Mohon tunggu...
Monika Ekowati
Monika Ekowati Mohon Tunggu... Guru - Seorang biarawati Tarekat SND--> ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Betapa indahnya hidup ini, betapa saya mencintai hidup ini, namun hanya DIA yang paling indah dalam Surga-Nya dan dalam hidupku ini, saya akan mencintai dan mengabdi DIA dalam hidupku ini ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Semburat Putih Pelangi Kasih Episode 28 Perutusan Misi Jiwa Kelana (1)

11 Agustus 2021   10:59 Diperbarui: 11 Agustus 2021   13:33 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semburat  Putih  Pelangi  Kasih ( Lukisan Bp Y.P Sukiyanto)

Perutusan,  Misi  Jiwa  Kelana  (  1  )

Cerita  sebelumnya :

Malam itu setelah bersemadi selama satu jam aku langsung tidur. Walau di tubuhku tersisa penat setelah menumbuk padi tadi siang, jiwaku terasa segar karena rasa persaudaraan yang kudapatkan di antara penghuni padepokan ini. Sungguh tepat padepokan ini dinamai Kekadangan Liman Seto; orang-orangnya mempersatukan lintang atau bintang-bintang keutamaan, kebajikan, kebaikan untuk manunggal atau menyatu, dan sewoko duta, sebagai utusan yang siap sedia untuk diutus.  ( Bersambung )

 

Setelah genap satu bulan menjadi penghuni padepokan, pagi ini aku dipanggil oleh Eyang Mpu Barada dan diberi wejangan. Aku harus siap untuk diutus hidup di antara rakyat kebanyakan biasa di pelosok pedesaan yang jauh dari padepokan. Kali ini aku akan ditemani Sekar Kinasih.

Eyang Mpu Baradha memberi kami petunjuk, sementara dua cantrik yang berpengalaman menyiapkan bekal kami yang dibungkus kain berwarna kuning. Kain yang selebar taplak meja dipergunakan untuk membungkus barang-barang kami. Kami tidak diperbolehkan naik apa pun, hanya boleh berjalan kaki.

Kami pun berangkat menuju selatan, menuruni Pegunungan Nglengkir, menjelajah beberapa desa. Tempat yang kami tuju adalah Kelopo Duwur atau artinya kelapa tinggi, merupakan daerah pedalaman antara Blora dan Randu Blatung.

 Sepanjang jalan yang kami temui hanyalah hutan jati yang lebat. Meskipun aku sudah menguasai ilmu bayu mambubung, aku tidak menggunakan ilmu itu karena sedang bersama Sekar Kinasih.

Dengan berjalan kaki, banyak hal yang dapat kujumpai. Kesengsaraan dan kemiskinan dalam masyarakat dan rakyat kecil. Cukup lelah memang karena jarak dari padepokan ke desa yang kami tuju kurang lebih 37 kilometer.

Sebelum sampai Desa Klopo Duwur kami melewati sungai yang amat besar, yang disebut Sungai Lusi yang bermuara dari Bengawan Solo dan mengalir membelah Jawa Tengah, melewati kota Blora sampai Cepu dan Bojonegoro. Setelah melewati batas sungai, kami sampai di daerah Kamolan, dan kami menemukan pondok di tepi jalan.

Karena begitu lelah, kami pun berhenti beruntuk istirahat. Kukatakan pada Sekar Kinasih supaya tidak usah khawatir dan menyuruhnya tidur serta berdoa agar Sang Hyang Widhi senantiasa melindungi kami.

Diam-diam kuselubungi diriku dan Sekar Kinasih dengan jaring sutra yang kuperoleh dari Romo Prabu. Sebagai anak perempuan aku dibekali ajian ini supaya terhindar dari marabahaya. Seseorang yang menggunakan aji jaring sutra tidak akan terlihat oleh siapa pun, dan binatang buas pun tidak akan mencium bau badan kami. Malam itu kami bisa tidur dengan lelap sampai pagi, dan dibangunkan oleh sinar mentari yang menyengat tubuh kami.

Baru kali ini saya bangun sesiang ini. Biasanya saya selalu bangun sebelum ayam berkokok. Ibunda Ratu selalu menasihatiku, "Tidak baik anak perempuan bangun siang, dan kalaupun bangun pagi jangan sampai keduluan ayam berkokok, supaya banyak rezeki banyak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bangun pagi membuat badan sehat, aliran darah lancar dan awet muda," begitu yang selalu dikatakan oleh Ibunda Ratu dan Eyang Sekar Tanjung.

Ketika aku berpaling, kulihat Sekar masih terlelap. Dengan hati-hati kubangunkan dia, lalu mencuci muka dengan air yang kami bawa. Setelah niat ingsun kami berdoa, kami melanjutkan perjalanan. Ketika kami menemukan sumur yang tak jauh dari situ, kami pun memanfaatkan kesempatan untuk mandi dan membersihkan diri dan berganti baju. Segarnya air dingin di pagi hari mampu mengusir penat dan lelah kami.

 Kami melanjutkan perjalanan. Kira-kira pukul sebelas siang kami melihat ibu-ibu dan anak perempuan remaja berdatangan dari arah utara menuju ke selatan, berjalan searah dengan perjalanan kami. Ternyata mereka adalah pedagang arang dan penjual daun jati yang baru pulang dari pasar besar daerah Blora.

Mereka menjual dagangannya dan dari uang yang mereka dapatkan mereka membeli beras, jagung, garam, dan kebutuhan lainnya. Kami sempat mengobrol dengan mereka sambil berjalan. Orang-orang ini sangat ramah, bahkan berbagi bekal yang dibawanya, juga gethuk yang baru mereka beli dari pasar.

Makanan sederhana itu terasa lezat tiada tara karena kami memang sangat lapar. Dari pembicaraan dengan mereka, kami tahu bahwa itulah pekerjaan pokok mereka, mengambil daun jati di hutan dan membuat arang dari pohon di kebunnya.

Mereka membuat arang dalam waktu kira-kira satu minggu, lalu menjualnya ke kota. Ketika musim daun jati gugur, mereka mencari ulat jati yang disebut enthung jati atau ungker yang bentuknya seperti kepompong kecil berkulit kasar seperti kulit salak. Meski bentuknya menjijikkan, rasanya luar biasa lezat dan kaya protein. Tak terasa kami telah berjalan melewati tengah hari. Beberapa perempuan teman seperjalanan kami satu demi satu masuk ke hutan, daerah yang kami lewati.

Kami masih melanjutkan jalan lurus menyusuri hutan yang panjang. Setelah dua hari menempuh perjalanan, menjelang matahari terbenam kami menemukan rumah penduduk. Sepasang suami istri menyapa kami dengan ramah dan mempersilakan kami masuk ke rumahnya, sikap mereka yang akrab seolah menyambut kerabat yang datang.

Penduduk di sini memiliki keistimewaan, mereka selalu memanggil orang lain dengan sebutan "lur", kependekan dari sedulur. Mereka menganggap semua orang adalah saudara, mereka biasa berbicara ngoko, apa adanya, karena mereka tidak bisa kromo inggil atau bahasa Jawa halus.

Mereka mengenal kami dari padepokan Liman Seto karena barang bawaan

kami terbungkus kain kuning.

Kami pun dijamu dengan nasi jagung dan ikan asin serta sayur asem dari lompong dan daun lumbu. Suami istri itu bernama Pak Karmo dan Mbok Sinah. Mereka mempunyai lima anak perempuan yang manis-manis. Kami diperkenalkan dengan anaknya satu per satu.

Anak yang tinggal di rumah itu tiga orang, sementara yang dua lagi sudah menikah dan ikut suaminya. Rupanya Pak Karmo pernah juga berkunjung ke padepokan Liman Seto untuk minta bantuan kepada Eyang Mpu karena ada tetangganya yang kena teluh. Akhirnya tetangganya itu bisa disembuhkan oleh Eyang Mpu Barada.

Cukup lama kami berbincang-bincang dengan Pak Karmo dan Mbok Sinah. Kebetulan malam itu bulan sedang purnama, sehingga kami pun asyik menikmati malam dan tidak ingin cepat-cepat tidur. Hati dan pikiranku melayang ke istana. Ketika bulan sedang purnama seperti ini biasanya kami mengobrol di pendopo keputren dan saling bertukar cerita.

Kira-kira pukul sepuluh lewat kami pamit untuk tidur. Rumah yang sederhana ini terasa nyaman dan damai karena penghuninya hidup apa adanya, damai dan menerima setiap orang dengan penuh rasa persaudaraan. Sejenak aku hening dalam samadi, mungkin satu jam waktu malam itu kugunakan untuk bersamadi.

 Meskipun telah menempuh perjalanan panjang, anehnya badanku terasa ringan tanpa beban kekelahan. Rupanya hati yang gembira memang merupakan obat yang mujarab untuk menyembuhkan segala kelelahan fisik.

Kudengar napas teratur Sekar Kinasih yang sudah terlelap. Setelah menutup samadi dengan doa pamungkas, kubujurkan tubuhku dan bersiap untuk beristirahat malam.

"Sang Hyang Widhi, ke dalam asta-Mu kuserahkan hidupku," demikian doa batinku berserah dan aku pun jatuh ke alam tidur.

Karena badanku tadi malam tidak terasa lelah, pagi ini aku bisa bangun dengan normal sebelum ayam berkokok. Kubasuh mukaku ke pakiwan, sebutan untuk kamar mandi di desa. Ketika aku memasuki dapur, Mbok Sinah sedang merebus air dan ketela pohon untuk sarapan pagi.

"Aduh, Mbok, aku kesiangan, ya," ujarku.

"Tidak, kok, Ning, Mbok sudah terbiasa bangun jam tiga.

Ndak tahu, ya, kalau sudah jam tiga tidak bisa tidur lagi.

Mungkin sudah tua, ya, jadinya jam tidurnya juga berkurang," ujarnya.

"Oh, begitu, ya, Mbok. Baik juga, Mbok bangun jam tiga.

Katanya saat turunnya wahyu.

Kalau kita berdoa, itu waktu yang paling tepat untuk hening, begitu kata

 bapak dan ibuku."

"Oh, gitu to, Ning. Orangtua Ning tinggal di mana?"

"Di Daha, Mbok. Jauh dari sini. Bapak dan ibuku pengin saya ngangsu 

kawruh, belajar di padepokan, biar tahu menata hidup," jawabku.

"Wah, ya, memang baik semua itu. Untung awakmu dapat kesempatan untuk

tinggal di padepokan. Bapakmu jadi apa, to?"

"Demang, Mbok," jawabku singkat.

"Saudaramu berapa?" tanyanya lagi,

"Saya punya dua adik laki-laki, ada di rumah."

"Ya, doaku semoga awakmu jadi murid padepokan yang baik budi yang tahu

 membela keadilan dan kebenaran, kepada rakyat kecil yang tertindas,

miskin dan telantar, yo, Ning,"

"Ya, Mbok. Simbok dan bapakku juga mendoakan sama."

Pagi itu aku menemani dan membantu Mbok Sinah untuk mempersiapkan sarapan. Sinar Kinasih tiba-tiba muncul dan menanyakan apa yang bisa dibantunya kepada Mbok Sinah.

"Wis ra usah repot-repot," kata Mbok Sinah.

Sekar menyahut, "Mbok jangan perlakukan kami seperti tamu, lho, tapi

anggap saja seperti kerabat sendiri."

"Ya sudah, sana nyapu halaman depan,"

"Lha gitu lho, Mbok, jadi aku tidak sungkan dan enak tinggal di sini," kata

Sekar Kinasih sambil mengambil sapu lidi dan menyapu halaman depan.

Ketiga anak perempuan Mbok Sinah, Suni, Suti, dan Tumi sudah pergi untuk mencari makanan ternak, mencuci pakaian di sungai, dan mencari daun jati untuk dijual keesok harinya. Mbok Sinah dan Pak Karno juga penjual arang dan daun jati.

"Wah, jauh juga, ya, Mbok kalau berjualan ke kota?" tanyaku.

Simbok menjawab, "Ya, iya, Ning, harus menempuh jarak 15 sampai 17

kilometer sambil memikul arang atau menggendong daun jati yang berat."

Pagi itu kami sarapan singkong rebus Pak Karmo dan Mbok Sinah.

Mereka minum kopi kental, sementara kami cukup minum air putih karena

 aku, Sekar, dan ketiga anak Pak Karmo tidak terbiasa minum kopi.

Selesai sarapan aku membantu Tumi mengatur daun jati membentuk lingkaran, menyusunnya dari yang terbesar sampai terkecil. Kutaksir semua daun jati itu beratnya ada 25 kg, digendong di punggung dan diikat dengan selendang. Mereka menempuh jarak belasan kilometer dengan beban seberat itu, benar-benar wanita yang tangguh.

Seperti itulah potret kehidupan masyarakat desa yang tinggalnya jauh dari pusat kota. Siang itu aku dan Sekar membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Kami juga bercerita bahwa tujuan kami adalah membantu masyarakat desa untuk beberapa bulan sebelum kami dikirim ke sebuah padepokan lain yang membutuhkan tenaga dan bantuan kami.

Dari Mbok Sinah aku tahu banyak tentang kehidupan desa sekitar Klopo Duwur. Lurahnya bijaksana dan melindungi, juga selalu memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Itulah sebabnya Pak Lurah Kiran dicintai dan dipercaya oleh rakyatnya.

 Rasa hormat dan santun itu sama sekali tidak dipaksakan, dan itu berasal dari cinta dan penghormatan karena pemimpinnya mampu menjadi teladan rakyat.

 

Pernah suatu kali aku diajak Pak Karmo menghadap Pak Lurah di kelurahan. Saat itu Pak Lurah sedang bekerja di sawah, menanam padi. Aku terkagum-kagum pada sikap dan tindakan Pak Lurah yang menyatu dengan rakyatnya, memberi contoh baik kepada rakyat agar bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup.

Pak Lurah begitu sederhana, sama sekali tidak meninggikan diri di hadapan rakyatnya.  Pak Lurah usianya kira-kira sebaya dengan Romo Prabu. Dia menerimaku dengan senang hati, senyumnya semakin lebar ketika tahu aku datang dari Padepokan Liman Seto.

"Sungguh suatu kehormatan dipercaya oleh Maha Mpu Baradha yang selalu mengirimkan murid ke daerahnya untuk belajar hidup di tengah masyarakat."

Aku mengangguk setuju. "Saya juga merasa bersyukur bisa menjadi murid Mpu Barada. Saya juga berterima kasih karena diterima di tengah masyarakat dan Bapak Lurah. Dengan begitu kami bisa belajar banyak dari masyarakat," jawabku.

Ketika ditanya asalku dan siapa orangtuaku, lalu mendengar jawabanku, Pak Lurah menanggapi, "Wah, Ning ini anak seorang Demang, to. Tapi, tatakrama dan semburat auramu seperti Putri Raja." Pak Lurah tertawa tapi melontarkan pernyataan itu dengan serius. Saya jadi deg-degan, takut ketahuan jati diriku.

"Ya, syukur akan anugerah Sang Hyang Widhi kalau Ning dianugerahi pasuryan (wajah dan penampilan) seperti anak raja," katanya. "Kalau anak seorang demang saja seperti Ning Sanggra yang luar biasa tatakramanya dan berkulit halus, bagaimana lagi Putri Raja Daha, ya?"   ( Bersambung )

 

Oleh  Sr. Maria  Monika  SND

11 Agustus, 2021

Artikel  ke : 433

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun