Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dhammacakkappavattana Sutta: Ajaran Pertama Sang Buddha (bagian 1)

14 Juli 2011   22:29 Diperbarui: 31 Juli 2016   21:13 7511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kotbah Pertama Sang Buddha kepada Lima Pertapa di Taman Rusa

Perhatian benar adalah praktek di mana seseorang selalu sadar dan perhatian pada semua fenomena yang terjadi pada jasmani dan pikirannya. Ini dapat dilakukan dengan mengembangkan empat landasan kesadaran atau perhatian (satipatthana), yaitu perhatian terhadap jasmani, perasaan, pikiran, dan bentuk-bentuk pikiran. Dalam praktek ini seseorang merenungkan keempat faktor ini sebagai tidak kekal, tidak menyenangkan, dan tidak memuaskan. Untuk memperhatikan hal ini, ia berdiam dengan tekun, waspada, dan penuh kesadaran setelah melenyapkan semua keserakahan dan kesedihan yang berkenaan dengan keempat faktor ini. Dari keempat landasan perhatian ini, perhatian terhadap jasmani adalah yang umum dilakukan para meditator. Ada beberapa metode meditasi perhatian terhadap tubuh ini, yaitu perhatian terhadap pernapasan, perhatian terhadap posisi tubuh, kesadaran jernih atas apa yang sedang dilakukan, perenungan terhadap bagian-bagian tubuh (rambut, kuku, gigi, kulit, daging, dan seterusnya), analisis terhadap empat unsur fisik (unsur padat, cair, panas, dan gerak), dan perenungan terhadap mayat.

Dalam Mahasattipatthana Sutta, Digha Nikaya disebutkan metode perhatian terhadap pernapasan adalah:

"Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani? Di sini, seorang bhikkhu, setelah pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke tempat sunyi, duduk bersila, menegakkan tubuhnya, setelah menegakkan perhatian di depannya. Dengan penuh perhatian, ia menarik napas, dengan penuh perhatian, ia mengembuskan napas. Menarik napas panjang, ia mengetahui bahwa ia menarik napas panjang, dan mengembuskan napas panjang, ia mengetahui bahwa ia mengembuskan napas panjang. Menarik napas pendek, ia mengetahui bahwa ia menarik napas pendek, dan mengembuskan napas pendek, ia mengetahui bahwa ia mengembuskan napas pendek. Ia melatih dirinya, berpikir: 'Aku akan menarik nafas, menyadari seluruh jasmani.' Ia melatih dirinya, berpikir: 'Aku akan mengembuskan nafas, menyadari seluruh jasmani.' Ia melatih dirinya, berpikir: 'Aku akan menarik nafas, menenangkan seluruh proses jasmani.' Ia melatih dirinya, berpikir: 'Aku akan mengembuskan nafas, menenangkan seluruh proses jasmani.'

Bagaikan seorang akrobatik terampil atau pembantunya, dalam melakukan putaran panjang, tahu bahwa ia melakukan putaran panjang, atau dalam melakukan putaran pendek, tahu bahwa ia melakukan putaran pendek, demikian pula seorang bhikkhu, dalam menarik nafas panjang, tahu bahwa ia menarik nafas panjang, … dan demikianlah ia melatih dirinya, berpikir: 'Aku akan mengembuskan nafas, menenangkan seluruh jasmani.'

Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal, berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal. Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena dalam jasmani, merenungkan lenyapnya fenomena dalam jasmani, ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena dalam jasmani. Atau, penuh perhatian bahwa 'ada jasmani' muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani."

Walaupun dalam teks sutta di atas ditujukan bagi para bhikkhu, namun praktek ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang ingin mengembangkan perhatian benar.

Dengan mengembangkan perhatian benar, maka timbul pemusatan pikiran yang penuh terhadap objek yang diperhatikan. Inilah yang disebut konsentrasi benar. Pada tahap ini, dengan meninggalkan nafsu indera, keinginan jahat atau kebencian, kemalasan, kegelisahan, dan keraguan, seorang meditator memasuki tingkat pemusatan pikiran (jhana) pertama di mana faktor-faktor mental yang menyertainya adalah pikiran yang mengarah pada objek (vitakka), pikiran yang mengevaluasi objek (vicara), kegiuran atau kenikmatan (piti), kegembiraan (sukha), dan keterpusatan pikiran (ekaggata).

Setelah meninggalkan pikiran yang mengarah pada objek dan pikiran yang mengevalusi objek, ia memasuki jhana kedua di mana hanya terdapat kegiuran, kegembiraan, dan keterpusatan pikiran. Meninggalkan kegiuran, ia memasuki jhana ketiga yang dibentuk oleh faktor mental yang tersisa, yaitu kegembiraan dan keterpusatan pikiran. Ketika kegembiraan ditinggalkan dan digantikan dengan keseimbangan batin (upekkha), maka hanya terdapat keseimbangan batin dan keterpusatan pikiran, yang membawa sang meditator memasuki jhana keempat.

Pada tingkat jhana keempat, seorang praktisi dapat mengembangkan kemampuan batin yang melebihi manusia biasa, yaitu kemampuan melihat hal-hal yang tidak dapat dilihat dengan mata fisik, kemampuan mendengar hal-hal yang tidak dapat didengar dengan telinga fisik, kemampuan mengingat kehidupan lampau, kemampuan membaca pikiran makhluk lain, dan kemampuan batin yang bersifat fisik (menembus benda keras, berjalan di atas air, menciptakan kembaran diri sendiri, dengan tubuh fisik mengunjungi alam lain, dan seterusnya). Tetapi kemampuan batin ini bukan tujuan akhir dalam ajaran Buddha karena tidak dapat membawa pada kesucian batin. Kemampuan batin hanya dianggap efek samping dari latihan konsentrasi ini. Tanpa kemampuan batin ini seseorang tetap dapat mencapai kesucian batin.

  • Kebijaksanaan

Pencapaian jhana melalui praktek konsentrasi hanya melemahkan kekotoran batin sesaat saja. Ketika seseorang tidak berada dalam kondisi jhana, kekotoran batin dapat timbul kembali. Oleh sebab itu, diperlukan pandangan terang (vipassana) yang dicapai melalui praktek kebijaksanaan untuk menghancurkan kekotoran batin sepenuhnya dan mencapai Penerangan Sempurna. Moralitas mengatur ucapan dan perbuatan, konsentrasi mengendalikan pikiran, tetapi kebijaksanaan melenyapkan kekotoran batin yang mencengkeram pikiran yang belum tercerahkan. Kebijaksanaan ini dikembangkan dengan mempraktekkan pandangan benar dan pikiran benar.

Pandangan benar merupakan cara pandang terhadap segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu mengetahui hakekat sesungguhnya dari semua fenomena fisik dan mental dalam kehidupan kita. Pada tahap awal pandangan benar memberikan kita konsep dan pengetahuan yang benar dalam menghadapi permasalahan kehidupan, kesedihan, usia tua, penyakit, kematian, munculnya keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin. Ini mengarahkan kita pada ketujuh faktor jalan mulia lainnya. Melalui praktek konsentrasi benar, pandangan benar dapat dikembangkan menjadi kebijaksanaan yang melenyapkan kekotoran batin sepenuhnya. Dengan pandangan benar, seseorang memahami tiga jenis realitas kehidupan yang sejati, yaitu:

  1. Terdapat hukum sebab akibat moral yang berlaku di dunia ini, yaitu perbuatan baik berakibat pada kebaikan dan kebahagiaan serta perbuatan buruk berakibat pada keburukan dan ketidakbahagiaan. Inilah yang disebut hukum karma.
  2. Tiga karakteristik kehidupan: semua yang muncul dari perpaduan unsur-unsur dan sebab akibat yang saling bergantungan adalah tidak kekal (anicca) dan oleh sebab itu, tidak menyenangkan atau tidak memuaskan (dukkha); segala sesuatu adalah bukan aku (anatta), diriku, dan milikku.
  3. Kebenaran tentang penderitaan: kelahiran, usia tua, sakit, kematian, bertemu dengan sesuatu yang tidak diinginkan, tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah penderitaan; keinginan yang disertai nafsu adalah sebab penderitaan; lenyapnya keinginan adalah akhir dari penderitaan; Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan. Dengan kata lain, ini adalah pemahaman yang benar atas Empat Kebenaran Mulia yang akan dibahas di bagian belakang.

Pikiran benar merupakan pikiran yang didasarkan pada pelepasan nafsu, kehendak baik, dan belas kasih yang berlawanan dengan pikiran yang diliputi nafsu, kebencian, dan kekejaman. Di sini seorang praktisi berusaha melepaskan keinginan duniawi untuk mendedikasikan diri pada kemajuan spiritual serta mengembangkan cinta kasih dan belas kasih terhadap semua makhluk.

Dalam praktek konsentrasi, dengan pikiran yang terpusat, seseorang menganalisis apa yang disebut makhluk yang tak lain hanyalah perpaduan jasmani dan batin yang selalu berubah. Dengan demikian, ia menyadari bahwa tidak ada aku, diri, atau jiwa selain dari perpaduan jasmani dan batin ini. Tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak dikondisikan oleh sebab yang berasal dari ketidaktahuan (avijja), keinginan (tanha), kemelekatan (upadana), perbuatan (kamma atau karma), dan makanan. Oleh kelima sebab ini, apa yang disebut makhluk muncul dan bertahan selama sebab itu masih ada.

Kemudian ia menyadari bahwa semua yang berkondisi adalah tidak kekal dan tidak memuaskan serta semua fenomena adalah bukan aku, diriku, atau milikku. Dengan mengambil salah satu dari ketiga karakteristik ini sebagai objek, ia mengembangkan pandangan terang hingga memasuki arus kesucian menuju kebahagiaan sejati, Nibbana. Pada tahap ini ia disebut Sotapanna (pemasuk arus), yang telah mencapai tingkat kesucian batin yang pertama dengan melenyapkan pandangan salah tentang aku atau diri, keragu-raguan terhadap Sang Guru (Buddha), ajarannya (Dhamma) dan perkumpulan para siswa mulia yang telah mengikuti ajaran-Nya dan mencapai kesucian batin yang sama (Sangha), serta pandangan salah bahwa dengan ritual atau upacara dapat membawa pada kebahagiaan. Dalam tujuh kehidupan berikutnya, ia tidak akan jatuh dari jalan menuju Nibbana dan pasti akan mencapai tujuan akhir tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun