Ketiga anak perempuan Mbok Sinah, Suni, Suti, dan Tumi sudah pergi untuk mencari makanan ternak, mencuci pakaian di sungai, dan mencari daun jati untuk dijual keesok harinya. Mbok Sinah dan Pak Karno juga penjual arang dan daun jati.
"Wah, jauh juga, ya, Mbok kalau berjualan ke kota?" tanyaku.
Simbok menjawab, "Ya, iya, Ning, harus menempuh jarak 15 sampai 17
kilometer sambil memikul arang atau menggendong daun jati yang berat."
Pagi itu kami sarapan singkong rebus Pak Karmo dan Mbok Sinah.
Mereka minum kopi kental, sementara kami cukup minum air putih karena
 aku, Sekar, dan ketiga anak Pak Karmo tidak terbiasa minum kopi.
Selesai sarapan aku membantu Tumi mengatur daun jati membentuk lingkaran, menyusunnya dari yang terbesar sampai terkecil. Kutaksir semua daun jati itu beratnya ada 25 kg, digendong di punggung dan diikat dengan selendang. Mereka menempuh jarak belasan kilometer dengan beban seberat itu, benar-benar wanita yang tangguh.
Seperti itulah potret kehidupan masyarakat desa yang tinggalnya jauh dari pusat kota. Siang itu aku dan Sekar membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Kami juga bercerita bahwa tujuan kami adalah membantu masyarakat desa untuk beberapa bulan sebelum kami dikirim ke sebuah padepokan lain yang membutuhkan tenaga dan bantuan kami.
Dari Mbok Sinah aku tahu banyak tentang kehidupan desa sekitar Klopo Duwur. Lurahnya bijaksana dan melindungi, juga selalu memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Itulah sebabnya Pak Lurah Kiran dicintai dan dipercaya oleh rakyatnya.
 Rasa hormat dan santun itu sama sekali tidak dipaksakan, dan itu berasal dari cinta dan penghormatan karena pemimpinnya mampu menjadi teladan rakyat.