Â
Pernah suatu kali aku diajak Pak Karmo menghadap Pak Lurah di kelurahan. Saat itu Pak Lurah sedang bekerja di sawah, menanam padi. Aku terkagum-kagum pada sikap dan tindakan Pak Lurah yang menyatu dengan rakyatnya, memberi contoh baik kepada rakyat agar bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup.
Pak Lurah begitu sederhana, sama sekali tidak meninggikan diri di hadapan rakyatnya. Â Pak Lurah usianya kira-kira sebaya dengan Romo Prabu. Dia menerimaku dengan senang hati, senyumnya semakin lebar ketika tahu aku datang dari Padepokan Liman Seto.
"Sungguh suatu kehormatan dipercaya oleh Maha Mpu Baradha yang selalu mengirimkan murid ke daerahnya untuk belajar hidup di tengah masyarakat."
Aku mengangguk setuju. "Saya juga merasa bersyukur bisa menjadi murid Mpu Barada. Saya juga berterima kasih karena diterima di tengah masyarakat dan Bapak Lurah. Dengan begitu kami bisa belajar banyak dari masyarakat," jawabku.
Ketika ditanya asalku dan siapa orangtuaku, lalu mendengar jawabanku, Pak Lurah menanggapi, "Wah, Ning ini anak seorang Demang, to. Tapi, tatakrama dan semburat auramu seperti Putri Raja." Pak Lurah tertawa tapi melontarkan pernyataan itu dengan serius. Saya jadi deg-degan, takut ketahuan jati diriku.
"Ya, syukur akan anugerah Sang Hyang Widhi kalau Ning dianugerahi pasuryan (wajah dan penampilan) seperti anak raja," katanya. "Kalau anak seorang demang saja seperti Ning Sanggra yang luar biasa tatakramanya dan berkulit halus, bagaimana lagi Putri Raja Daha, ya?" Â Â ( Bersambung )
Â
Oleh  Sr. Maria  Monika  SND
11 Agustus, 2021
Artikel  ke : 433
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H