Serpihan Identitas - M. Sadli Umasangaji
Setelah beberapa hari dari aksi penolakan BBM kemarin. Gerakan mahasiswa memang masih identik dengan aksi massa. Waktu berjalan telah begitu cepat. Teknologi telah melaju melampaui zaman. Terbentuklah zaman baru dengan teknologi yang juga menopang. Kehadiran media sosial inilah seakan menjadi solusi menyentuh hampir semua lapisan masyarakat kita, terutama yang paling intim dan intens adalah kalangan anak muda, termasuk gerakan kepemudaan.
Senyata, hal ini dapat kita lihat pada perkembangan periodisasi generasi Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh perkembangan media. Kita mengenal generasi Baby Boomer, Generasi 1946-1964, generasi yang lahir setelah Perang Dunia II, ini memiliki banyak saudara, akibat dari banyaknya pasangan yang berani untuk mempunyai banyak keturunan. Generasi yang adatif, mudah menerima dan menyesuaikan diri. Dianggap sebagai orang lama yang mempunyai pengalaman hidup. Generasi X, generasi 1965-1980, tahun-tahun ketika generasi ini lahir merupakan awal dari penggunaan PC, video games, tv kabel, dan internet. Generasi Y, lahir 1981-1994, generasi millenium. Generasi ini banyak menggunakan teknologi komunikasi instan seperti email, SMS, instan messaging. Generasi yang multitasking, contohnya belajar sambil mendengarkan musik. Generasi Y plus, generasi yang mengikuti trend seiring pesatnya perkembangan teknologi. Generasi Z atau i-Generation, generasi 1995-2010. Di masa generasi Z, internet sudah mulai berkembang dengan sangat baik. Pada generasi ini, mereka terbiasa melihat orang lain menggunakan gadget, sehingga sangat mudah untuk generasi Z ini beradaptasi dengan teknologi. Dan sekarang telah lahir generasi Z atau Generasi Net yang sehari-hari hidup di dunia internet. Inilah masyarakat netizen dalam sistem sosial politik kita.
Kehadirian media sosial ini telah mengubah pola hubungan dan komunikasi sosial politik masyarakat. Terlihat dalam pola interaktivitas jaringan dalam dunia jejaring sosial yang akhirnya membentuk solidaritas komunikatif yang sama sekali baru. Ini bisa dipahami sebagai beralihnya interaksi sosial-politik masyarakat pada sistem networking yang diperantarai media sosial, bukan lagi dalam pertemuan langsung atau yang diperantarai media massa konvensional. Kemudian dalam dunia sosial politik, inilah bentuk solidaritas komunikatif baru antara pemerintah dan rakyat, yang akhirnya melahirkan demonstran gaya baru melalui media sosial.
Dawam termasuk yang begitu aktif dalam diskusi-diskusi online yang mulai menjamur. Diskusi online sebagai zaman baru dalam diskusi. Sebagai intelektualitas zaman ini. Aktivisme generasi Y Plus dan Z di era media sosial. Aktivisme digital.
Aktivitas diskusi online membuat Dawam mengenal beberapa komunitas. Diskusi online yang diikuti Dawam begitu banyak. Diskusinya mulai dari bedah buku, diskusi tentang tokoh pergerakan hingga masalah kerakyatan dan politik. Terselip bahwa Dawam menyukai sastra. Membuat ia mengenal konsep "Sastra Gerakan".
"Sastra gerakan sebagai suatu gerakan wacana dan budaya. Kekuatan wacana. Karena rasa dan estetika akan terus mengikuti perkembangan zaman. Gerakan menjadikan frame agar sastra mempunyai nuansa perjuangan dalam estetika dan nilai sesuai dengan ruang yang diyakini. Sastra gerakan adalah kerja kebudayaan. Gerakan sastra adalah gerakan kebudayaan dengan semangat profetisme jalanan dan tujuan sastra gerakan adalah menghimpun seni yang berkepribadian serta membebaskan. Sastra gerakan menjaga kebudayaan yang beradab"
"Karya sastra merupakan cermin dari sebuah realitas kehidupan sosial masyarakat. Sebuah karya sastra yang baik memiliki sifat-sifat yang abadi dengan memuat kebenaran-kebenaran hakiki yang selalu ada selama manusia masih ada"
"Suatu karya lahir tidak lepas dari kondisi akan zamannya. Sastra sebagai wadah merekam kondisi sosial, atau kemungkinan sebagai alat politik agar penikmat sastra (pembaca) terpengaruh terhadap pesan yang hendak disampaikan kepada penulis", beberapa pemantik dalam diskusi Sastra Gerakan. Dawam adalah penyuka sastra yang terlahir dalam generasi gerakan sebagai generasi Y Plus.
Sekretariat hari itu banyak kader yang duduk-duduk di dalamnya. Sekretariat telah menjadi tempat untuk berkumpul, entah untuk rapat, atau bertemu walau tak ada kegiatan. Sebagai tempat untuk berkumpul kala aktivitas di luar, tak ada. Maka sekretariat menjadi tempat bernaung. Dawam dan Said sedang ada di sekretariat. Said membaca buku Fikih Pergerakan Sayyid Qutbh dan Dawam membaca novel Pram, Jejak Langkah. Novel ketiga dari Tetralogi Buru.
"Antum suka dengan novel Pram bung?", tanya Said pada Dawam
"Memangnya kenapa akh?"
"Tidak, hanya tanya saja, antum kelihatan sudah dua kali membaca novel Pram, tambah itu yang ketiga", Said sambil tertawa.
Dawam tersenyum, "Ya, kurang lebih begitu bro. Aku suka saja dengan Sastra Realisme Sosialis"
"Realisme sosialis sebagai salah satu aliran dalam sosialisme yang bergerak dalam kancah sastra. Semangat realisme sosialis ialah untuk memenangkan sosialisme di tengah masyarakat. Maka di dalam sastra aliran realisme sosialis, realitas masyarakat adalah inspirasi untuk membuat karya", kata Dawam sambil tertawa
"Pram adalah tokoh Realisme Sosialis-nya Indonesia", gumam Dawam lagi.
"Realisme sosialis itu sendiri bukan hanya penamaan satu metode di bidang sastra, tapi lebih tepat dikatakan satu hubungan filsafat, metode penggarapan dengan apresiasi estetiknya sendiri. Penamaan satu politik estetik di bidang sastra yang sekaligus juga mencakup kesadaran adanya front, adanya perjuangan, adanya kawan-kawan sebarisan dan lawan-lawan di seberang garis, adanya militansi, adanya orang-orang yang mencoba menghindari diri dari front ini untuk memenangkan ketakacuhan. Begitulah urai Pram tentang Realisme Sosialis", Dawam masih terus berkata
"Kenapa antum begitu suka?"
"Aku suka dengan sastra akh. Suka sastra saja. Tapi suka sastra dengan latar perlawanan juga"
"Pemikiran Pram tentang realisme sosialis, sebenarnya punya tujuan satu, yaitu untuk membangun masyarakat yang ideal. Masyarakat tanpa penindasan, masyarakat yang merdeka. Dalam arti terpenuhinya hak-hak sebagai manusia, seperti yang diharapkan oleh sosialisme. Yaitu manusia yang sama rasa sama rata dan karsa (keinginan)", Dawam menjelaskan kekagumannya pada Pram.
Said tertawa, "Kalau perlawanan, Sayyid Qutbh juga tokoh perlawanan terhadap diktator", Said berkata demikian. Said memang mengagumi tokoh-tokoh Ikhwan dan merasa cukup senang dengan menyelami pemikiran-pemikiran tokoh Ikhwan saja.
Dawam tentu berbeda, membebaskan dirinya dalam membaca apa saja. Termasuk kesukaan yang besar pada sastra. Sastra yang begitu ia sukai.
Tapi mereka tetap sama-sama aktif di organisasi Kepemudaan Islam. Dengan saling mengingatkan kepada semangat keislaman.
Dalam organisasi Kepemudaan Islam itu, yang mirip dengan Dawam adalah Usamah. Usamah adalah gabungan antara Said dan Dawam, suka membaca karya tokoh ikhwan seperti Sayyid Qutbh, tapi juga suka dengan novel realisme sosialis seperti Pram.
#
Dawam telah kembali di rumahnya. Merebah di tempat tidurnya.
"Pandangan sastra Pria Tua itu tentang realisme sosialis telah menjadi ketentuan bahwa pengarang harus belajar dari rakyat. Banyak cara yang harus dan bisa ditempuh, terutama membaurkan diri ke dalam gerakan massa, mengenal perasaan mereka, mengenal spontanitas dalam menyatakan perasaan mereka, dan bersama mereka ikut mewujudkan apa yang harus diharapkan oleh mereka"
Pria tua itu di Blora pada tahun 1925 di jantung pulau jawa di sebelah timur Pulau Sumatera, sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya seorang penjual nasi.
Hampir separuh hidup pria tua ini dihabiskan dalam penjara. Para pengarang realisme sosialis harus menyediakan diri untuk digembleng dan diperbanyak oleh realitas yang kasar, pahit, dan bengis. Hasil langsung dari didikan spontan ini ialah meningkatkan daya kreatif terhadap segala gerak-gerik musuh rakyat. Gemblengan itu menghasilkan ketajaman daya urai dan daya pembeda antara gerakan pokok musuh rakyat, gerakkan semu, penyokong musuh, dan gerakan tidak sadar menyokong musuh. Seterusnya gemblengan itu juga meningkatkan naluri mempertahankan dan memperkuat gerakan rakyat, mengkonsolidasi dan mempertahankan kemenangan-kemenangan yang telah dicapai, memahami kekalahan-kekalahan dan menstabilkan sukses-sukses dan dengan cepat mengenal provokasi musuh, anti propaganda.
Penjara tak menghalangi pria tua ini untuk berhenti berkarya. Tidak. Tidak senjengkal pun pria tua ini berhenti menulis. Bagi pria tua ini, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh. Berkali-kali karyanya dilarang dan dibakar.
Sebagaimana telah diketahui bahwa Lekra menganut aliran realisme sosialis, maka pria tua ini tertarik terlibat didalamnya. Ia juga menganut aliran tersebut. Tokoh yang sangat mempengaruhi pemikiran pria tua ini adalah tokoh sastra Rusia Maxim Gorki. Pria tua ini, mengambil semua metode realisme sosialis Maxim Gorki. Tanpa ragu mengatakan bahwa istilah realisme sosialis timbul pertama kali di bumi yang untuk pertama kali memenangkan sosialisme, di bumi yang telah menegakkan sosialisme, yakni Uni Soviet. Tokoh utama yang biasanya mendapat kehormatan sebagai pelopornya adalah pujangga besar Soviet Maxim Gorki terutama dengan karya utamanya Ibunda.
Sejauh ini Dawam masih mengoleksi satu buah karya Gorki, Pecundang.
Dawam mengenal pria tua itu, bahkan mengagumi. Ya, Dawam mengagumi, ia menyadari seperti kata pria tua itu, "Kau terpelajar. Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan".
"Kau pemuda terpelajar. Sepatutnya mulai belajar mengerti", kata pria tua itu lagi.
"Ah, kau salah! Aku suka karya, titik! Karena aku suka sastra! Bukan hanya sekedar terpelajar!"
"Kau tahu aku suka sastra! Aku senang menyukai sastra Realisme Sosialis! Akhir-akhir ini. Karena aku belajar memahami sastra gerakan"
"Maka aku baca karyamu, aku melahapnya, walaupun aku sadari terjadi pertentangan dalam pikiranku sendiri. Ya, terjadi pertentangan dalam pikiranku sendiri. Karena aku aktivis gerakan kepemudaan Muslim"
Pria tua itu membalas dalam imajinasi Dawam sendiri, "Cerita, selamanya tentang manusia, kehidupannya bukan kematiaannya. Ya, biarpun yang ditampilkan itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dapat dipahami daripada sang manusia. Itu sebabnya tak habis-habisnya cerita dibuat di bumi ini. Setiap hari bertambah saja. Aku sendiri tak banyak tahu tentang ini. Suatu kali pernah terbaca olehku tulisan yang kira-kiranya katanya begini: jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana, biar penglihatannya begitu sederhana, biar penglihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput".
"Ya, aku suka cerita sastra. Akhir-akhir ini aku mengoleksi sastra realisme sosialis, sastra kiri. Ya, sebagai sastra perjuangan, sastra perlawanan. Aku hanya ingin mengembangkan minatku pada manifesto Sastra Gerakan", Dawam membalas pada Pria tua ini, tersenyum sendiri dalam imajinasinya.
"Aku membaca semua karya sastra yang aku ingin baca!", gumam Dawam dalam dialog imajinatifnya.
"Berbahagialah kau"
"Ya, seperti katamu pria tua, berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri"
"Bukankah kau sendiri pria tua yang berkata, semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir"
"Kau, juga yang memberiku pandangan dalam menulis, jelas menulis bukan hanya untuk memburu kepuasaan pribadi. Menulis harus juga mengisi hidup"
"Karyamu memang abadi pria tua!"
"Mengarang adalah bekerja untuk keabadian"
Dawam mendengar suara dari luar kamar memanggilnya. Ibundanya memanggilnya. Katanya ada tukang pos yang cari. Dawam keluar dari kamarnya. Ke depan rumah.
"Ini ada kiriman paket", kata pak pos.
"Ia pak, makasih"
"Tanda tangan disini dulu nyong", kata pak pos
Setelah itu Dawam kembali masuk ke dalam kamarnya. Membuka kiriman paketnya. Dua buku, Arus Balik -- Pramoedya Ananta Toer, dan Prison Book -- Antonio Gramsci.
Dawam membaca sepintas, "Kaum Intelektual", "Semua manusia mempunyai potensi untuk menjadi kaum intelektual, sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki, dan dalam cara menggunakannya. Tetapi tidak semua orang adalah intelektual dalam fungsi sosial. Kaum intelektual dalam makna fungsional terbagi menjadi dua kelompok. Pada kelompok pertama terdapat kaum intelektual profesional 'tradisional', kaum pujangga, ilmuwan dan sebagainya, yang mempunyai posisi dalam celah masyarakat yang mempunyai aura antarkelas tertentu, tetapi berasal dari hubungan kelas masa silam dan sekarang serta melingkupi pembentukan berbagai kelas historis. Yang kedua, terdapat kaum intelektual 'organik', unsur pemikir dan pengorganisasi dari sebuah kelas sosial fundamental tertentu. Kaum intelektual organik ini dapat dengan mudah dibedakan melalui profesi mereka, yang mungkin menjadi karateristik pekerjaan kelas mereka, bukan melalui fungsi mereka dalam mengarahkan gagasan aspirasi kelas organik mereka".
Di rak bukunya terdapat Tetralogi Buru -- Pram. Dan novel Korupsi. Ia baru membaca 2 dari karya Tetralogi Buru. Ia lagi menyukai karya Sastra Realisme Sosialis. Membaca karya Sastra Realisme Sosialis seperti karya Pram atau Gorky adalah bagian dari membentuk untuk menulis kembali sastra gerakan. Dawam memang menyukai sastra kiri dan juga sastra islami. Diadopsi sastra kiri sebagai strategi gambaran perjuangan. Bukan acuan nilai.
Dawam kembali membaca karya pria tua itu, tetralogi buru yang ketiga, Jejak Langkah. Membaring di atas tempat tidur. Mencerna karya pria tua itu. Terkenanglah ia pada kata Gramsci, "Semua manusia mempunyai potensi untuk menjadi kaum intelektual, sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki, dan dalam cara menggunakannya. Tetapi tidak semua orang adalah intelektual dalam fungsi sosial".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H