Baru kali ini saya bangun sesiang ini. Biasanya saya selalu bangun sebelum ayam berkokok. Ibunda Ratu selalu menasihatiku, "Tidak baik anak perempuan bangun siang, dan kalaupun bangun pagi jangan sampai keduluan ayam berkokok, supaya banyak rezeki banyak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bangun pagi membuat badan sehat, aliran darah lancar dan awet muda," begitu yang selalu dikatakan oleh Ibunda Ratu dan Eyang Sekar Tanjung.
Ketika aku berpaling, kulihat Sekar masih terlelap. Dengan hati-hati kubangunkan dia, lalu mencuci muka dengan air yang kami bawa. Setelah niat ingsun kami berdoa, kami melanjutkan perjalanan. Ketika kami menemukan sumur yang tak jauh dari situ, kami pun memanfaatkan kesempatan untuk mandi dan membersihkan diri dan berganti baju. Segarnya air dingin di pagi hari mampu mengusir penat dan lelah kami.
 Kami melanjutkan perjalanan. Kira-kira pukul sebelas siang kami melihat ibu-ibu dan anak perempuan remaja berdatangan dari arah utara menuju ke selatan, berjalan searah dengan perjalanan kami. Ternyata mereka adalah pedagang arang dan penjual daun jati yang baru pulang dari pasar besar daerah Blora.
Mereka menjual dagangannya dan dari uang yang mereka dapatkan mereka membeli beras, jagung, garam, dan kebutuhan lainnya. Kami sempat mengobrol dengan mereka sambil berjalan. Orang-orang ini sangat ramah, bahkan berbagi bekal yang dibawanya, juga gethuk yang baru mereka beli dari pasar.
Makanan sederhana itu terasa lezat tiada tara karena kami memang sangat lapar. Dari pembicaraan dengan mereka, kami tahu bahwa itulah pekerjaan pokok mereka, mengambil daun jati di hutan dan membuat arang dari pohon di kebunnya.
Mereka membuat arang dalam waktu kira-kira satu minggu, lalu menjualnya ke kota. Ketika musim daun jati gugur, mereka mencari ulat jati yang disebut enthung jati atau ungker yang bentuknya seperti kepompong kecil berkulit kasar seperti kulit salak. Meski bentuknya menjijikkan, rasanya luar biasa lezat dan kaya protein. Tak terasa kami telah berjalan melewati tengah hari. Beberapa perempuan teman seperjalanan kami satu demi satu masuk ke hutan, daerah yang kami lewati.
Kami masih melanjutkan jalan lurus menyusuri hutan yang panjang. Setelah dua hari menempuh perjalanan, menjelang matahari terbenam kami menemukan rumah penduduk. Sepasang suami istri menyapa kami dengan ramah dan mempersilakan kami masuk ke rumahnya, sikap mereka yang akrab seolah menyambut kerabat yang datang.
Penduduk di sini memiliki keistimewaan, mereka selalu memanggil orang lain dengan sebutan "lur", kependekan dari sedulur. Mereka menganggap semua orang adalah saudara, mereka biasa berbicara ngoko, apa adanya, karena mereka tidak bisa kromo inggil atau bahasa Jawa halus.
Mereka mengenal kami dari padepokan Liman Seto karena barang bawaan
kami terbungkus kain kuning.
Kami pun dijamu dengan nasi jagung dan ikan asin serta sayur asem dari lompong dan daun lumbu. Suami istri itu bernama Pak Karmo dan Mbok Sinah. Mereka mempunyai lima anak perempuan yang manis-manis. Kami diperkenalkan dengan anaknya satu per satu.
Anak yang tinggal di rumah itu tiga orang, sementara yang dua lagi sudah menikah dan ikut suaminya. Rupanya Pak Karmo pernah juga berkunjung ke padepokan Liman Seto untuk minta bantuan kepada Eyang Mpu karena ada tetangganya yang kena teluh. Akhirnya tetangganya itu bisa disembuhkan oleh Eyang Mpu Barada.