"Bukan mitos atau fiksi, tapi sudah jadi bukti, ada gejala dan gelagat kebangkitan neo-komunisme dan PKI gaya baru di Indonesia." - Presidum KAMI, dalam Surat Terbuka kepada Presiden Joko Widodo tanggal 22 September 2020
Pernyataan Presidium KAMI -- Gatot Nurmantyo, M. Din Syamsuddin, dan Rochmad Wahab -- pada September tahun lalu (2020) itu mengesankan negara RI dalam situasi genting. Terancam oleh neo-komunisme/PKI gaya baru.
Barusan pada September 2021, lewat Gatot Nurmantyo, KAMI kembali mengangkat isu ancaman komunisme. Dalam sebuah webinar bertema "TNI vs PKI" (26/9/2021) Gatot mengingatkan lagi kemunculan neo-komunisme/PKI gaya baru. Bahkan, katanya, komunis sudah masuk ke dalam tubuh TNI. [1,2]
Isu neo-komunisme/PKI gaya baru tampaknya sudah menjadi program Septemberan bagi KAMI. Walau tak jelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan neo-komunisme/PKI gaya baru. Lalu apa bukti keberadaannya di Indonesia kini.
Surat KAMI kepada Jokowi tanggal 22/9/2020 agaknya berisi pandangan resmi KAMI tentang neo-komunisme/PKI gaya baru. Karena itu, untuk menjawab pertanyaan di atas, saya coba lakukan analisis isi terhadap dokumen itu. [3]
Hasilnya sangat mengejutkan. Klaim neo-komunisme/PKI gaya baru itu ternyata dibangun di atas argumen-argumen sesat (logical fallacies). Kesimpulannya, neo-komunisme/PKI gaya baru itu adalah konstruksi khayali KAMI. Bukan fakta atau realitas empiris. Saya akan tunjukkan.
Sesat Logika
Tentang neo-komunisme/PKI gaya baru, KAMI dalam suratnya mengatakan begini.
"... gejala, gelagat, dan fakta kebangkitan neokomunisme dan/atau PKI gaya baru yang sudah nyata dan tidak perlu lagi ditanya, di mana?"
Pernyataan KAMI itu memadu argumentum ad populum (kata orang banyak) dan argumentum ad hominem (meremehkan). Hendak dikatakan, kebangkitan neo-komunisme/PKI gaya baru sudah menjadi pengetahuan "KAMI dan banyak rakyat Indonesia" (ad populum). Jadi, kamu bego (ad hominem) kalau masih bertanya "(mana dan) di mana".
Itu khas argumen dari individu atau kelompok untuk memaksakan pendapat yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Terkait pembuktian itu, dalam suratnya KAMI justru menyampaikan argumentum ad ignorantiam (benar karena sebaliknya tak terbukti).
"... adanya gejala dan gelagat kebangkitan neo-komunisme dan PKI gaya baru. Hal demikian tidak lagi merupakan mitos atau fiksi, tapi sudah menjadi bukti."
Menurut KAMI, gejala dan gelagat kebangkitan neo-komunisme/PKI gaya baru itu bukan mitos atau fiksi. Jika sesuatu itu bukan mitos atau fiksi (ad ignorantiam), maka dia adalah "bukti" atau "fakta". Maka neo-komunisme/PKI gaya baru adalah fakta.
Jelas, argumen KAMI tentang kebangkitan neo-komuniusme/PKI gaya baru itu sesat logika (logical fallacy). Polanya ad populum, kata orang banyak; ad hominem, menyerang pribadi; dan ad ignorantiam, diklaim benar karena sebaliknya tak terbukti.
"Manusia Jerami"
Secara keseluruhan, klaim KAMI tentang neo-komunisme/PKI gaya baru itu tàmpak sebagai argumen "manusia jerami" (strawman argument). Mencuil sebagian isu yang jadi perhatian utama pemerintah. Lalu mengkreasinya isu baru, dan menghajar pemerintah pada isu bentukannya itu.
Jelasnya begini. Komunisme/PKI kini sebenarnya bukan isu panas nasional. Pelarangan/penolakan dari negara, tak terkecuali Pemerintahan Jokowi, tentang hal itu sudah final, harga mati. TAP MPRS XXV/1966 tentang larangan komunisme/marxisme masih berlaku.
Dalam pidato pada upacara HUT TNI ke-73 (5/10/2018) di di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Jokowi tegas menentang komunisme/PKI.[4]
"Sebagai panglima tertinggi Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Darat tugas saya adalah bersama saudara-saudara menjaga NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika. Bersama-sama saudara-saudara melawan ideologi lain selain Pancasila, memberantas komunisme dan warisan PKI (Partai Komunis Indonesia) agar lenyap dari negeri Indonesia selamanya."
Fokus pemerintahan Jokowi kini adalah pemberantasan radikalisme berbasis agama. Radikalisme yang bertujuan mengganti idiologi Pancasila, UUD 1945, dan NKRI dengan idiiologi, aturan, dan sistem pemerintahan lain.
Dalam rangka itu, Pemerintahan Jokowi sudah mengambil tiga langkah tegas.
Pertama, pelarangan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) yang tidak mengakui Pancasila, dan mencita-citakan khilafah Indonesia.
Kedua, memberantas jaringan terorisme berbasis agama seperti Negara Islam Indonesia (NII), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Tauhid ( JAT), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK).
Ketiga, membersihkan institusi dan organisasi negara/pemerintah, termasuk TNI, Polri, dan BUMN, dari orang-orang berhaluan anti-Pancasila, anti-UUD 1945, anti-NKRI, dan anti-pemerintah. Sebagian di antaranya ditengarai simpasitan/pendukung HTI.
Tiga langkah pemerintah itu eksplisit menarget sekelompok umat Islam, termasuk mereka yang diklaim ulama, sebagai sasaran "pembersihan". Bukannya mendukung upaya itu, KAMI justru menganggapnya sebagai opresi terhadap Islam. Muncullah istilah kriminalisasi ulama.
KAMI justru melontarkan argumen yang mendistorsi fokus pemerintah. Betul, KAMI masih bicara soal umat Islam. Tapi bukan sebagai subyek yang ditengarai anti-Pancasila/NKRI. Melainkan sebagai obyek kekejian PKI di masa lalu.
Kata KAMI dalam suratnya:
"... kekejaman PKI pada Pemberontakan Madiun 18 September 1948. ... membunuh para ulama, santri, dan rakyat yang tidak berdosa, hanya karena mereka tidak bersetuju dengan ideologi komunisme."
Dengan ungkapan itu, KAMI menyerang Jokowi. Dia dinilai abai terhadap fakta kekejian PKI terhadap umat Islam di masa lalu. Hal serupa mungkin saja akan terulang kembali. Sebab kini ada gejala/gelagat kebangkitan neo-komunisme/PKI gaya baru.
KAMI menguatkan klaimnya dengan menunjuk pada fakta adu domba, penyandungan, dan pembunuhan karakter dalam masyarakat.
"... upaya adu domba sesama warga masyarakat (khususnya sesama Umat Islam dan antar umat beragama), penyandungan (bullying) hingga pembunuhan karakter (character assasination) terhadap lawan politik merupakan cara-cara Kaum Komunis, yang juga pernah dilakukan pada masa lampau menjelang makar atau pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965."
Itu argumentum ad ignorantiam. Mungkin betul itu cara-cara PKI di masa lalu. Tapi tak ada bukti hal serupa kini dilakukan oleh individu/kelompok neo-komunisme/PKI gaya baru. Sebab KAMI sendiri gagal membuktikan dan menunjukkan keberadaan neo-komunisme/PKI gaya baru itu.
KAMI justru menutupi fakta bahwa persekusi terhadap suatu kelompok umat beragama di Indonesia dilakukan oleh kelompok umat beragama lainnya. Pemecah-belahan bangsa berdasar agama juga dilakukan para penceramah dan pengkotbah agama secara terbuka lewat media sosial. Jelas para pelaku itu bukan neo-komunis/PKI gaya baru.
Begitulah. KAMI berusaha meyakinkan Jokowi bahwa masalah utama saat ini adalah kebangkitan neo-komunisme/PKI gaya baru yang mengacam antara lain umat Islam. Itu klaim KAMI untuk menegasi upaya Presiden Jokowi membersihkan bangsa dan negara dari anasir-anasir anti-Pancasila/UUD 1945/NKRI. Khususnya anasir khilafah dan terorisme berbasis agama.
Kendati tidak bisa membuktikan keberadaan neo-komunisme/PKI gaya baru itu, KAMI ngotot itu adalah fakta. Lalu menuntut Jokowi untuk memberantasnya.
Begitulah argumen "manusia jerami". KAMI sendirilah yang menciptakan isu kebangkitan neo-komunisme/PKI gaya baru itu. Lalu KAMI pula yang heboh mengecamnya dan menuntut pemerintah untuk memeranginya.
Pembuktian Cacat Logika
Sebenarnya, dalam suratnya, KAMI berupaya mengajukan sejumlah bukti kebangkitan neo-komunisme/PKI gaya baru.
Tapi pembuktian itu cacat logika karena, pertama, tak ada pendefinisian tentang neo-komunisme/PKI gaya baru sehingga, kedua, bukti-bukti yang dimajukan cenderung jatuh menjadi argumen ad hominem.
Soal pendefinisian, mengapa tidak merujuk misalnya pada pengertian neo-komunisme menurut apa yang berkembang dan dipahami di Eropa tahun 1970-an sampai 1980-an. (lihat: Wikipedia.org).
Di Eropa neo-komunisme dipahami sebagai teori dan praktek transformasi sosial ala komunisme yang lebih relevan untuk konteks sosial, ekonomi, dan politik kontemporer di Eropa Barat. Dikatakan, neo-komunisme itu mengakomodasi demokrasi dan, karena itu, menolak komunisme ala Uni Soviet dan Partai Komunis Uni Soviet.
Seorang neo-komunis karena itu adalah pendukung atau penganut faham neo-komunisme. Dia lazimnya juga adalah anggota atau pendukung suatu organisasi yang mengusung idiologi neo-komunisme itu. (lihat: Lexico Oxford).
Definisi neo-komunisne itu menunjuk pada kehadiran empat unsur pokok.
Pertama, idiologi: ada idiologi neo-komunisme yang mengakomodasi prinsip demokrasi, bertolak belakang dengan komunisme Uni Soviet yang oligarkis.
Kedua, organisasi: ada partai politik atau organisasi sosial yang mengusung idiologi neo-komunis.
Ketiga, anggota: ada sejumlah individu pendukung idiologi neo-komunisme yang menjadi anggota/simpatisan partai atau organisasi pengusung idiologi itu.
Keempat, aktivitas: ada program kegiatan terencana yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan partai atau organisasi.
Apakah empat unsur itu terpenuhi dalam klaim KAMI tentang gejala neo-komunisme/PKI gaya baru di Indonesia?
Jelas tidak ada gejala idiologi neo-komunisme di Indonesia. KAMI memang menyatakan penolakannya pada RUU Haluan Idiologi Pancasila (HIP) dan RUU Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP). KAMI menilainya sebagai upaya merendahkan, meremehkan, menyelewengkan, dan menyalahgunakan Pancasila.
RUU HIP mendapat penolakan utamanya dari kalangan NU, Muhammadiyah, MUI, dan aktivis anti-komunisme karena dinilai berpotensi memberi ruang hidup pada komunisme/PKI. RUU itu disorot tajam karena memuat klausul Trisila dan Ekasila yang digagas Soekarno.
Tapi jelas RUU HIP dan RUU BPIP bukan indikasi neo-komunisme. Sejauh tujuannya adalah penegakan Pancasila sebagai idiologi negara. Lagi pula RUU itu datang dari DPR RI. Apakah mau bilang DPR RI berhaluan neo-komunisme?
Jelas juga tidak ada partai atau organisasi berhaluan neo-komunisme di Indonesia. Sehingga klaim adanya organisasi PKI gaya baru tak lebih dari ilusi, kalau bukan halusinasi. Kecuali KAMI menganggap partai pemrakarsa RUU HIP dan RUU BPIP adalah PKI gaya baru.
Tentang kemungkinan adanya orang-orang berhaluan neo-komunisme, KAMI menyampaikan klaim indikatif. Tapi sekaligus bernada ad hominem, semacam tuduhan bernada negatif.
Orang-orang ditunjuk KAMI adalah anak-cucu kaum komunis. Mereka, katanya, sudah menyelusup ke dalam lingkaran legislatif dan eksekutif. Sebagian bahkan berani terang-terangan meneriakkan kebanggaan menjadi anak PKI.
Menurut KAMI, sebagian anak-cucu kaum komunis itu memutarbalikkan sejarah. Mereka bilang PKI adalah korban pelanggaran HAM yang dilakukan kalangan non-PKI khususnya umat Islam. Padahal kaum komunislah yang lebih dahulu membantai para ulama dan santri, pelajar/mahasiswa/pemuda Islam, dan para Jenderal TNI.
KAMI mungkin benar, jika sejarah konflik TNI dan rakyat versus PKI berhenti pada tanggal 30 September 1965. Faktanya konflik berlanjut ke tahun 1966 dan seterusnya, dengan jumlah korban tewas sekitar 800,000-1,000,000 orang yang terindikasi PKI. Apakah itu bukan fakta sejarah Indonesia?
Tapi benarkah anak-cucu kaum komunis menyusup ke lingkungan legislatif, eksekutif, dan mungkin juga judikatif?
Itu tidak benar. Mereka masuk secara sah lewat jalur birokrasi rekrutmen. Sejak era pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid, kesempatan itu telah dibuka untuk mereka. Dasarnya kesetaraan HAM sebagai warga negara Indonesia.
Fakta mereka anak-cucu kaum komunis/PKI tidaklah membuktikan mereka neo-komunis /PKI gaya baru. Idiologi tak pernah diturunkan secara genetik, tapi secara pedagogik, khususnya lewat indoktrinasi.
Pelabelan sebagai "anak-cucu kaum komunis" oleh KAMI itu tergolong ad hominem. Frasa-frasa anak-cucu kaum komunis, fakta kekejian PKI, dan gejala adu domba, persekusi/perundungan, dan pembunuhan karakter secara sengaja telah disebut berurutan dalam surat KAMI. Implisit, itu bermakna pencitraan negatif pada anak-cucu kaum komunis.
KAMI implisit menuduh anasir neo-komunisme/PKI gaya baru berada di belakang kasus-kasus adu domba warga, persekusi, perundungan, dan pembunuhan karakter yang kini terjadi dalam masyarakat. Seolah-olah itu semua adalah program kegiatan PKI gaya baru. Di atas sudah ditunjukkan anggapan semacam itu tak berdasar.
Don Quixote de la Opositor
Surat KAMI kepada Presiden Jokowi itu mengingatkan saya pada Don Quixote de la Mancha. Tokoh rekaan Cervantes ini tipikal manusia yang yang gemar menciptakan musuh khayal, lalu tampil sebagai ksatria untuk menaklukkannya.
KAMI juga begitu dalam kasus klaim keberadaan neo-komunisme/PKI gaya baru. Itu adalah musuh bangsa dan negara yang diciptakan KAMI dalam khayal. Lalu dia tampil sebagai ksatria Don Quixote de la Opositor -- dari "wilayah oposisi "-- untuk menghancurkannya. Dalihnya demi "menyelamatkan Indonesia".
Apa yang disebut KAMI sebagai neo-komunisme/PKI gaya baru itu tak lebih dari "manusia jerami". Itu adalah hasil konstruksi KAMI yang ditegakkan dengan perancah argumen-argumen sesat (logical fallacy).
Lucunya, KAMI menuntut Presiden Jokowi untuk segera memberantas neo-komunisme/PKI gaya baru yang hidup dalam imajinasi tokog-tokohnya.
KAMI menuntut Jokowi untuk, pertama, meminta DPR menghentikan pembahasan RUU HIP dan RUU BPIP atau bahkan menariknya dari Prolegnas.
Kedua, menyeru lembaga-lembaga Pemerintah dan penyiaran publik, khususnya TVRI, menayangkan film Pengkhianatan G 30-S/PKI agar rakyat paham noda hitam sejarah bangsa.
Ketiga, agar sejarah noda hitam itu diajarkan kepada segenap peserta didik selengkapnya.
Tuntutan itu lalu ditutup dengan sebuah "tekanan" terselubung kepada Presiden Jokowi.
"... Jawaban Presiden terhadap tuntutan-tuntutan itu akan menunjukkan derajat kenegarawanan, komitmen kepada Pancasila, dan sikap penolakan terhadap komunisme atau PKI dalam berbagai bentuk dan penjelmaannya."
Tentu saja tokoh-tokoh KAMI sadar neo-komunisme /PKI gaya baru itu cuma "manusia jerami" hasil konstruksi khayali mereka. Sampai belut berjanggut pun, Jokowi tak mungkin menemukan dan memberantasnya.
Tapi memang itulah tujuannya. Agar KAMI bisa tampil sebagai ksatria penghancur neo-komunisme/PKI gaya baru rekaannya. Caranya, menyeru kepada rakyat Indonesia mengibarkan bendera setengah tiang pada setiap peringatan G-30-S tanggal 30 September dan Kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktober. Plus nonton bareng film Pengkhianatan G-30-S/PKI.
Apakah KAMI berhasil menumpas neo-komunisme/PKI gaya baru dengan cara seperti itu? Tentu saja sukses. Sebab KAMI adalah Don Quixote de la Opositor yang tiap bulan September menciptakan dan kemudian menaklukkan neo-komunisme/PKI gaya baru dalam khayalnya. Hal itu akan berulang, sekurangnya sampai tahun 2024. (eFTe)
Rujukan:
[1] “Ciri Komunis Gaya Baru versi Gatot Nurmantyo: Oligarki, Janji Palsu, Hingga Politik Pecah Belah”, RMOL Network, 27/9/2021.
[2] “Gatot Nurmantyo: Sudah Ada Penyusupan Paham Komunis di Tubuh TNI”, detikNews.com, 27/9/2021.
[3] “Sampaikan 3 Tuntutan, Ini Isi Surat Presidium KAMI Gatot Nurmantyo kepada Presiden Jokowi”, pikiran-rakyat.com, 23/9/2020.
[4] “Saat Jokowi Ajak TNI Berantas Komunisme dan Warisan PKI”, Tempo.co, 5/10/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H