Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dhammacakkappavattana Sutta: Ajaran Pertama Sang Buddha (bagian 1)

14 Juli 2011   22:29 Diperbarui: 31 Juli 2016   21:13 7511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kotbah Pertama Sang Buddha kepada Lima Pertapa di Taman Rusa

Beberapa hari yang lalu saya mengikuti peringatan hari Asadha di kompleks Candi Muara Jambi. Bagi kebanyakan umat non-Buddhis, mungkin tidak pernah mendengar hari Asadha karena hari raya yang populer adalah hari Waisak. Hari Asadha atau Asalha merupakan salah satu hari suci agama Buddha selain hari Waisak. Seperti juga hari Waisak, hari Asadha diambil dari nama bulan di mana kejadian penting dalam sejarah agama Buddha terjadi. Asadha adalah nama bulan ketujuh dalam penanggalan Buddhis dan hari Asadha jatuh pada saat purnama bulan Asadha. Seperti halnya hari Waisak yang jatuh pada bulan Mei, biasanya hari Asadha jatuh pada bulan Juli. Pada tahun ini hari Asadha jatuh pada tanggal 15 Juli besok.

Peristiwa yang diperingati pada hari Asadha adalah pengajaran pertama Sang Buddha kepada lima pertapa yang kemudian menjadi lima bhikkhu siswa pertama. Pengajaran atau kotbah pertama Sang Buddha tersebut membahas tentang Jalan Tengah atau Jalan Mulia Berunsur Delapan dan Empat Kebenaran Mulia yang menjadi inti ajaran Buddha. Pada akhir kotbah ini, salah satu dari kelima pertapa tersebut yang tertua bernama Kondañña mencapai tingkat kesucian batin yang pertama (Sotapanna atau Pemasuk Arus) dan ditahbiskan sebagai bhikkhu pertama. Demikian juga keempat pertapa lainnya. Kejadian ini juga menandakan lengkapnya tiga pilar agama Buddha yang disebut Tiga Permata (Triratna atau Tiratana), yaitu Buddha sebagai penemu dan guru ajaran kebenaran yang telah ada sebelumnya, Dhamma sebagai ajaran kebenaran yang dapat membawa pada tujuan akhir, dan Sangha sebagai komunitas para siswa yang mempraktekkan dan melestarikan ajaran kebenaran tersebut. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini saya memberikan isi kotbah pertama Sang Buddha beserta penjelasannya. Kotbah ini dapat ditemukan dalam Mahavagga, bagian dari Vinaya Pitaka, dan Samyutta Nikaya, bagian dari Sutta Pitaka.

Dhammacakkappavattana Sutta

Demikianlah telah kudengar.

Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berdiam di Taman Rusa di Isipatana, dekat Benares. Saat itu Sang Bhagava berkotbah kepada kelompok lima bhikkhu sebagai berikut: "Terdapat dua ekstrem, O para bhikkhu, yang seharusnya dihindari oleh seseorang yang telah melepaskan keduniawian:
(1) Memanjakan diri dalam kesenangan indera - ini rendah, kasar, duniawi, hina, dan merugikan; dan
(2) Melekat pada penyiksaan diri - ini menyakitakan, hina dan merugikan.
Dengan meninggalkan kedua ekstrem ini Sang Tathāgata telah memahami Jalan Tengah (Majjhima Patipadā) yang mendukung pandangan dan pengetahuan, dan yang mengarahkan pada ketenangan, kebijaksanaan yang lebih tinggi, pencerahan, dan Nibbāna.

Apakah, O para bhikkhu, Jalan Tengah yang telah Sang Tathāgata pahami yang mendukung pandangan dan pengetahuan, dan yang mengarah pada ketenangan, kebijaksanaan yang lebih tinggi, pencerahan, dan Nibbāna? Jalan Tengah itu adalah Pandangan Benar (sammā ditthi), Pikiran Benar (sammā samkappa), Ucapan Benar (sammā vācā), Perbuatan Benar (sammā kammanta), Mata Pencaharian Benar (sammā ājiva), Upaya Benar (sammā vāyāma), Perhatian Benar (sammā sati), dan Konsentrasi Benar (sammā samādhi) - inilah, O para bhikkhu, Jalan Tengah yang telah Sang Tathāgata pahami.

Sekarang, O para bhikkhu, inilah Kebenaran Mulia tentang Penderitaan (dukkha ariyasacca): Kelahiran adalah penderitaan, kelapukan adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan, bertemu dengan yang tidak menyenangkan adalah penderitaan, berpisah dengan yang menyenangkan adalah penderitaan, tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan. Secara singkat, kemelekatan pada lima kelompok kehidupan (pancupadanakkhanda) adalah penderitaan.

Sekarang, O para bhikkhu, inilah Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan (dukkha samudaya ariyasacca): Ini adalah keinginan yang menyebabkan kelahiran, yang disertai dengan nafsu yang melekat, menyambut (kehidupan) ini dan itu. Ini adalah keinginan atas kesenangan indera (kāmatanhā), keinginan akan kelangsungan (bhavatanhā), dan keinginan atas pemusnahan (vibhavatanhā).

Sekarang, O para bhikkhu, inilah Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan (dukkha nirodha ariyasacca): Ini adalah pelepasan sepenuhnya dan pelenyapan atas keinginan, meninggalkannya, pelepasan, pembebasan darinya, dan tidak melekat padanya.

Sekarang, O para bhikkhu, inilah Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan (dukkha nirodha gāminipatipadā ariyasacca): Ini adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Upaya Benar, Perhatian Benar, dan Konsentrasi Benar.

(I) (1) Inilah Kebenaran Mulia tentang Penderitaan. Demikianlah, O para bhikkhu, berkenaan dengan hal-hal yang tidak terdengar sebelumnya muncul dalam diri-Ku pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan mendalam, dan pencerahan.
(2) Kebenaran Mulia tentang Penderitaan ini seharusnya diketahui. Demikianlah, O para bhikkhu, berkenaan dengan hal-hal yang tidak terdengar sebelumnya muncul dalam diri-Ku pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan mendalam, dan pencerahan.
(3) Kebenaran Mulia tentang Penderitaan ini telah diketahui. Demikianlah, O para bhikkhu, berkenaan dengan hal-hal yang tidak terdengar sebelumnya muncul dalam diri-Ku pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan mendalam, dan pencerahan.

(II) (1) Inilah Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan. Demikianlah, O para bhikkhu, berkenaan dengan hal-hal yang tidak terdengar sebelumnya muncul dalam diri-Ku pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan mendalam, dan pencerahan.
(2) Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan ini seharusnya dilenyapkan. Demikianlah, O para bhikkhu, berkenaan dengan hal-hal yang tidak terdengar sebelumnya muncul dalam diri-Ku pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan mendalam, dan pencerahan.
(3) Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan ini telah dilenyapkan. Demikianlah, O para bhikkhu, berkenaan dengan hal-hal yang tidak terdengar sebelumnya muncul dalam diri-Ku pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan mendalam, dan pencerahan.

(III) (1) Inilah Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan. Demikianlah, O para bhikkhu, berkenaan dengan hal-hal yang tidak terdengar sebelumnya muncul dalam diri-Ku pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan mendalam, dan pencerahan.
(2) Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan ini seharusnya direalisasikan. Demikianlah, O para bhikkhu, berkenaan dengan hal-hal yang tidak terdengar sebelumnya muncul dalam diri-Ku pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan mendalam, dan pencerahan.
(3) Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan ini telah direalisasikan. Demikianlah, O para bhikkhu, berkenaan dengan hal-hal yang tidak terdengar sebelumnya muncul dalam diri-Ku pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan mendalam, dan pencerahan.

(IV) (1) Inilah Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan. Demikianlah, O para bhikkhu, berkenaan dengan hal-hal yang tidak terdengar sebelumnya muncul dalam diri-Ku pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan mendalam, dan pencerahan.
(2) Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan ini seharusnya dikembangkan. Demikianlah, O para bhikkhu, berkenaan dengan hal-hal yang tidak terdengar sebelumnya muncul dalam diri-Ku pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan mendalam, dan pencerahan.
(3) Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan ini telah dikembangkan. Demikianlah, O para bhikkhu, berkenaan dengan hal-hal yang tidak terdengar sebelumnya muncul dalam diri-Ku pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan mendalam, dan pencerahan.

Selama, O para bhikkhu, pengetahuan intuitif sejati yang mutlak tentang Empat Kebenaran Mulia ini dalam tiga  aspeknya dan dua belas caranya tidak sepenuhnya jelas bagi-Ku, selama itulah Aku tidak menyatakan di dunia ini termasuk para dewa, Māra, dan Brahma, dan di antara kumpulan para pertapa, dewa, dan manusia, bahwa Aku telah memperoleh Penerangan Sempurna yang tiada bandingnya.

Ketika, O para bhikkhu, pengetahuan intuitif sejati yang mutlak tentang Empat Kebenaran Mulia ini dalam tiga aspeknya dan dua belas caranya caranya menjadi sepenuhnya jelas bagi-Ku, maka hanya dengan demikian Aku menyatakan di dunia ini termasuk para dewa, Māra, dan Brahma, dan di antara kumpulan para pertapa, dewa, dan manusia, bahwa Aku telah memperoleh Penerangan Sempurna yang tiada bandingnya. Dan muncullah dalam diri-Ku pengetahuan dan kebijaksanaan mendalam: 'Tidak tergoyahkan pembebasan pikiran-Ku. Inilah kelahiran terakhir-Ku, dan saat ini tidak ada kelahiran kembali lagi'."

Demikianlah Sang Bhagava berkotbah, dan para bhikkhu dengan senang menerima kata-kata Sang Bhagava.

Ketika ajaran ini diuraikan, muncullah dalam diri Yang Mulia Kondañña Mata Dhamma (Dhammacakkhu) yang tanpa debu, tanpa noda dan ia melihat bahwa "Apa pun yang muncul semuanya pasti akan lenyap."

Ketika Sang Buddha menguraikan kotbah Dhammacakka ini, para dewa yang berdiam di bumi mengumandangkan: "Dhammacakka yang mengagumkan ini yang tidak dapat diajarkan para pertapa, brahmana, dewa, Māra atau Brahma di dunia ini telah diuraikan oleh Sang Bhagava di Taman Rusa, di Isipatana, di dekat Benares."

Mendengar hal ini, para dewa Cātummahārājika, Tāvatimsa, Yāma, Tusita, Nimmānarati, Paranimmitavasavatti, dan para Brahma Pārisajja, Brahma Purohita, Mahā Brahma, Parittābhā, Appamānābhā, Ābhassara, Parittasubha, Appamānasubha, Subhakinna, Vehapphala, Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassi, dan Akanittha juga mengumandangkan teriakan kegembiraan yang sama. Demikianlah pada saat yang sama, dalam sekejap, teriakan ini menjangkau sampai sejauh alam Brahma. Sepuluh ribu tata surya berguncang, bergoyang, dan bergetar dengan hebat. Cahaya cemerlang, yang melampaui cahaya para dewa, muncul di dunia.

Kemudian Sang Bhagava berkata, "Kawan, Kondañña telah sungguh memahami. Kawan, Kondañña telah sungguh memahami." Oleh sebab itu Yang Mulia Kondañña disebut Aññāta Kondañña (Kondañña yang memahami).

Penjelasan Dhammacakkappavattana Sutta

Judul

Judul kotbah ini terdiri dari kata Pali "Dhamma" (ajaran atau kebenaran), "cakka" (roda), "pavattana" (memutar), dan "sutta" (kotbah atau ceramah). Secara harfiah, Dhammacakkappavattana Sutta berarti Kotbah Pemutaran Roda Dhamma. Di sini Dhamma biasanya diterjemahkan sebagai ajaran atau kebenaran yang ditemukan Sang Buddha di bawah pohon Bodhi, walaupun para guru spiritual India kuno pada masa Sang Buddha juga menyebut ajaran mereka sebagai Dhamma (sehingga secara khusus disebut Buddha Dhamma, ajaran Buddha, untuk membedakan dengan ajaran lain).

Disebut Pemutaran Roda Dhamma karena sebelumnya kebenaran ini telah ada di alam semesta, namun terlupakan oleh para manusia seiring dengan kemerosotan moral manusia itu sendiri. Dengan kemunculan seorang Buddha di dunia ini, kebenaran ini ditemukan kembali dan diajarkan kepada mereka yang mau mendengarkan, menerima, dan menjalankannya. Dengan demikian, Dhamma yang sebelumnya berhenti berputar karena terlupakan, kini telah diputar kembali oleh Sang Buddha Gotama, Buddha keempat yang muncul pada periode dunia saat ini. Pada masa yang akan datang, ajaran kebenaran ini pun akan dilupakan kembali seiring dengan penurunan moral manusia hingga akhirnya saat kemunculan  Buddha berikutnya bernama Maitreya atau Metteya yang akan memutar kembali roda kebenaran tersebut. Ajaran pertama para Buddha dari masa lampau, masa sekarang dan masa yang mendatang adalah sama, yaitu tentang Jalan Tengah dan Empat Kebenaran Mulia. Demikian pula, Buddha Maitreya akan mengajarkan Dhammacakkappavattana Sutta ini kepada para siswa pertamanya.

Demikianlah Telah Kudengar

Kalimat "Demikianlah telah kudengar" merupakan perkataan Bhikkhu Ananda yang dikenal sebagai pengulang ajaran Sang Buddha pada pertemuan para Arahat di bawah Bhikkhu Mahakassapa tak lama setelah wafatnya Sang Buddha (dikenal sebagai Konsili Buddhis I). Ananda merupakan seorang pangeran Sakya sepupu Siddhartha Gautama yang kemudian menjadi siswa sekaligus pelayan tetap Sang Buddha yang selalu menemani Beliau setiap saat. Karena kedekatannya dengan Sang Buddha dan ditambah lagi ingatan beliau yang kuat, Bhikkhu Ananda mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan kotbah-kotbah yang diulangi Sang Buddha kepadanya. Dengan demikian, walaupun saat pengajaran pertama ini, Ananda belum menjadi siswa Sang Buddha, tetapi pada kesempatan lain Sang Buddha mengulangi kotbah pertama-Nya kepada Bhikkhu Ananda. Demikianlah kotbah ini bisa sampai kepada kita.

Tempat dan Pendengar

Kotbah ini diajarkan di sebuah taman rusa di Isipatana di kota Benares. Daerah tersebut merupakan hutan belantara di mana hewan rusa bebas berkeliaran tanpa takut diburu oleh manusia. Pada masa lampau raja Benares memberikan perlindungan pada para rusa dan hewan lainnya di hutan tersebut setelah tergerak hatinya melihat pengorbanan raja rusa di sana yang menggantikan seekor rusa betina yang tengah hamil yang akan dibunuh oleh sang raja. Raja rusa tersebut tak lain adalah kelahiran lampau Bodhisatta yang kelak akan menjadi Buddha Gotama. Para ahli sejarah menemukan Isipatana sebagai kota kecil Sarnath yang berjarak enam mil dari kota Benares saat ini. Nama Sarnath diambil dari nama raja rusa tersebut, Sāranganātha (pelindung para rusa).

Seperti dalam pembukaan sutta ini, ajaran ini diberikan kepada lima orang pertapa (yang disebut sebagai bhikkhu, pertapa Buddhis). Kelima pertapa tersebut tak lain adalah Kondañña, Bhaddiya, Vappa, Mahānāma, dan Assaji. Kondañña adalah yang tertua di antara kelimanya, ia adalah salah seorang brahmana yang pernah diundang Raja Suddhodana untuk meramalkan masa depan putranya yang baru lahir. Para brahmana lainnya meramalkan bahwa bayi Siddhartha Gautama akan menjadi seorang raja dunia (cakkavatti) atau menjadi seorang Buddha, tetapi Kondañña dengan pasti menyatakan bahwa kelak sang bayi akan menjadi Buddha. Ketika berusia 29 tahun Pangeran Siddhartha meninggalkan kehidupan istana dan menjadi pertapa. Kondañña mengajak serta empat orang putra dari para brahmana lainnya untuk mengikuti jejak Pangeran dengan harapan agar jika Pangeran memang menjadi Buddha, mereka bisa mendapatkan manfaat yang sama.

Namun enam tahun bertapa di hutan Uruvela dengan berbagai cara penyiksaan diri tidak membawa pada tujuan akhir yang ingin dicapai. Akhirnya, Pertapa Gotama menyadari kesia-siaan praktek penyiksaan diri yang ia lakukan bahwa kesehatan fisik juga diperlukan untuk kemajuan spiritual. Maka ia memutuskan untuk mengembalikan kondisi tubuhnya yang digambarkan dalam teks-teks Buddhis seperti kerangka hidup. Kelima pertapa yang mengikutinya merasa kecewa dan menganggap Pertapa Gotama telah menjadi lengah dan meninggalkan praktek keras untuk kembali pada kehidupan yang nyaman. Mereka pun meninggalkannya dan pergi menuju Taman Rusa di Isipatana. Setelah memulihkan kondisi tubuhnya, Pertapa Gotama melanjutkan perjalanan menuju ke Gaya. Di sana ia menemukan tempat bermeditasi yang cocok di bawah pohon assattha (Ficus religiosa) yang kelak akan dikenal dengan nama pohon Bodhi.

Mempraktekkan meditasi dengan objek keluar masuknya napas yang pernah beliau lakukan ketika masih balita, Pertapa Gotama mencapai tingkat pemusatan pikiran (jhana) hingga memperoleh pengetahuan akan kehidupan lampau. Kemudian ia mencapai pengetahuan akan kelahiran dan kematian para makhluk sesuai dengan perbuatan mereka. Setelah itu beliau menyadari: "Inilah penderitaan (dukkha), inilah munculnya penderitaan, inilah lenyapnya penderitaan, inilah jalan menuju lenyapnya penderitaan; inilah kekotoran batin, inilah munculnya kekotoran batin, inilah lenyapnya kekotoran batin (asava), inilah jalan menuju lenyapnya kekotoran batin." Dengan menyadari hal ini, pikirannya terbebaskan dari kekotoran batin dari nafsu indera (kama), keinginan untuk melangsungkan diri (bhava), dan ketidaktahuan (avijja). Dengan demikian ia mencapai pengetahuan atas lenyapnya kekotoran batin.

Sekarang Pertapa Gotama telah memahami semua sebab persoalan kehidupan dan mengetahui cara untuk mengakhiri penderitaan, kesedihan, ketidakbahagiaan, usia tua, dan kematian. Batinnya menjadi tenang dan penuh kedamaian. Ia telah menjadi seorang Buddha yang maha sempurna (Samma Sambuddha) yang dapat mengajarkan orang lain untuk mencapai pencerahan batin yang sama. Sekarang Beliau dikenal sebagai Buddha Gotama, salah satu dari rangkaian terhitung para Buddha yang telah muncul di masa lampau dan akan muncul di masa mendatang. Setelah menghabiskan waktu tujuh minggu berpuasa, Buddha Gotama merenungkan apakah akan mengajarkan apa yang Beliau temukan di bawah pohon Bodhi kepada orang lain atau tidak. Karena Dhamma yang Beliau temukan sangat mendalam dan sulit untuk dimengerti, maka timbul keengganan Sang Buddha untuk mengajar.

Mengetahui pikiran Sang Buddha, Brahma Sahampati yang merupakan makhluk yang dipuja orang-orang India kuno sebagai dewa tertinggi memohon agar Sang Buddha mau mengajarkan Dhamma kepada semua makhluk. "Ada makhluk yang terdapat sedikit debu di mata mereka, yang jika tidak mendengarkan Dhamma akan jatuh. Merekalah yang akan memahami Dhamma. Demi belas kasih kepada mereka, ajarkanlah Dhamma kepada mereka," demikian sang brahma memohon. Dengan mata batin-Nya Sang Buddha melihat terdapat orang-orang yang tidak terikat dengan hal-hal duniawi dan mudah mengerti akan ajaran Buddha. Maka Beliau memutuskan untuk mengajar Dhamma, tetapi kepada siapa?

Pertama-tama Sang Buddha hendak mengajarkannya kepada Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta, dua orang pertapa yang mengajarkan beliau meditasi mencapai tingkat pemusatan pikiran yang disebut arupa jhana, tetapi keduanya telah meninggal dunia. Kemudian Sang Buddha mengarahkan perhatian-Nya kepada kelima pertapa yang pernah mengikuti Beliau. Mengetahui mereka sedang berdiam di Taman Rusa Isipatana, Sang Buddha pun menuju ke sana. Pertemuan kembali dengan kelima pertapa tidak serta merta memudahkan Sang Buddha untuk membuat mereka mendengarkan ajaran-Nya. Mereka menganggap Pertapa Gotama telah gagal dan kembali ke kehidupan yang mewah.

Sang Buddha berusaha meyakinkan mereka dengan berkata, "Tidak, o para bhikkhu, Aku tidak berhenti berusaha dan kembali ke kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Aku telah mencapai Keadaan Tanpa Kematian (Nibbana). Aku akan membimbing dan mengajarkan kebenaran ini. Jika kalian melatih diri sesuai dengan ajaran-Ku, kalian akan mengetahui sendiri dengan kebijaksanaan kalian dan mencapai bahkan dalam kehidupan saat ini juga tujuan tertinggi dari kehidupan suci." Setelah Sang Buddha mengulangi hal ini untuk ketiga kalinya, para pertapa tersebut menyadari kebenaran kata-kata Sang Buddha dan mau mendengarkan serta mengikuti ajaran Beliau.

Tidak hanya lima pertapa yang mendengarkan ajaran pertama Sang Buddha ini, tetapi juga banyak sekali makhluk dewa dan brahma yang tidak kasat mata dari seluruh penjuru semesta turut hadir dalam kesempatan langka ini. Namun tentu saja, secara khusus Sang Buddha menujukan ajaran-Nya kepada kelima pertapa.

Dua Ekstrem yang Seharusnya Dihindari

Sang Bhagava (Yang Dijunjungi, demikianlah Buddha Gotama disebut dalam teks-teks Buddhis) memulai kotbahnya dengan menyebutkan dua praktek ekstrem yang seharusnya dihindari oleh mereka yang telah meninggalkan kehidupan duniawi, yaitu praktek memanjakan diri dalam kesenangan indera dan praktek menyiksa diri.

Praktek yang pertama dijalankan oleh mereka yang berpandangan materialistik nihilistik bahwa kehidupan di dunia ini hanya sekali; oleh sebab itu, kebajikan terbesar adalah mengisi hidup hanya dengan kesenangan-kesenangan indera. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini cenderung membuat orang-orang berpandangan demikian dan melakukan praktek ekstrem memuaskan kesenangan indera saja: mengejar mati-matian harta, tahta dan cinta sepanjang hidupnya. Praktek ini lazim dilakukan oleh kebanyakan dari kita yang hidup di tengah-tengah hiruk-pikuk kesibukan duniawi. Sesungguhnya kesenangan duniawi bukanlah kebahagiaan sejati karena ia bersifat sementara dan dapat mengakibatkan kerugian jika berlebihan dalam mengejarnya. Harta dan tahta tidak dapat mencegah seseorang luput dari usia tua, penyakit dan kematian. Demikian juga, cinta yang disertai nafsu dapat melemahkan pengembangan spiritual dan menjadikan seseorang tidak bermoral, tidak lebih tinggi dari makhluk rendah seperti hewan yang mengakibatkan kelahiran di alam-alam rendah.

Timbul pertanyaan: Bukankah ini ditujukan kepada para pertapa yang telah melepaskan keduniawian? Bagi kita yang masih terikat pada kesibukan sehari-hari, bukankah sudah sewajarnya mengejar kesenangan duniawi? Sang Buddha tidak berpikiran sempit. Beliau mengetahui bahwa tidak semua orang bisa melepaskan kehidupan duniawi dan meninggalkan kesenangan indera. Bagi umat awam, kesenangan indera adalah kebahagiaan duniawi tertinggi yang dapat dicapai dalam kehidupan ini. Namun demikian, dalam mengejar kesenangan duniawi tersebut, kita sebagai umat awam harus mengimbanginya dengan pengembangan spiritual juga, yang antara lain dengan berperilaku bermoral dan mengendalikan diri. Ini mencegah kita agar tidak jatuh pada ekstrem praktek memanjakan diri dalam kesenangan indera.

Ekstrem kedua yang seharusnya dihindari adalah praktek penyiksaan diri yang menyakitkan dan merugikan diri sendiri. Umumnya para pertapa dan guru spiritual pada masa Sang Buddha menganut pandangan bahwa kehidupan yang nyaman hanya menyebabkan kemelekatan pada kesenangan indera; hanya dengan menolak objek-objek indera dan tubuh ini, maka pembebasan dan kedamaian batin dapat tercapai. Oleh sebab itu, para pertapa melakukan praktek penyiksaan diri antara lain dengan merapatkan gigi dan menekankan lidah ke atas langit-langit mulut, menahan napas agar tidak keluar dari hidung dan mulut, dan berpuasa dengan hanya makan satu butir nasi sehari. Demikian juga, Pertapa Gotama dan kelima pertapa yang mengikuti beliau menganut pandangan yang sama sebelum Pertapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna. Namun praktek penyiksaan diri tersebut sia-sia, hanyalah membawa pada penderitaan fisik yang ekstrem, tidak membawa pada Penerangan Sempurna. Ini juga yang menyadarkan Pertapa Gotama sehingga ia meninggalkan praktek penyiksaan diri yang dilakukannya selama enam tahun. Walaupun tubuh ini penuh dengan kekotoran dan tidak seharusnya dilekati, tetapi kita masih memerlukannya untuk mendukung praktek spiritual. Dengan demikian, menyakiti tubuh sendiri bukanlah praktek yang benar.

Jika ektrem yang pertama melemahkan batin atau pikiran kita, maka ekstrem yang kedua ini melemahkan tubuh kita yang seharusnya dirawat sepantasnya. Berdasarkan pengalamannya sendiri, Sang Buddha menyadari kesia-siaan kedua praktek ekstrem ini dan menemukan Jalan Tengah untuk menghindari keduanya dan dapat membawa pada kebahagiaan sejati yang didambakan semua orang.

Jalan Tengah atau Jalan Mulia Berunsur Delapan

Jalan Tengah adalah jalan yang ditemukan Sang Tathagata (yang berarti "Ia yang telah datang, Ia yang telah pergi", salah satu sebutan Sang Buddha) di bawah pohon Bodhi dan diajarkan selama 45 tahun berikutnya kepada semua orang. Jalan Tengah ini disebut juga Jalan Mulia Berunsur Delapan karena merupakan jalan yang ditempuh oleh para orang mulia (ariya) untuk mencapai tujuan akhir, yang terdiri atas delapan unsur yang tak terpisahkan dan saling berkaitan, yaitu:

  1. Pandangan Benar (sammā ditthi)
  2. Pikiran Benar (sammā samkappa)
  3. Ucapan Benar (sammā vācā)
  4. Perbuatan Benar (sammā kammanta)
  5. Mata Pencaharian Benar (sammā ājiva)
  6. Upaya Benar (sammā vāyāma)
  7. Perhatian Benar (sammā sati)
  8. Konsentrasi Benar (sammā samādhi)

Untuk kepentingan praktek, Jalan Mulia Berunsur Delapan dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu moralitas (sila) yang terdiri dari ucapan benar, perbuatan benar, dan mata pencaharian benar; konsentrasi (samadhi) yang terdiri dari upaya benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar; serta kebijaksanaan (pañña) yang terdiri dari pandangan benar dan pikiran benar. Dengan menjalankan ucapan, perbuatan dan mata pencaharian benar, moralitas dikembangkan. Kemudian dengan menjalankan upaya, perhatian dan konsentrasi benar, seseorang mengembangkan konsentrasi melalui meditasi. Setelah itu, pengembangan pandangan dan pikiran benar membawa seseorang pada kebijaksanaan pandangan terang (vipassana pañña), yaitu kebijaksanaan yang melebihi kebijaksanaan duniawi.

  • Moralitas

Moralitas dikembangkan dengan menjalankan ucapan benar, perbuatan benar, dan mata pencaharian benar. Ucapan benar adalah ucapan yang bebas dari dusta, fitnah, kata-kata kasar dan menyakitkan, kata-kata kosong dan tidak bermanfaat.

Perbuatan benar adalah perbuatan jasmani yang bebas dari pembunuhan, pencurian, dan perbuatan seksual yang salah. Bagi orang-orang yang hidup berumah tangga, perbuatan seksual yang salah meliputi perbuatan seksual yang dilakukan bukan dengan pasangan resmi, hubungan seksual dengan orang-orang yang dilarang secara hukum dan adat, hubungan sesama jenis, dan hubungan seksual dengan makhluk bukan manusia.

Mata pencaharian benar adalah penghidupan yang bebas dari cara yang salah, yaitu yang melibatkan pembunuhan, pencurian, dan ucapan yang salah. Bagi umat awam, dalam hal perdagangan terdapat 5 jenis mata pencaharian yang tidak seharusnya dijalankan: berdagang senjata, manusia (perdagangan wanita, anak di bawah umur, dan prostitusi), hewan untuk dibunuh, minuman keras (termasuk obat-obatan terlarang), dan racun. Bagi mereka yang meninggalkan kehidupan berumah tangga, mata pencaharian yang salah adalah semua cara mendapatkan empat kebutuhan pokok (tempat tinggal, pakaian, makanan, obat-obatan) yang tidak sesuai dengan aturan kehidupan monastik (Vinaya).

Moralitas merupakan landasan utama dalam menapaki jalan menuju kebahagiaan sejati. Dengan moralitas saja, seseorang dapat terlahir di alam bahagia (surga) setelah kematiannya. Moralitas mengatur perbuatan jasmani dan ucapan dari hal-hal yang tidak bermanfaat (akusala), yang diperlukan untuk pengembangan batin yang lebih tinggi. Dengan demikian, adalah sangat penting untuk menjaga moralitas bahkan bagi mereka yang tidak bermaksud untuk mencapai kedamaian spiritual.

Dalam kehidupan sehari-hari, seorang umat awam dapat menjalan lima pelatihan moral (Panca-sikkhapada atau Pancasila): tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berbuat asusila, tidak berkata dusta, dan tidak mengkonsumsi bahan yang menyebabkan lemahnya kesadaran; atau delapan pelatihan moral (Atthasila):  tidak membunuh, tidak mencuri, tidak melakukan hubungan seksual, tidak berkata dusta, tidak mengkonsumsi bahan yang menyebabkan lemahnya kesadaran, tidak makan setelah tengah hari, tidak melakukan tarian, nyanyian, bermain musik, melihat pertunjukan, dan merias diri, serta tidak tidur di tempat tidur yang mewah. Umumnya delapan pelatihan moral dilaksanakan pada saat hari pertama, kedelapan, kelima belas, dan keduapuluh tiga setiap bulan penanggalan lunar.

Bagi para bhikkhu, terdapat 227 aturan moralitas dan untuk para bhikkhuni ada 311 aturan, yang disebut Patimokkha-sila. Empat aturan pokok yang jika dilanggar maka menyebabkan bhikkhu atau bhikkhuni yang bersangkutan dikeluarkan dari kehidupan membiara dan tidak boleh ditahbiskan kembali dalam kehidupan ini (Parajika) adalah melakukan perbuatan seksual, mencuri, menyebabkan hilangnya nyawa manusia bahkan jika masih janin sekali pun, dan mengaku telah mencapai kemajuan spiritual, seperti kesucian batin (Arahat) atau tingkat pemusatan pikiran (jhana), padahal belum mencapainya.

Dengan menjalankan moralitas diharapkan 4 jenis kesucian moralitas di bawah ini dapat terpenuhi:

  1. Pengendalian perbuatan dan perilaku melalui aturan moralitas yang sesuai (Pancasila dan Atthasila bagi umat awam, Patimokkha-sila bagi para bhikkhu dan bhikkhuni).
  2. Pengendalian indera dengan tidak melekat pada objek-objek indera (bentuk, suara, bebauan, rasa, sentuhan, dan objek pikiran) yang ditangkap oleh pancaindera dan pikiran kita untuk menangkal timbulnya hal-hal yang tidak bermanfaat.
  3. Kesucian cara penghidupan, yaitu memperoleh kebutuhan pokok sehari-hari dengan cara yang benar. Ini dikembangkan dengan menjalankan mata pencaharian yang benar.
  4. Penggunaan kebutuhan pokok yang benar, yaitu dengan bijaksana merenungkan bahwa pakaian semata-mata digunakan untuk melindungi tubuh dari panas dan dingin, makanan hanya untuk memberi nutrisi bagi tubuh, tempat tinggal hanya untuk melindungi dari perubahan cuaca, dan obat-obatan hanya untuk menangkal penyakit.
  • Konsentrasi

Konsentrasi yang dimaksudkan di sini adalah praktek pengembangan mental yang membawa ketenangan batin dan keterpusatan pikiran. Secara umum, praktek ini dicapai melalui meditasi. Pengembangan mental ini dilakukan dengan menjalankan upaya benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

Upaya benar merupakan upaya untuk mencegah munculnya hal-hal yang tidak baik dan tidak bermanfaat yang belum muncul, meninggalkan dan melenyapkan hal-hal yang tidak baik dan tidak bermanfaat yang telah muncul, memunculkan hal-hal yang baik dan bermanfaat yang belum muncul, serta mempertahankan hal-hal yang baik dan bermanfaat yang telah muncul. Hal-hal yang tidak baik dan tidak bermanfaat yang dimaksud adalah perkataan, perbuatan, dan pikiran yang tidak baik dan merugikan kemajuan spiritual; hal-hal yang baik dan bermanfaat adalah perkataan, perbuatan, dan pikiran yang baik dan membawa pada kemajuan spiritual.

Perhatian benar adalah praktek di mana seseorang selalu sadar dan perhatian pada semua fenomena yang terjadi pada jasmani dan pikirannya. Ini dapat dilakukan dengan mengembangkan empat landasan kesadaran atau perhatian (satipatthana), yaitu perhatian terhadap jasmani, perasaan, pikiran, dan bentuk-bentuk pikiran. Dalam praktek ini seseorang merenungkan keempat faktor ini sebagai tidak kekal, tidak menyenangkan, dan tidak memuaskan. Untuk memperhatikan hal ini, ia berdiam dengan tekun, waspada, dan penuh kesadaran setelah melenyapkan semua keserakahan dan kesedihan yang berkenaan dengan keempat faktor ini. Dari keempat landasan perhatian ini, perhatian terhadap jasmani adalah yang umum dilakukan para meditator. Ada beberapa metode meditasi perhatian terhadap tubuh ini, yaitu perhatian terhadap pernapasan, perhatian terhadap posisi tubuh, kesadaran jernih atas apa yang sedang dilakukan, perenungan terhadap bagian-bagian tubuh (rambut, kuku, gigi, kulit, daging, dan seterusnya), analisis terhadap empat unsur fisik (unsur padat, cair, panas, dan gerak), dan perenungan terhadap mayat.

Dalam Mahasattipatthana Sutta, Digha Nikaya disebutkan metode perhatian terhadap pernapasan adalah:

"Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani? Di sini, seorang bhikkhu, setelah pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke tempat sunyi, duduk bersila, menegakkan tubuhnya, setelah menegakkan perhatian di depannya. Dengan penuh perhatian, ia menarik napas, dengan penuh perhatian, ia mengembuskan napas. Menarik napas panjang, ia mengetahui bahwa ia menarik napas panjang, dan mengembuskan napas panjang, ia mengetahui bahwa ia mengembuskan napas panjang. Menarik napas pendek, ia mengetahui bahwa ia menarik napas pendek, dan mengembuskan napas pendek, ia mengetahui bahwa ia mengembuskan napas pendek. Ia melatih dirinya, berpikir: 'Aku akan menarik nafas, menyadari seluruh jasmani.' Ia melatih dirinya, berpikir: 'Aku akan mengembuskan nafas, menyadari seluruh jasmani.' Ia melatih dirinya, berpikir: 'Aku akan menarik nafas, menenangkan seluruh proses jasmani.' Ia melatih dirinya, berpikir: 'Aku akan mengembuskan nafas, menenangkan seluruh proses jasmani.'

Bagaikan seorang akrobatik terampil atau pembantunya, dalam melakukan putaran panjang, tahu bahwa ia melakukan putaran panjang, atau dalam melakukan putaran pendek, tahu bahwa ia melakukan putaran pendek, demikian pula seorang bhikkhu, dalam menarik nafas panjang, tahu bahwa ia menarik nafas panjang, … dan demikianlah ia melatih dirinya, berpikir: 'Aku akan mengembuskan nafas, menenangkan seluruh jasmani.'

Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal, berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal. Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena dalam jasmani, merenungkan lenyapnya fenomena dalam jasmani, ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena dalam jasmani. Atau, penuh perhatian bahwa 'ada jasmani' muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani."

Walaupun dalam teks sutta di atas ditujukan bagi para bhikkhu, namun praktek ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang ingin mengembangkan perhatian benar.

Dengan mengembangkan perhatian benar, maka timbul pemusatan pikiran yang penuh terhadap objek yang diperhatikan. Inilah yang disebut konsentrasi benar. Pada tahap ini, dengan meninggalkan nafsu indera, keinginan jahat atau kebencian, kemalasan, kegelisahan, dan keraguan, seorang meditator memasuki tingkat pemusatan pikiran (jhana) pertama di mana faktor-faktor mental yang menyertainya adalah pikiran yang mengarah pada objek (vitakka), pikiran yang mengevaluasi objek (vicara), kegiuran atau kenikmatan (piti), kegembiraan (sukha), dan keterpusatan pikiran (ekaggata).

Setelah meninggalkan pikiran yang mengarah pada objek dan pikiran yang mengevalusi objek, ia memasuki jhana kedua di mana hanya terdapat kegiuran, kegembiraan, dan keterpusatan pikiran. Meninggalkan kegiuran, ia memasuki jhana ketiga yang dibentuk oleh faktor mental yang tersisa, yaitu kegembiraan dan keterpusatan pikiran. Ketika kegembiraan ditinggalkan dan digantikan dengan keseimbangan batin (upekkha), maka hanya terdapat keseimbangan batin dan keterpusatan pikiran, yang membawa sang meditator memasuki jhana keempat.

Pada tingkat jhana keempat, seorang praktisi dapat mengembangkan kemampuan batin yang melebihi manusia biasa, yaitu kemampuan melihat hal-hal yang tidak dapat dilihat dengan mata fisik, kemampuan mendengar hal-hal yang tidak dapat didengar dengan telinga fisik, kemampuan mengingat kehidupan lampau, kemampuan membaca pikiran makhluk lain, dan kemampuan batin yang bersifat fisik (menembus benda keras, berjalan di atas air, menciptakan kembaran diri sendiri, dengan tubuh fisik mengunjungi alam lain, dan seterusnya). Tetapi kemampuan batin ini bukan tujuan akhir dalam ajaran Buddha karena tidak dapat membawa pada kesucian batin. Kemampuan batin hanya dianggap efek samping dari latihan konsentrasi ini. Tanpa kemampuan batin ini seseorang tetap dapat mencapai kesucian batin.

  • Kebijaksanaan

Pencapaian jhana melalui praktek konsentrasi hanya melemahkan kekotoran batin sesaat saja. Ketika seseorang tidak berada dalam kondisi jhana, kekotoran batin dapat timbul kembali. Oleh sebab itu, diperlukan pandangan terang (vipassana) yang dicapai melalui praktek kebijaksanaan untuk menghancurkan kekotoran batin sepenuhnya dan mencapai Penerangan Sempurna. Moralitas mengatur ucapan dan perbuatan, konsentrasi mengendalikan pikiran, tetapi kebijaksanaan melenyapkan kekotoran batin yang mencengkeram pikiran yang belum tercerahkan. Kebijaksanaan ini dikembangkan dengan mempraktekkan pandangan benar dan pikiran benar.

Pandangan benar merupakan cara pandang terhadap segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu mengetahui hakekat sesungguhnya dari semua fenomena fisik dan mental dalam kehidupan kita. Pada tahap awal pandangan benar memberikan kita konsep dan pengetahuan yang benar dalam menghadapi permasalahan kehidupan, kesedihan, usia tua, penyakit, kematian, munculnya keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin. Ini mengarahkan kita pada ketujuh faktor jalan mulia lainnya. Melalui praktek konsentrasi benar, pandangan benar dapat dikembangkan menjadi kebijaksanaan yang melenyapkan kekotoran batin sepenuhnya. Dengan pandangan benar, seseorang memahami tiga jenis realitas kehidupan yang sejati, yaitu:

  1. Terdapat hukum sebab akibat moral yang berlaku di dunia ini, yaitu perbuatan baik berakibat pada kebaikan dan kebahagiaan serta perbuatan buruk berakibat pada keburukan dan ketidakbahagiaan. Inilah yang disebut hukum karma.
  2. Tiga karakteristik kehidupan: semua yang muncul dari perpaduan unsur-unsur dan sebab akibat yang saling bergantungan adalah tidak kekal (anicca) dan oleh sebab itu, tidak menyenangkan atau tidak memuaskan (dukkha); segala sesuatu adalah bukan aku (anatta), diriku, dan milikku.
  3. Kebenaran tentang penderitaan: kelahiran, usia tua, sakit, kematian, bertemu dengan sesuatu yang tidak diinginkan, tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah penderitaan; keinginan yang disertai nafsu adalah sebab penderitaan; lenyapnya keinginan adalah akhir dari penderitaan; Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan. Dengan kata lain, ini adalah pemahaman yang benar atas Empat Kebenaran Mulia yang akan dibahas di bagian belakang.

Pikiran benar merupakan pikiran yang didasarkan pada pelepasan nafsu, kehendak baik, dan belas kasih yang berlawanan dengan pikiran yang diliputi nafsu, kebencian, dan kekejaman. Di sini seorang praktisi berusaha melepaskan keinginan duniawi untuk mendedikasikan diri pada kemajuan spiritual serta mengembangkan cinta kasih dan belas kasih terhadap semua makhluk.

Dalam praktek konsentrasi, dengan pikiran yang terpusat, seseorang menganalisis apa yang disebut makhluk yang tak lain hanyalah perpaduan jasmani dan batin yang selalu berubah. Dengan demikian, ia menyadari bahwa tidak ada aku, diri, atau jiwa selain dari perpaduan jasmani dan batin ini. Tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak dikondisikan oleh sebab yang berasal dari ketidaktahuan (avijja), keinginan (tanha), kemelekatan (upadana), perbuatan (kamma atau karma), dan makanan. Oleh kelima sebab ini, apa yang disebut makhluk muncul dan bertahan selama sebab itu masih ada.

Kemudian ia menyadari bahwa semua yang berkondisi adalah tidak kekal dan tidak memuaskan serta semua fenomena adalah bukan aku, diriku, atau milikku. Dengan mengambil salah satu dari ketiga karakteristik ini sebagai objek, ia mengembangkan pandangan terang hingga memasuki arus kesucian menuju kebahagiaan sejati, Nibbana. Pada tahap ini ia disebut Sotapanna (pemasuk arus), yang telah mencapai tingkat kesucian batin yang pertama dengan melenyapkan pandangan salah tentang aku atau diri, keragu-raguan terhadap Sang Guru (Buddha), ajarannya (Dhamma) dan perkumpulan para siswa mulia yang telah mengikuti ajaran-Nya dan mencapai kesucian batin yang sama (Sangha), serta pandangan salah bahwa dengan ritual atau upacara dapat membawa pada kebahagiaan. Dalam tujuh kehidupan berikutnya, ia tidak akan jatuh dari jalan menuju Nibbana dan pasti akan mencapai tujuan akhir tersebut.

Selanjutnya dengan melemahkan nafsu indera dan keinginan jahat, ia menjadi seorang Sakadagami (ia yang kembali sekali lagi), tingkat kesucian kedua di mana ia hanya akan terlahir kembali di alam manusia sekali lagi untuk kemudian mencapai Nibbana. Melenyapkan sepenuhnya nafsu indera dan keinginan jahat, ia menjadi seorang Anagami (ia yang tidak akan kembali lagi), tingkat kesucian ketiga di mana ia tidak akan terlahir kembali di alam manusia maupun surga, melainkan alam kediaman murni (suddhavasa) untuk mencapai Nibbana di sana.

Akhirnya, dengan melenyapkan kemelekatan pada alam bentuk, kemelekatan pada alam tidak berbentuk, kesombongan, kemalasan, dan ketidaktahuan, ia mencapai tingkat kesucian tertinggi, Arahat, yang setara dengan seorang Buddha di mana sebab kelahiran kembali telah diputuskan dan Nibbana telah tercapai dalam kehidupan ini juga. Para Arahat disebut juga Savaka Buddha, yaitu mereka yang mencapai Penerangan Sempurna dengan mengikut ajaran seorang Samma Sambuddha. Samma Sambuddha seperti Buddha Gotama juga adalah seorang Arahat, tetapi tidak seperti para Arahat lainnya, ia mencapai kesucian Arahat tersebut dengan upayanya sendiri. Demikianlah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini dapat membawa seseorang pada tujuan akhir, kebahagiaan spiritual yang tertinggi, bahkan dalam kehidupan ini juga.

(Bersambung ke bagian kedua)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun