Kehidupan alam semesta dimensinya bertingkat-tingkat dari dimensi rendah (dun'ya) hingga dimensi tinggi (akhirah). Sudah menjadi fitrah (bawaan) manusia bila melakukan hal yang buruk akan mengalami kepedihan dan bila melakukan hal yang baik akan mengalami kenikmatan. Kita semua menyadari hal itu. Saat berada di alam berdimensi lebih tinggi, rasa bahagia dan rasa menderita akan berlipat-lipat jauh lebih tinggi. Tingginya dimensi rasa bahagia inilah yang sering disebut surga dan tingginya rasa menderita inilah yang sering disebut neraka. Tentang alam berdimensi tinggi/alam akhir (akhirat), Edward Witten, fisikawan dari Institute for Advance Study, yang menyempurnakan Teori String menjadi M-Theory, menyampaikan bahwa alam semesta ini tidak hanya 1 verse (universe) yang terdiri 3 dimensi. Ada konsep multiverse, merupakan semesta dengan dimensi yang lebih tinggi yang terdiri dari 9, 10, 11, 26, 41 dimensi, atau bahkan mencapai jumlah fantastis 10 pangkat 500 (=10 ^500) suatu kawasan multidimensonal fantastis yang disebut sebagai hyperspace dimana sistem ruang, waktu, materi, energi dan informasinya sangat berbeda dan jauh lebih tinggi (infinity). Dalam teori string dijelaskan bahwa ‘ruangan’ berdimensi dua sebenarnya terbentuk dari ‘ruangan’ berdimensi satu dalam jumlah tak berhingga. Sedangkan ‘ruangan’ berdimensi tiga terbentuk dari ‘ruangan’ berdimensi dua dalam jumlah tak berhingga. Atau, secara umum bisa disimpulkan, bahwa ‘ruangan’ berdimensi tinggi selalu tersusun dari ruangan berdimensi lebih rendah dalam jumlah tak berhingga. Saat berada di alam berdimensi lebih tinggi, rasa pedih dan rasa nikmat akan berlipat-lipat jauh lebih tinggi. Seperti halnya kita mengikuti cerita horor lewat komik yang 2 (dua) dimensi dengan cerita horor lewat film yang 3 (tiga) dimensi, rasanya akan lebih real cerita horor lewat film 3 (tiga) dimensi bukan?
Yang perlu dipahami pula, Ketuhanan sebagai satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua, tidak bisa dipandang dengan realitas kehidupan dengan sudut pandang manusia yang dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Mencoba menyamakan kehendak Ketuhanan dengan kehendak manusia akan membuat terjadinya distorsi pemahaman tentang Ketuhanan. Ketuhanan mempunyai kebijaksanaannya sendiri yang tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Penderitaan sering kita pahami secara terbatas dan salah. Satu contoh, ini adalah kisah nyata Ashlyn Blocker sebagaimana disampaikan ABC News tahun 2012 yang didiagnosis menderita penyakit CIPA (Congenital Insensitivity to Pain with Anhidrosis), suatu penyakit yang tidak bisa merasakan sakit. Tahun 2012, saat Ashlyn berusia 13 tahun, ia pernah mencelupkan tangannya ke air mendidih untuk mengambil sendok yang terlepas dari tangannya. Walaupun tidak merasakan sakit, hal itu membuat tangannya melepuh. Kita mungkin menganggap bagus kalau tidak bisa merasakan sakit. Namun akibat dari tubuh yang tidak bisa merasakan sakit membuat tubuh manusia tidak bisa mengetahui sesuatu yang tidak beres. Dan ini bisa berakibat fatal. Bukankah sangat mungkin bagi Ketuhanan membiarkan penderitaan dalam hidup kita untuk membantu kita menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam hidup kita?
Hakekatnya menciptakan penderitaan bukanlah kejahatan. Bukankah sehat atau sakit, sukacita atau dukacita, sukses atau gagal, kaya atau miskin, disukai atau dibenci adalah nature / fitrah nya kehidupan? Bukankah tidak ada sehat bila tidak ada sakit? Bukankah tidak ada sukacita bila tidak ada dukacita? Bukankah tidak ada sukses bila tidak ada gagal? Bukankah tidak ada kaya bila tidak ada miskin? Bukankah tidak ada suka bila tidak ada benci? Seperti halnya tidak ada panjang bila tidak ada pendek, tidak ada besar bila tidak ada kecil, tidak ada hitam bila tidak ada putih. Apakah kita bisa merasakan nikmat bila tidak pernah pedih? Semua ini bukanlah tentang kebodohan dalam penciptaan atau alam semesta. Ini hanya karena kita belum memahami dengan Kesadaran. Ini adalah tentang sejauh mana level Kesadaran kita. Memang kita bisa merasakan sehat atau sakit, sukacita atau dukacita, sukses atau gagal, kaya atau miskin, disukai atau dibenci bila tidak ada Kesadaran ? Mungkin kita pernah menonton video viral Cheng Meng, seorang atlit kecil tenis meja China usia 6 tahun yang dilatih keras sampai nangis-nangis. Saat Cheng Meng berusia 20 tahun dan meraih Medali Emas untuk kejuaraan tenis meja di Olimpiade Tokyo 2021, apakah kita masih berpikir bahwa kepedihan Cheng Meng saat belajar dan berlatih tenis meja di usia 6 tahun itu adalah kejahatan dan bukan kasih sayang?
Alam semesta ini baik di level makrokosmos maupun di level mikrokosmos berjalan sesuai prinsip-prinsip keseimbangan karena jika tidak demikian maka lenyap alam semesta ini. Ada hukum tabur tuai. Selalu ada konsekuensi dari setiap perbuatan yang kita lakukan, baik di alam berdimensi rendah maupun di alam berdimensi tinggi. "Surga" dan "neraka" baik di alam dunia maupun di alam berdimensi lebih tinggi/alam akhir adalah mekanisme reward dan punishment alam semesta untuk menjaga kita terutama beliefs dan values kita tetap dijalan yang baik, benar dan pantas. Ini fair, masuk akal, merupakan bentuk keseimbangan dan bukan suatu belenggu atau kekejaman. Manusia bisa memilih dengan kesadarannya dan pilihan bebas (free choice) nya mana yang baik, benar dan pantas untuk dilakukan dan mana yang tidak baik, tidak benar dan tidak pantas untuk dilakukan. Namun faktanya tidak semua manusia bisa mencapai kesadaran seperti ini. Secara mendasar otak primitive manusia selalu berusaha untuk meraih nikmat dan menghindari sengsara. Ini adalah naluri kebinatangan dan berbahaya bila tidak ada mekanisme reward and punishment. Diperlukan etika (konsep perilaku benar dan salah) dan moralitas (standar tindakan baik dan buruk) yang absolute. Tanpa adanya "Tuhan" yang menentukan standar baik dan buruk, etika dan moralitas akan bersifat relatif. Kebahagiaan dan keadilan subjektif saya akan sangat berbeda dengan kebahagiaan dan keadilan subjektif Anda. Keduanya tidak bisa menjadi bersifat absolute jika tidak ada Pemberi Kebahagiaan dan Keadilan yang absolute. Tentu saja ada sistem peradilan manusia yang terkadang melakukan hal yang baik dan benar serta memberikan hukuman yang “pantas” kepada orang-orang bersalah. Namun banyak sekali karena berbagai kepentingan ego, keinginan dan hawa nafsu manusia yang menyebabkan kegagalan sistem peradilan manusia dalam memberikan “keadilan sejati”. Hal ini menyiratkan adanya Tuhan karena logikanya harus seperti ini:
- Alam semesta berjalan dengan prinsip-prinsip keseimbangan. Ada keadilan sejati.
- Karena berbagai kepentingan ego, keinginan dan hawa nafsu, sistem peradilan manusia seringkali gagal memberikan keadilan sejati. Baik kita ber"Tuhan" maupun tidak ber"Tuhan", kita sama-sama mengakui dan menerima bahwa di dunia ini banyak terjadi perilaku yang tidak etis, amoral, tidak adil dan membuat kita semua menderita. Bahwa orang jahat tidak selalu dimintai pertanggungjawaban dan bahwa orang baik terkadang menderita terus-menerus menerima ketidakadilan bukan karena kesalahan mereka sendiri.
- Oleh karena itu, Tuhan pasti ada karena hanya itulah jalan agar alam semesta tetap berjalan kongruen dengan prinsip-prinsip keseimbangan dan berada dalam keadilan sejati. Bila tidak demikian alam semesta dan kehidupan ini akan hancur dari dulu tidak akan pernah mencapai 13,75 ± 0.11 miliar tahun hingga sekarang.
Ketujuh, mengapa Ketuhanan repot-repot menciptakan manusia dan alam semesta setelah itu dihancurkan dengan kiamat? Apakah Ketuhanan hanya main-main? Mengapa aku yang dipilih untuk hidup kalau harus menjalani hidup seperti ini? Apa makna hidup? Apa yang harus aku lakukan?
Kita sering memahami kiamat kecil (kematian, bencana alam) atau kiamat besar (kehancuran bumi, tata surya, galaksi) sebagai berhentinya makhluk hidup dan kehidupan alam semesta. Pertanyaan ini secara tersirat menganggap "Ketuhanan" adalah sosok yang terpisah dengan diri kita dan kehidupan. Bila kita memahami bahwa sebenarnya tidak ada keterpisahan antara "Ketuhanan", diri dan kehidupan maka pertanyaan ini tidak diperlukan bahkan ini pertanyaan yang salah memahami "Ketuhanan". "Ketuhanan", diri dan kehidupan adalah satu kesatuan yang utuh. Kematian sering dianggap berhentinya kehidupan diri makhluk hidup, termasuk kehidupan kita manusia. Dan kiamat sering dianggap berhentinya kehidupan alam semesta. Bahkan kekacauan, bencana alam, kematian, kiamat dan kehancuran di alam semesta dianggap tanda tidak adanya "Ketuhanan". Yang perlu kita pahami alam semesta terus berproses dalam keseimbangan siklus hidup dan mati, tidak terjebak dan melekat dalam pernik-pernik dunia fisik fana yang kita kumpulkan. Menuju kepada kesejatian dirinya sebagai satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Yang perlu kita pahami juga bahwa alam semesta ini berjalan dengan prinsip-prinsip keseimbangan (the law of balance). Ini bukan Ketuhanan repot-repot menciptakan manusia dan alam semesta setelah itu dihancurkan dengan kiamat. Apa yang tampak seperti kekacauan, bencana alam, kematian, kiamat dan kehancuran di alam semesta hakekatnya adalah bagian dari proses alam semesta menyeimbangkan dirinya. Ada variasi ada konsistensi. Ada kekacauan dan keteraturan. Ada keselamatan ada bencana. Ada penciptaan ada kehancuran. Ada kehidupan ada kematian. Contohnya gunung meletus, tidak tepat disebut kekacauan, tidak pantas disebut bencana alam, tidak selayaknya dipandang dengan prasangka buruk sebagai kejamnya alam. Lebih tepat gunung tersebut sedang "bekerja" memproduksi batu-batu dan pasir serta tanah yang subur untuk keseimbangan planet bumi. Hakekatnya apa yang tampak seperti kekacauan, bencana alam, kehancuran di alam semesta adalah kemunculan hidup baru, bagian dari proses penciptaan dan untuk keseimbangan alam semesta itu sendiri. Seperti halnya kita "mengacaukan" atau mengaduk-aduk semen dan pasir serta memecahkan batu untuk menciptakan sebuah bangunan. Bahkan kematian fisik kita sendiri sebagai manusia juga bagian keseimbangan alam.
Alam semesta adalah tubuh Ketuhanan itu sendiri. Ini bukan Ketuhanan atau alam semesta yang main-main, namun suatu nuansa Kesadaran. Alam semesta ini memiliki kesadaran kehidupan maupun kesadaran kematian. Kapan waktunya harus hidup dan kapan waktunya harus mati. Tidak peduli sekuat, sekaya, se-secure apapun kita manusia, semua manusia secara fisik sama di hadapan kematian yang pasti datang kapan saja. Walaupun ego, keinginan dan hawa nafsu kita berharap fisik kita bisa hidup terus selamanya, namun suka atau tidak suka alam semesta terus memurnikan diri menuju pada kesejatian dirinya sebagai satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Kematian sejatinya pintu gerbang menuju dimensi alam yang lebih tinggi melepaskan segala kemelekatan terhadap pernik-pernik dunia fana fatamorgana. Membakar semua kemelekatan terhadap ego, identitas dan hawa nafsu berikut memori dan akibat yang ditimbulkannya. Kematian adalah bagian proses perjalanan diri kita dari satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua lalu kembali ke satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Sebagaimana yang disampaikan oleh Stephen William Hawking bahwa awal mula alam semesta sebagai "comes from oneness" dan ia menyatakan pula bahwa akhir alam semesta "return to oneness". Kematian adalah proses alam "return to oneness". Segala sesuatu yang tidak sejati, tidak murni, tidak sadar, tidak bahagia, tidak seimbang dan tidak adil akan kembali mengalami kesejatian, kemurnian, kesadaran, kebahagiaan, keseimbangan dan keadilan.
"Ketuhanan", manusia dan alam semesta adalah satu kesatuan utuh. Ketika menyatu dengan "Ketuhanan" maka sejatinya selainNya tidak ada. Makna kehidupan ini tidak lain hanyalah ekspresi Ketuhanan. Keberadaan manusia dan seluruh alam semesta esensinya adalah Ketuhanan dan merupakan manifestasi Ketuhanan.Sebenarnya semua ini adalah perwujudan "Ketuhanan". Sifat utama "Ketuhanan" adalah Keberlimpahan (al-Rahman/the Beneficent) dan Cinta (al-Rahim/the Merciful). Defaultnya manusia adalah Ketuhanan yang penuh keberlimpahan dan cinta. Defaultnya manusia terwujud hidup dengan penuh keberlimpahan dan cinta. Keberlimpahan dan cinta adalah pilar kebahagiaan. Manusia mengalami derita bila hidup tidak dalam keberlimpahan dan cinta. Sebaliknya manusia mengalami bahagia bila hidup dalam keberlimpahan dan cinta. Sejatinya Ketuhanan yang memancarkan manusia dan alam semesta adalah memancarkan keberlimpahan dan cinta. Ketika manusia dengan pilihan bebas (free choice) nya hidup dalam keberlimpahan dan cinta maka manusia selaras dengan Ketuhanan dan mengalami kebahagiaan. Sebaliknya ketika manusia berlaku sebaliknya, penuh kekurangan dan kebencian maka tidak selaras dengan sumber pancarannya dan mengalami banyak gesekan/penderitaan. Karena itu bisa dikatakan pula bahwa kehidupan dunia ini sejatinya hanya game kebahagiaan.
Salah satu cara untuk menikmati game kebahagiaan ini adalah tidak terimersi/melekat/teridentifikasi di dalamnya becouse of just game phenomenon. Lalu apa yang harus kita lakukan dalam hidup ini? Just celebrating life, merayakan hidup dalam arti hidup dalam Kesadaran ('ibadah). Semua yang kita lakukan dengan Kesadaran mulai dari belajar, bekerja, berbisnis, bermain, berkolaborasi adalah perayaan hidup. Nikmati setiap moment-nya. Menyadari yang sedang sadar bahwa ini permainan. Ketika sudah di dalam game, bisakah kita mengeluh “Ini tidak adil !” atau berkata “Sungguh kejam! Kenapa membuat kita bertanding melawan hal yang berat-berat?” Namun coba kita renungkan kembali, mungkinkah kita menang permainan tanpa lawan? Mungkinkah kita menjadi kuat tanpa menanggung beban? Ego, identitas, hawa nafsu, kejahatan bahkan sesuatu yang kita label "iblis" sebenarnya adalah tantangan, tidak diciptakan agar manusia jatuh, justru sebaliknya agar manusia bisa melampaui dualitas, menang dan naik level dalam kesadaran dan kebahagiaannya. Ibarat berlian, panas dan tekanan hidup yang tinggi tidak membuatnya terbakar, justru menempanya menjadi batu mulia yang tinggi nilainya. Apakah kita masih berpikir juga bahwa panas dan tekanan hidup yang tinggi bagi berlian adalah kejahatan dan bukan kasih sayang? Memang tidak mudah untuk dijalani ketika kita kehilangan orang-orang yang kita cintai, mengalami penderitaan, mengalami perpisahan, mengalami kesulitan secara ekonomi. Kita mungkin berpikir ini terlalu "challenge" untuk dihadapi. Tentunya kita semua tahu tidak semua orang bisa mengikuti ajang olimpiade bukan? Jika kita masuk olimpiade kehidupan berarti posisi kita tinggi dan potensi kita bagus. Bukankah ketika kita bisa bergabung di olimpiade artinya kita atlet yang bagus dan pilihan dari setiap negara? Coba lihat kehidupan ini seperti game kebahagiaan yang memberi kita kesempatan mengalami surga, mengalami keberlimpahan, cinta dan kebahagiaan. Apapun kondisinya "dont playing victim" tidak perlu bersikap merasa jadi korban. Kebahagiaan adalah diriMu sendiri. Kebahagiaan adalah diri Aku sendiri. Semua Akumu dan Akuku sama dalam satu keutuhan. Aku adalah kata paling intim dari Ketuhanan. Semua pengalaman kehidupan, baik itu pengalaman internal berupa pikiran dan perasaan maupun pengalaman eksternal berupa kejadian/peristiwa sejatinya hanya pembawa pesan/massenger/utusan untuk membuat kita semakin memahami/mengalami Ketuhanan dengan sejatinya, semakin sadar dan semakin bahagia.
Referensi :
Ibn Katsir, Ismail (774 H) "Tafsir Alquran al-Adziim", Dar Alamiah (QS 112 : 1-4; QS 56 : 83-87)