme di Indonesia. Sehingga klaim adanya organisasi PKI gaya baru tak lebih dari ilusi, kalau bukan halusinasi.  Kecuali  KAMI menganggap partai pemrakarsa RUU HIP dan RUU BPIP adalah PKI gaya baru. 

Tentang kemungkinan adanya orang-orang berhaluan neo-komunisme, KAMI menyampaikan klaim indikatif. Tapi sekaligus bernada ad hominem, semacam tuduhan bernada negatif. 

Orang-orang ditunjuk KAMI adalah anak-cucu kaum komunis. Mereka, katanya, sudah menyelusup ke dalam lingkaran legislatif dan eksekutif. Sebagian bahkan berani terang-terangan meneriakkan kebanggaan menjadi anak PKI. 

Menurut KAMI, sebagian anak-cucu kaum komunis itu memutarbalikkan sejarah. Mereka bilang  PKI adalah korban pelanggaran HAM yang dilakukan kalangan non-PKI khususnya umat Islam. Padahal kaum komunislah yang lebih dahulu membantai para ulama dan santri, pelajar/mahasiswa/pemuda Islam, dan  para Jenderal TNI.

KAMI mungkin benar, jika sejarah konflik TNI dan rakyat versus PKI berhenti pada tanggal 30 September 1965.  Faktanya konflik berlanjut ke tahun 1966 dan seterusnya, dengan jumlah korban tewas sekitar 800,000-1,000,000 orang yang terindikasi PKI. Apakah itu bukan fakta sejarah Indonesia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun