"Sini kamu, Bahrun! Berani sekali kamu melanggar pantangan! Sini kamu!"
"Ampun, Pak! Ampun, Pak. Saya cuma tes ombak," ucap gadis itu dengan suara laki-laki.
"Keterlaluan kamu! Sini kamu!"Â
Pak Kades mengejar gadis bernama Bahrun itu. Si Bahrun berlari pontang-panting sambil mengangkat rok birunya tinggi-tinggi, menampilkan kaki sedikit berotot dengan bulu-bulu kaki yang banyak.
"Astaghfirullah ... jadi dia lanang?" ucapku terduduk lemas di atas batu.Â
Tiba-tiba terdengar gelak tawa entah dari mana. Aku menelisik, menemukan Danuar, Alex, dan Miko tertawa terbahak-bahak berjalan ke arahku. Sumpah aku murka sekali, tampaknya mereka sudah tahu dari awal.Â
"Gimana si kembang desa, By? Cantik senyumnya? Udah jadian belum? Ahahaha!" Danuar si kutu kupret puas sekali menertawakanku.
"Gila lo pada, ya. Jadi udah tau dia itu cowok? Gue malah berharap sama batangan. Asem kalian!" ucapku dengan lantang.
Alex dan Miko tertawa tak tertahankan. Apa mereka sudah tahu juga?
"Lex, Mik? Lo pada tau dari awal? Wah, kita nggak temenan kalau gini. Sumpah gue trauma sampai badan tremor gini." Aku duduk di batu itu dengan tatapan lelah pada mereka.
"Enggak, By. Gue sama Miko nggak tau. Gue tau malah dari Danuar dan Tasya. Katanya, cewek itu namanya Bahrun Sutomo. Dia itu banci di kota, tapi karena sebuah kejadian membuat dia pulang ke kampung halaman. Nah, di desa ini pamali kalau warganya bahas soal banci atau ada penyuka sesama jenis. Makanya, si Bahrun udah janji nggak bakal berhubungan dengan cowok. Eh, malah lu kepincut sama dia," ujar Alex menjelaskan panjang lebar.Â