Di perjalanan menuju ke rumah, tak sengaja aku bertemu dengan seorang gadis manis bertubuh tegap, kulit kuning langsat, dan alis yang tebal. Wah, cantik sekali pikirku. Mungkinkah ini yang disebut kembang desa? Eh, omong-omong aku jadi malu membawa sebuah ember hitam berisi pakaianku yang tadi dicuci. Lekas aku menyembunyikan ember itu di belakang badan, begitu kami hampir berpapasan.
Aku memasang wajah ramah sambil perlahan melirik ke arahnya. Masya Allah ... dia tersenyum tipis. Walau langkahku terus berlanjut, tetapi kepalaku berputar 90 derajat ke belakang saking kagumnya dengan gadis itu.
"MEOWWGHHH!"
"Ayam! Ayam! Eh---" Kaget sekali aku. Suara histeris kucing itu membuat jantungku semakin berdebar. Ternyata aku tak sengaja menginjak buntutnya. Boleh tidak aku salahkan kembang desa itu? Dia yang membuatku menjadi orang bersalah di sini.
"Jalan yang bener dong, Mas. Keinjek deh kucing saya," komentar seorang remaja laki-laki yang sedang meraup tubuh kucing putih itu untuk ia gendong.
"Maaf, Dek. Nggak sengaja."
"Mas tadi kepalanya ke belakang. Makanya nggak liat jalan dengan benar. Untung Ujang gapapa. Baru juga sembuh dari tabrak lari," celoteh remaja itu dengan bibir yang cemberut.
"Y-ya maaf. Habisnya tadi gue liat cewek cantik bener," sahutku merasa bersalah. "Eh, lo tau nggak cewek tadi namanya siapa? Kembang desa sini?" tanyaku lagi dengan rada rendah.
Remaja itu melihat ke arah gadis cantik tadi yang sudah berjalan cukup jauh. Ia terlihat canggung, tangannya menggaruk kepala yang aku yakin tak terasa gatal. Persis seperti kondisi orang yang tak nyaman untuk menanggapi sesuatu.
"I-itu ... ck, jangan deh, Mas. Jangan coba-coba Mas incer dia. Dia nggak cocok buat, Mas."
Aku mengernyit bingung. "Emang kenapa? Dia sudah punya pacar 'kah? Atau lo lagi yang suka sama dia. Masih kecil, Dek. Lu cocoknya jadi adek gue aja." Aku terkekeh geli mengucapkan hal itu.