Mohon tunggu...
MASE
MASE Mohon Tunggu... Lainnya - Mochammad Hamid Aszhar

Pembelajar kehidupan. Pemimpin bisnis. Mendedikasikan diri membangun kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan dan kewirausahaan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mengapa Saya Ber"Ketuhanan"

4 Agustus 2021   11:11 Diperbarui: 13 Juni 2024   07:39 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, pertanyaan selanjutnya untuk  "Ketuhanan" sendiri, apakah keberadaanNya bisa dibuktikan secara ilmiah ?

Penjelasan atas jawaban pertanyaan pertama di atas menunjukkan tanda-tanda Ketuhanan dan keberadaan "Tuhan".  Namun untuk "Tuhan" sendiri apakah bukti ilmiah bahwa "Tuhan" itu ada? Analoginya seperti pikiran tentang uang sebesar Rp 300.000 yang tertata rapi dalam dompet, apa bukti ilmiah bahwa memang ada uang sebesar Rp 300.000 memang ada tertata rapi dalam dompet? 

Bila kita memahami bahwa sebenarnya tidak ada keterpisahan antara "Tuhan", diri dan kehidupan maka pertanyaan ini tidak diperlukan bahkan ini pertanyaan yang salah memahami "Tuhan". Pertanyaan ini secara tersirat menganggap Tuhan adalah sosok yang terpisah dengan diri kita dan kehidupan. Ketika diri kita sudah mengalami kehidupan sejatinya diri kita sudah mengalami "Tuhan" dan tidak diperlukan bukti lagi. Terkait esensi dzat "Tuhan" secara logika tidak mungkin satu yang mutlak (absolute) menampakkan diri dan diserap oleh pancaindera yang terbatas (relative) lalu disebut 'terbukti' serta bisa dipersepsikan secara fisik/empiris yang juga sebenarnya terbatas (relative). Sungguh tidak mungkin pikiran yang terbatas (relative) bisa membuktikan secara ilmiah Tuhan yang mutlak (absolute). Ketika “Tuhan” dinyatakan sudah ‘terbukti’ dan bisa didefinisikan dalam ruang, waktu materi dan energi maka sudah tidak bisa disebut “Tuhan” lagi dalam arti "Tuhan" yang sebenarnya. Bila kita cermati lebih dalam terdapat keterbatasan berpikir dalam metode ilmiah. Dalam metode ilmiah, segala sesuatu termasuk Tuhan dipersepsikan fisik/empiris, yang harus dibuktikan dengan metode ilmiah. Sains sendiri merupakan kombinasi antar epistemologi empirisme dan rasionalisme. Di mana teori kebenaran korespondensi dan koherensi di sintesakan dalam bentuk teori kebenaran ilmiah. Pengetahuan yang diperoleh sains hanya dibatasi pada bidang fisik/empiris. Secara ontology sains hanya beorientasi kepada obyek fisik/empiris sedangkan obyek metafisis tidak dapat diterapkan secara valid. Kita tidak bisa terus bertahan dan bergantung dengan supremasi sains dan metode ilmiah untuk mendapatkan kebenaran spiritual (haqqul yaqin). Sains dan metode ilmiah hanya menunjukkan tanda-tanda atas keberadaan "Tuhan" di alam semesta. Namun sains dan metode ilmiah sangat terbatas (relative) dan tidak mungkin bisa menguji "Tuhan" yang mutlak (absolute). 

Tidak terlihat bukan berarti tidak ada, tidak terbukti secara ilmiah bukan berarti itu tidak ada. Ini adalah logical fallacy yang berupa argumentum ad ignorantiam, menganggap Tuhan tidak ada karena tidak terlihat atau tidak terbukti secara ilmiah, atau menganggap Tuhan itu hanyalah god of the gaps ketika sains dan teknologi belum masuk ke ranah itu. Ini bukan god of the gap karena selama dalam koridor manusia dan alam semesta yang relative (terbatas), mau pengetahuan sains dan kemampuan teknologi secanggih apapun, bila masih mendasarkan petunjuk dan kebenaran hanya dengan pikiran yang sangat relative (terbatas) dan berusaha memahami hal yang bersifat absolute (mutlak/tidak terbatas) maka ruang 'god of the gap' itu akan selalu ada. Untuk alam semesta yang relative (terbatas) ini saja, masih banyak sekali hal yang tidak kita ketahui bukan? Apalagi menjangkau yang absolute (mutlak/tidak terbatas). "Tuhan" sejatinya tidak bisa diinderakan manusia, tidak mengenal batasan dan tidak bisa disamakan/diserupakan dengan apapun juga. "Tuhan" yang sebenarnya, tidak bisa di define/dibatasi dalam ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Sifatnya adalah mutlak (absolute), bukan terbatas (relative) dan tidak ada sesuatupun yang menyamaiNya. "Tuhan" yang sebenarnya, bersifat infinitive, “the undefined”, tidak bisa diberikan batas-batas atau dikurung dalam kategori apapun. Tan keno kinoyo ngopo, kita tidak akan bisa mendefinisikanNya atau membatasiNya. Bila masih bisa di definisikan, dikurung dalam kategori, diberikan batas-batas dalam ruang waktu, materi, energi dan informasi maka itu di sebut makhluk, bukan Tuhan. Bilang bahwa akan beriman kepada Tuhan kalau melihat dengan kasat mata secara materi atau bisa dibuktikan secara ilmiah, ini hanya prank saja. Kalaupun Tuhan menampakkan diri seperti obyek 3 (tiga) dimensi, walaupun ini tidak mungkin, belum tentu juga para atheis beriman. Berapa banyak Nabi dan Rasul, menunjukkan mukjizat Ketuhanan dengan kekuatan di luar batas kemampuan manusia seperti menghidupkan orang mati misalnya, namun ditertawakan, dituduh sihir dan dibunuh. 

Tidak semua hal harus dipahami dan tidak semua hal bisa diterima pikiran. Kenikmatan hidup tidak hanya ketika kita mengetahui, namun ketika kita tidak mengetahui dan menjalani proses misterinya itu juga kenikmatan hidup. Yang penting itu tidak hanya pengetahuan, ketidaktahuan itu juga penting. Berapa banyak kita dapati orang yang terlalu banyak mengetahui justru semakin menderita oleh pengetahuannya sendiri. Ketika kita sudah membaca semua literatur di dunia ini, bahkan hidup 1000 tahun untuk melakukan penelitian ilmiah, masih jauh lebih banyak hal yang tidak kita ketahui atas alam semesta yang relative ini, belum lagi yang diluar jangkauan pikiran dan metode ilmiah. Pengetahuan kita terbatas, sebaliknya ketidaktahuan kita sebenarnya tidak terbatas. Dan seringkali kita tidak menyadari bahwa pemahaman yang kita anggap kebenaran adalah kesalahan yang tidak kita pahami. Sesungguhnya, kecerdasan manusia berada dalam kondisi terbaiknya ketika menyadari bahwa dirinya tidak tahu. Ketika kita menyadari "saya tidak tahu" kita rendah hati, seperti gelas kosong akan mudah di isi, kita akan curious memperhatikan, kita tidak akan berdebat atau berkelahi dan kecerdasan kita akan jauh lebih aktif. Jika kita berpikir bahwa kita orang pandai bagaimana mungkin akan di isi ilmu dan kebenaran? Kesombongan intelektual membuat diri kita akan selalu ramai dengan ribuan pikiran yang melintas dan terus akan berputar yang sebenarnya banyak memori sampah dan tidak banyak berguna dalam kehidupan. Maha Suci "Tuhan" yang menjadikan jalan bagi kita untuk mengenalNya melalui ketidakmampuan kita mengenalNya melalui gagasan kita, pikiran kita, konsep kita, metode ilmiah kita, imajinasi kita yang terbatas kecuali me"nol"kan ego kita hingga fana, larut, hilang dan melebur dalam kehidupan dan menyatu dengan-Nya. 

Proses ber"Tuhan" sendiri tidak cukup hanya menggunakan pikiran. "Tuhan" sejati bukan produk pikiran. Pikiran hanya memberikan tanda-tanda "Tuhan". Memahami "Tuhan" hanya dengan mengandalkan pikiran justru akan membatasi pemahaman kita tentang "Tuhan". Akal hanya mengantarkan pada pengakuan atas adanya "Tuhan" melalui tanda-tandaNya di alam semesta. "Tuhan" tidak bisa ditangkap oleh kesan-kesan inderawi bahkan tidak bisa dijangkau oleh rasio yang kapasitasnya dibatasi oleh ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Tidak bisa di logika, apalagi dengan cara berpikir seperti obyek 3 (tiga) dimensi. Bila menggunakan pikiran saja, akan terjadi dualisme epistemologis, yaitu pemisahan antara pikiran Tuhan dan kehidupan. Padahal dalam konsep wujud "Tuhan" yang absolute sempurna dan tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi, harusnya tidak ada pemisahan antara Tuhan dan kehidupan karena merupakan satu kesatuan. Bila hanya mengandalkan pikiran, akan ada jurang lebar antara "Tuhan" dan kehidupan. Hal ini justru mereduksi konsep wujud absolute sempurna "Tuhan" yang tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi serta menganggap "Tuhan" hanya sebatas sosok penggerak awal alam semesta setelah itu tidak melakukan apa-apa atau seperti tukang bangunan yang berada di luar karyanya. 

Untuk memahami alam semesta tidak cukup hanya dengan pendekatan empiris dan mendasarkan pada panca indera dan kecerdasan pikiran. Kecerdasan pikiran hanya berkontribusi sekitar 12% bagi kehidupan, selebihnya ditentukan kecerdasan lain. Kecerdasan pikiran seringkali melekat dengan ego, ambisi, memori, ketakutan dan kekhawatiran. Mendasarkan petunjuk dan kebenaran hanya dengan pikiran sering membuat hampa dan tersesat. Seringkali justru kecerdasan spiritual-lah yang lebih kuat dan berani untuk menjadi “kompas” pengambilan keputusan arah dan langkah kehidupan kita pada kehidupan yang lebih sadar, bahagia dan bermakna. Blueprint koordinat kita manusia adalah makhluk spiritual yang memiliki sifat utama keberlimpahan, cinta dan kebahagiaan. Spiritual ini bukan pilihan, namun spiritual itu adalah jati diri kita. Semua arah hidup manusia, disadari atau tidak disadari, sukarela atau terpaksa defaultnya mengalami spiritual, mengalami keberlimpahan, cinta dan kebahagiaan. Bukan sekedar keberlimpahan, cinta dan kebahagiaan yang fatamorgana, fana dan terbatas namun keberlimpahan, cinta dan kebahagian yang sejati, abadi dan tidak terbatas. Namun pengalaman spiritual tersebut banyak terhijab dan terdistraksi riuhnya ego, keinginan, hawa nafsu dan fatamorgana duniawi. Ber-"Tuhan" adalah menjadi diri sejati kita, mengalami perwujudanNya dalam kehidupan, mengalami spiritual, mengalami manifestasi keberlimpahan, cinta dan kebahagiaan dalam kehidupan yang tidak terbatas. Inilah tujuan diatas tujuan semua kehidupan kita. Bila kita sadari lebih lanjut, kecerdasan pikiran kita tidak akan begitu berarti lagi dalam 20-30 tahun mendatang, karena komputer dan teknologi artificial intelligent (AI) dapat menjelajah semua permutasi dan kombinasi lebih cepat dan lebih baik daripada yang dapat pikiran manusia lakukan. Ada dimensi kecerdasan lain yang jauh lebih tinggi daripada pemikiran kita, intelektual kita, bahkan imajinasi kita, yakni dimensi kecerdasan spiritual. Jika kita sadar bahwa kita bodoh dan tidak mengetahui apapun di alam semesta ini kecuali hanya secuil, barulah kita menyadari betapa menakjubkan kehidupan ini. Maka perlahan ada jarak antara kesadaran murni diri kita dengan pikiran dan perasaan kita berikut proses psikologisnya. Diri kita mulai melepaskan kemelekatan terhadap ego, keinginan dan hawa nafsu. Diri kita akan hening dan jernih. Ketika diri kita hening dan jernih, kesadaran murni dan spiritual kita mulai bangkit dan hidup.

Pemahaman "keberadaan" menggunakan pendekatan epistemologi empiris - rasional adalah pemahaman bahwa "keberadaan" itu adalah segala sesuatu yang bisa diserap oleh pancaindera dan bisa dibuktikan secara ilmiah. Pendekatan ini selalu berorientasi pada obyek fisik. Pemahaman "keberadaan" menggunakan pendekatan epistemologi metafisik maka "keberadaan" itu adalah segala sesuatu yang bisa diserap dan dibuktikan oleh kesadaran murni. Sebagaimana sudah disampaikan di atas bahwa di sistem limbik otak kita, disamping ada bagian rasio (hippocampus) namun juga ada bagian rasa (amygdala) yang bisa menyerap gelombang elektromagnet yang memancar di alam semesta. Kemudian ada yang disebut brain heart axis atau poros otak jantung yang bekerja baik secara hormonal maupun radiatif. Gelombang elektromagnetik jantung (heart) bersifat meng-amplifier gelombang elektromagenetik otak (brain). Dengan mengoptimalkan kesadaran murni kita maka jantung (heart) yang berada disekitar dada yang menghasilkan medan elektromagnetik tubuh yang lebih kuat dan berirama luas dibandingkan medan elektromagnetik yang dihasilkan oleh otak (brain) yang berada di sekitar kepala mampu mengakses di luar batasan fisik dan pikiran kita. Dalam hal komponen medan listrik, komponen medan listrik jantung sekitar 60 kali lebih besar dalam amplitudo dibandingkan komponen medan listrik otak dan menembus setiap sel dalam tubuh. Dalam hal komponen magnetik, komponen medan magnet jantung (heart) 5000 kali lebih kuat dari medan magnet otak dan dapat dideteksi beberapa meter jauhnya dari tubuh dengan sensitif magnetometer. Data baru dalam beberapa penelitian Institute of HeartMath menunjukkan bahwa jantung (heart) terlibat langsung dalam persepsi intuitif yang bisa mengakses informasi di luar batas ruang, waktu, materi dan energi. Dalam desain eksperimen yang ketat ditemukan bukti kuat bahwa jantung (heart) menerima informasi "intuitif" ini sebelum otak (brain) dan dapat mengakses energi yang lebih halus dan informasi tentang objek dan peristiwa jauh di alam semesta bahkan bisa menembus keluar dimensi ruang, waktu dan materi dari alam 3 (tiga) dimensi kita. Disebut oleh Karl H. Pribram, seorang profesor emeritus psikologi dan psikiatri di Stanford University sebagai "domain spektral", this is thought to be the basis for our consciousness of “the whole.”   

Proses ber-"Tuhan" adalah proses spiritual, yakni proses kehidupan yang berkaitan dengan kesadaran murni sebagai kemampuan memahami sesuatu secara langsung (immediate knowledge) tanpa melalui gagasan kita, pikiran kita, konsep kita, metode ilmiah kita, imajinasi kita yang terbatas serta di luar proses mental pemikiran sadar. Intuition, knowing that is beyond the conscious understanding like thought, observation or reason. Berkaitan erat dengan eksistensi kita. Proses ini terjadi, jika kita membersihkan jiwa kita dan menyederhanakan kehidupan kita. Untuk mewujudkannya, kita harus berlatih "keheningan", "keselarasan" dan "penerimaan". Hening, bersih dari berhala-berhala dalam diri dengan menuhankan ego, akal, sains dan teknologi serta tuhan-tuhan palsu lainnya. Me"nol"kan ego dan kesombongan rasionalitas kita. Selaras diri dengan kehidupan alam semesta. Selaras dengan kehidupan alam semesta di semua tingkatan memberi kita petunjuk  hukum-hukum alam semesta tentang apa yang sebaiknya kita lakukan dan bagaimana mendayagunakan kekuatannya. Ketika kita mampu menerima dan menyelami seluruh keadaan kehidupan dengan berbagai dinamikanya masuk ke medan pengalaman pikiran dan perasaan apa adanya maka di saat itu juga kita sedang ber"Tuhan". Pemahaman tentang "Tuhan" dapat disingkap melalui proses kesadaran murni. Dengan sifatNya sebagai satu/oneness yang sejati dalam kesatuan kehidupan, absolute dan menjadi sumber serta perwujudan tak terbatas/infinity kehidupan alam semesta, untuk bisa menyaksikan kejelasan “Tuhan” kita hanya bisa larut menghilang di dalamNya. Alam semesta yang relative ini akan lenyap dalam absolute nya "Tuhan". Bila kita melampaui tubuh dengan segala pernik-pernik dunia fisik fana yang kita kumpulkan, melampaui pemikiran dan akumulasi berjuta memori yang kita kumpulkan maka dengan kesadaran murni kita akan mampu mengalami, menguji dan menyaksikan "Tuhan" dengan kejelasan. 

Pekerjaan spiritual terbesar adalah mencapai kemerdekaan dan bisa melepaskan "pressure" dari kemelekatan segala pernik-pernik dunia fisik fana pemikiran dan akumulasi berjuta memori yang kita kumpulkan. Melepaskan kemelekatan terhadap ego, keinginan dan hawa nafsu tersebut. Melepaskan keterikatan terhadap apapun termasuk dunia 3  (tiga) dimensi kita. Menundukkan dan menyerahkan ego, keinginan dan hawa nafsu di dalam diri serendah-rendahnya hingga berada dalam kondisi medan titik nol (zero quantum field). Menyadari diri kecil dan fana/sirna. Kita menjadi no thing, no body, no one, no time, no where. Semuanya sudah hilang. Semuanya sudah tidak ada. Kita bukan apa-apa. Kita bukanlah tubuh kita. Kita bukan siapa-siapa. Kita bukanlah nama kita. Kita bukanlah pekerjaan/karir kita. Kita bukanlah bisnis kita. Kita bukanlah status dan identitas kita. Kita bukanlah jabatan kita. Kita bukanlah kekayaan kita. Kita sejatinya tidak ada. Semua nama, ilmu, pekerjaan/karir, bisnis, pasangan, status, jabatan, kekayaan, kekuatan yang kita bangga-banggakan dan kita melekat dengannya, semua tidak ada nilainya. Semua tidak ada artinya. Semuanya sudah hilang. Semuanya sudah tidak ada. Flow, masuk di medan kuantum, dimana ruang, waktu, materi dan energi sudah tidak eksis lagi. Lepas dari dualitas merisaukan masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan. Lepas dari takut (khouf) dan sedih (huzn). Kita mengalami fana, kita lebur di dalam "satu/oneness yang sejati dalam kesatuan kehidupan, absolute dan menjadi sumber serta perwujudan tak terbatas/infinity kehidupan alam semesta". Kesadaran jiwa kita naik di level energi sangat tinggi, ekspansi menjadi everything, everybody, everyone, everytime, everywhere. Menyatu dengan segalanya dan mengakses sumber segala realitas. Berada dalam one consciousness. Mengalami ekstasi, ledakan suka cita, kedamaian, keikhlasan, rasa syukur, cinta kasih, rasa keberlimpahan serta pencerahan (hidayah) seakan terus menyirami tubuh dan jiwa kita. Lepas dari dualitas ketakutan (khouf) dan kesedihan (huzn). Menyatu dengan segalanya. Selanjutnya jiwa kita mengakses satu/oneness yang sejati dalam kesatuan kehidupan, absolute dan menjadi sumber serta perwujudan tak terbatas/infinity kehidupan alam semesta. Ini adalah pengalaman pencerahan. Mengenal diri sejati kita. Mengalami sejatinya kehidupan. Seperti setetes air yang menenggelamkan diri di samudera, larut dan menghilang bersama samudera serta memahami samudera dengan kejelasan. Namun setetes air bukanlah samudera. Wujud "Tuhan" tidak dapat dipersempit menjadi wujud alam, tapi alam adalah ungkapan empiris "Tuhan" yang berbeda dalam segala hal. Keberadaan "Tuhan" tidak bergantung pada alam semesta yang terbatas dalam ruang, waktu, materi, energi dan informasi namun meresapi apa pun yang ada. Tak ada tempat di dunia ini di mana tidak ada kehadiran "Tuhan" di situ. Ungkapan-ungkapan yang terkesan antropomorfis yang disampaikan orang-orang ber"Tuhan", seringkali itu adalah bahasa cinta yang diajukan sebagai upaya meng-imanensi-kan "Tuhan" dalam kehidupan, sehingga "Tuhan" dianggap teman/sahabat/bahkan kekasih yang bisa dirasakan kehadiran-Nya sangat dekat. Sama sekali bukan esensi dari Tuhan itu sendiri. "Tuhan" secara esensi bukan bersifat manusia/personal (antrophomorphisme) atau melekat pada hal-hal bersifat makhluk lainnya yang memiliki banyak keterbatasan, dilahirkan/dibentuk dan bisa sakit/rusak/mati.

Pada saat mengalami pengalaman pencerahan, mengenal diri sejati kita, mengenal "Tuhan", ledakan kebahagiaan, suka cita, kedamaian, keikhlasan, rasa syukur yang dalam, cinta kasih, rasa keberlimpahan, keseimbangan hidup, pertolongan dan dukungan semesta serta hidayah seakan terus menyirami tubuh dan jiwa kita. Pengalaman ini bukan tujuan dari spiritual atau ber"Tuhan". Pengalaman ini hanyalah side effect dari perjalanan kita menyatu dengan "Tuhan" dan menyaksikanNya melalui kesadaran murni kita dengan kejelasan/mengalami pencerahan. Puncak spiritual atau ber"Tuhan" adalah terlahir kembali menjadi sejatinya diri kita (be true to ourself) sebagai daya "Tuhan" yang bebas merdeka dan menebarkan banyak kebaikan/kemanfaatan kepada sesama/alam semesta (blessing others). Menjadi manusia merdeka, tanpa ada ketakutan (khouf/khoufun) dan kesedihan (hazn/yahzanun). Menjalani pengabdian (dharma/ibadah) dan pembelajaran hidup dengan penuh kenikmatan, sadar penuh hadir utuh dan bermakna. Ini bukan delusi sebagai jenis gangguan mental di mana penderitanya tidak dapat membedakan kenyataan dan imajinasi, sehingga ia meyakini dan bersikap sesuai dengan hal yang ia pikirkan sebagaimana yang dinyatakan Richard Dawkins. Karena sebagaimana disampaikan David R. Hawkins, M.D., Ph.D bahwa kesadaran keyakinan/pencerahan itu ada, scientific proven dan merupakan kesadaran yang sangat tinggi serta memiliki energi yang sangat kuat, berada pada level energi 700-1000 poin. Bahkan karena sangat kuatnya, kekuatan vibrasi, frekuensi dan energi 1 individu yang mengalami pencerahan di level energi 700-1000 poin ini setara dengan kekuatan 70-100 juta individu dengan kesadaran di level energi di bawah 200 poin. Manusia-manusia yang berada di level kesadaran tinggi ini sering berperan sebagai "pilar jagad" yang menjaga kedamaian manusia dan keseimbangan alam, terutama keseimbangan planet bumi dimana kita tinggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun