Gombalan basi sebenarnya, tapi gadis itu tertawa lagi tanpa suara. Menampilkan deretan giginya yang putih. Kalau begini, pipiku yang akan bersemu lama-lama.
Angin sepoi-sepoi, udara terasa nyaman, dan cuaca tak panas. Menambah kesan nyaman kebersamaan kami. Gadis itu berselonjor, tak sengaja aku melihat kakinya yang putih, tetapi berbulu cukup lebat. Terkejut aku melihatnya, tetapi aku dapat berpikir positif. Mungkin hal seperti ini yang membuat gadis di sampingku diperlakukan tak adil oleh kepala desa dan warga sekitar. Sebab beberapa kekurangannya membuat dirinya dijauhi dan tak dipandang oleh warga. Kasihan sekali kasihku ini, malang sekali nasibnya.
"HEI KALIAN BERDUA!"
Aku tersentak kaget, begitu juga dengan gadis di sebelahku setelah mendengar suara teriakan yang berasal dari bawah. Kami menoleh secara bersamaan, tampak seorang pria paruh baya perawakan tinggi dan kumis tebal menatap garang kami berdua. Belum selesai keterkejutanku, aku kembali terkejut melihat gadis itu berdiri ingin segera melarikan diri.
"Kenapa, Pak? Kok Bapak marah gitu. Kami cuma ngobrol berdua, nggak ngapa-ngapain," ujarku memberikan pembelaan diri.
"Salahnya kamu ngajak dia!" sahut Pak Kades dengan mata melotot. "Bahrun! Turun kamu!" ketus si Pak Kades menunjuk gadis yang sedang berusaha turun itu.
Aku bengong tak mengerti. Apa tadi katanya? Bahrun? Namaku bagus-bagus diganti Bahrun. Bahrudin maksudnya?
"Nama saya Abyan, Pak. Bukan Bahrun. Bapak salah orang," ucapku.
"Bukan kamu! Tapi dia!" sahut beliau menunjuk ke arah gadis itu.
"ARGH! E-eh kepeleset." Pekikan itu aku yakin dari kembang desa itu yang barusan hampir terpeleset. Ya Allah ... Suaranya sungguh perkasa. Aku membeku ditempat dengan mulut terbuka kaku.
Aku masih tak paham, masih mematung di atas batu itu. Kulihat Pak Kades bersiap mengejar kembang desa dengan tatapan melotot dan jari telunjuk tertuju pada gadis itu.Â