Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dhammacakkappavattana Sutta: Ajaran Pertama Sang Buddha (bagian 1)

14 Juli 2011   22:29 Diperbarui: 31 Juli 2016   21:13 7511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kotbah Pertama Sang Buddha kepada Lima Pertapa di Taman Rusa

Mengetahui pikiran Sang Buddha, Brahma Sahampati yang merupakan makhluk yang dipuja orang-orang India kuno sebagai dewa tertinggi memohon agar Sang Buddha mau mengajarkan Dhamma kepada semua makhluk. "Ada makhluk yang terdapat sedikit debu di mata mereka, yang jika tidak mendengarkan Dhamma akan jatuh. Merekalah yang akan memahami Dhamma. Demi belas kasih kepada mereka, ajarkanlah Dhamma kepada mereka," demikian sang brahma memohon. Dengan mata batin-Nya Sang Buddha melihat terdapat orang-orang yang tidak terikat dengan hal-hal duniawi dan mudah mengerti akan ajaran Buddha. Maka Beliau memutuskan untuk mengajar Dhamma, tetapi kepada siapa?

Pertama-tama Sang Buddha hendak mengajarkannya kepada Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta, dua orang pertapa yang mengajarkan beliau meditasi mencapai tingkat pemusatan pikiran yang disebut arupa jhana, tetapi keduanya telah meninggal dunia. Kemudian Sang Buddha mengarahkan perhatian-Nya kepada kelima pertapa yang pernah mengikuti Beliau. Mengetahui mereka sedang berdiam di Taman Rusa Isipatana, Sang Buddha pun menuju ke sana. Pertemuan kembali dengan kelima pertapa tidak serta merta memudahkan Sang Buddha untuk membuat mereka mendengarkan ajaran-Nya. Mereka menganggap Pertapa Gotama telah gagal dan kembali ke kehidupan yang mewah.

Sang Buddha berusaha meyakinkan mereka dengan berkata, "Tidak, o para bhikkhu, Aku tidak berhenti berusaha dan kembali ke kehidupan yang penuh kesenangan dan kenikmatan. Aku telah mencapai Keadaan Tanpa Kematian (Nibbana). Aku akan membimbing dan mengajarkan kebenaran ini. Jika kalian melatih diri sesuai dengan ajaran-Ku, kalian akan mengetahui sendiri dengan kebijaksanaan kalian dan mencapai bahkan dalam kehidupan saat ini juga tujuan tertinggi dari kehidupan suci." Setelah Sang Buddha mengulangi hal ini untuk ketiga kalinya, para pertapa tersebut menyadari kebenaran kata-kata Sang Buddha dan mau mendengarkan serta mengikuti ajaran Beliau.

Tidak hanya lima pertapa yang mendengarkan ajaran pertama Sang Buddha ini, tetapi juga banyak sekali makhluk dewa dan brahma yang tidak kasat mata dari seluruh penjuru semesta turut hadir dalam kesempatan langka ini. Namun tentu saja, secara khusus Sang Buddha menujukan ajaran-Nya kepada kelima pertapa.

Dua Ekstrem yang Seharusnya Dihindari

Sang Bhagava (Yang Dijunjungi, demikianlah Buddha Gotama disebut dalam teks-teks Buddhis) memulai kotbahnya dengan menyebutkan dua praktek ekstrem yang seharusnya dihindari oleh mereka yang telah meninggalkan kehidupan duniawi, yaitu praktek memanjakan diri dalam kesenangan indera dan praktek menyiksa diri.

Praktek yang pertama dijalankan oleh mereka yang berpandangan materialistik nihilistik bahwa kehidupan di dunia ini hanya sekali; oleh sebab itu, kebajikan terbesar adalah mengisi hidup hanya dengan kesenangan-kesenangan indera. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini cenderung membuat orang-orang berpandangan demikian dan melakukan praktek ekstrem memuaskan kesenangan indera saja: mengejar mati-matian harta, tahta dan cinta sepanjang hidupnya. Praktek ini lazim dilakukan oleh kebanyakan dari kita yang hidup di tengah-tengah hiruk-pikuk kesibukan duniawi. Sesungguhnya kesenangan duniawi bukanlah kebahagiaan sejati karena ia bersifat sementara dan dapat mengakibatkan kerugian jika berlebihan dalam mengejarnya. Harta dan tahta tidak dapat mencegah seseorang luput dari usia tua, penyakit dan kematian. Demikian juga, cinta yang disertai nafsu dapat melemahkan pengembangan spiritual dan menjadikan seseorang tidak bermoral, tidak lebih tinggi dari makhluk rendah seperti hewan yang mengakibatkan kelahiran di alam-alam rendah.

Timbul pertanyaan: Bukankah ini ditujukan kepada para pertapa yang telah melepaskan keduniawian? Bagi kita yang masih terikat pada kesibukan sehari-hari, bukankah sudah sewajarnya mengejar kesenangan duniawi? Sang Buddha tidak berpikiran sempit. Beliau mengetahui bahwa tidak semua orang bisa melepaskan kehidupan duniawi dan meninggalkan kesenangan indera. Bagi umat awam, kesenangan indera adalah kebahagiaan duniawi tertinggi yang dapat dicapai dalam kehidupan ini. Namun demikian, dalam mengejar kesenangan duniawi tersebut, kita sebagai umat awam harus mengimbanginya dengan pengembangan spiritual juga, yang antara lain dengan berperilaku bermoral dan mengendalikan diri. Ini mencegah kita agar tidak jatuh pada ekstrem praktek memanjakan diri dalam kesenangan indera.

Ekstrem kedua yang seharusnya dihindari adalah praktek penyiksaan diri yang menyakitkan dan merugikan diri sendiri. Umumnya para pertapa dan guru spiritual pada masa Sang Buddha menganut pandangan bahwa kehidupan yang nyaman hanya menyebabkan kemelekatan pada kesenangan indera; hanya dengan menolak objek-objek indera dan tubuh ini, maka pembebasan dan kedamaian batin dapat tercapai. Oleh sebab itu, para pertapa melakukan praktek penyiksaan diri antara lain dengan merapatkan gigi dan menekankan lidah ke atas langit-langit mulut, menahan napas agar tidak keluar dari hidung dan mulut, dan berpuasa dengan hanya makan satu butir nasi sehari. Demikian juga, Pertapa Gotama dan kelima pertapa yang mengikuti beliau menganut pandangan yang sama sebelum Pertapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna. Namun praktek penyiksaan diri tersebut sia-sia, hanyalah membawa pada penderitaan fisik yang ekstrem, tidak membawa pada Penerangan Sempurna. Ini juga yang menyadarkan Pertapa Gotama sehingga ia meninggalkan praktek penyiksaan diri yang dilakukannya selama enam tahun. Walaupun tubuh ini penuh dengan kekotoran dan tidak seharusnya dilekati, tetapi kita masih memerlukannya untuk mendukung praktek spiritual. Dengan demikian, menyakiti tubuh sendiri bukanlah praktek yang benar.

Jika ektrem yang pertama melemahkan batin atau pikiran kita, maka ekstrem yang kedua ini melemahkan tubuh kita yang seharusnya dirawat sepantasnya. Berdasarkan pengalamannya sendiri, Sang Buddha menyadari kesia-siaan kedua praktek ekstrem ini dan menemukan Jalan Tengah untuk menghindari keduanya dan dapat membawa pada kebahagiaan sejati yang didambakan semua orang.

Jalan Tengah atau Jalan Mulia Berunsur Delapan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun