Mohon tunggu...
MASE
MASE Mohon Tunggu... Lainnya - Mochammad Hamid Aszhar

Pembelajar kehidupan. Pemimpin bisnis. Mendedikasikan diri membangun kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan dan kewirausahaan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mengapa Saya Ber"Ketuhanan"

4 Agustus 2021   11:11 Diperbarui: 13 Juni 2024   07:39 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam penelitian David R. Hawkins, M.D., Ph.D selama kurang lebih 29 tahun yang mengukur energi yang dikeluarkan manusia dalam skala kesadaran tertentu melalui tes kinesiologi ditemukan bahwa kesadaran manusia dan level energi yang dihasilkan bertingkat-tingkat mulai dari dari satuan 0 sampai 1000 poin yang mana skala kurang dari 200 poin disebut force dan skala lebih dari 200 poin disebut power. Manusia dengan tingkat kesadaran kurang dari 200 poin masih struggle dengan dirinya sendiri (contracted), seperti membenci diri sendiri, merasa sengsara, meratapi masa lalu, menyalahkan pihak luar dirinya, apatis, putus asa, terlalu needy, berlama-lama dalam kesedihan, banyak sekali trauma/luka batin/hambatan-hambatan emosi, mengkhawatirkan masa depan, sangat melekat pada ego, keinginan dan hawa nafsu, sangat terobsesi dan kompulsif. Bila ego, keinginan dan hawa nafsu tidak tercapai masuk dalam frustasi, marah dan kebencian. Bila ego, keinginan dan hawa nafsu tercapai masuk dalam membangga-banggakan diri, kesombongan dan pamer. Dan manusia dengan tingkat kesadaran lebih dari 200 poin mulai berkembang dengan baik (expanded), mulai letting go, merasa aman dan nyaman, mengambil tanggungjawab, berniat mengembangkan diri, merasa hidup bermakna, mau berkontribusi bagi kehidupan agar lebih baik, welas asih, memiliki abundance mentality dan loving kindness, merasa sangat bersyukur, flow dalam suka cita, kepuasan hidup, kedamaian dan keyakinan/pencerahan. 

Tidak mudah mencapai kesadaran murni di level energi tinggi tersebut. Kotoran-kotoran jiwa sering jadi penghalang (hijab/distraction) kejernihan/keheningan kesadaran murni kita untuk menyaksikan Tuhan dengan jelas. Kotoran-kotoran jiwa itu di antaranya adalah : (1) Kemelekatan terhadap ego, keinginan dan hawa nafsu seperti terlalu cinta dunia, ambisi atas kekuasaan, keserakahan atas kekayaan, nafsu syahwat yang tidak terkendali, egois, suka pamer. (2) Prasangka buruk, kesombongan, kemarahan, kebencian, kejahatan, tidak bisa memaafkan. (3) Kemalasan, sampah-sampah emosi, luka-luka batin, dihantui perasaan bersalah dan penyesalan diri terus-menerus. (4) Kegelisahan, menyalahkan sana-sini, meratapi masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan, kesedihan berlarut-larut, overthinking atas hal-hal yang tidak penting, tidak mau dan tidak berani bertanggungjawab (5) Keragu-raguan, putus asa, rendah diri. Kotoran-kotoran jiwa (force/dun'ya) tersebut sering ramai dan antri di hati yang menahan naiknya jiwa kita ke level energi tinggi (power/akhirah) sehingga bisa mengakses satu yang absolute dan sumber segala realitas yang tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi. 

Ketiga, apakah manusia butuh "Tuhan"?

 Bila kita memahami bahwa sebenarnya tidak ada keterpisahan antara "Tuhan", diri dan kehidupan maka pertanyaan ini tidak diperlukan bahkan ini pertanyaan yang salah memahami "Tuhan". Pertanyaan ini secara tersirat menganggap "Tuhan" adalah sosok yang terpisah dengan diri kita dan kehidupan. Segala sesuatu di diri kita dan alam semesta ini adalah perwujudan "Tuhan". Jadi kita sebenarnya kita tidak butuh Tuhan bila yang dimaksud Tuhan itu sosok yang terpisah dengan diri kita karena sejatinya diri kita ini adalah "Tuhan" dan semuanya adalah perwujudan "Tuhan". Dan "Tuhan" sebenarnya tidak membutuhkan apapun di alam semesta. Tidak ada satupun di alam semesta ini yang lebih sejati, lebih hakiki, lebih besar daripada "Tuhan". Dia satu/oneness dalam kesatuan kehidupan, absolute dan menjadi sumber serta perwujudan dalam kehidupan alam semesta. "Tuhan" tidak membutuhkan manusia dan alam semesta. Karena sejatinya diri kita manusia dan alam semesta ini adalah perwujudan "Tuhan". Mau ber"Tuhan" atau ber"Tuhan", Dia akan tetap ada memancarkan diriNya. "Tuhan" sejati akan tetap memancarkan keberlimpahan karunia dan cintaNya ke seluruh penjuru alam semesta, ke seluruh makhluk walaupun seluruh makhluk di alam semesta ini tidak ber"Tuhan.

Susah dan senang, sukses dan gagal datang dan pergi, tapi saat roda hidup berputar ke bawah dan saat sesuatu menjadi buruk ber"Tuhan" memberi pegangan hidup tetap dalam kedamaian. Ber"Tuhan" membuat hidup kita bermakna yang membawa kita ke zona energi tinggi, membuat kita berbuat baik meskipun orang lain berbuat buruk kepada kita. Ber"Tuhan" membawa hidup kita sadar penuh, hadir utuh. Ber"Tuhan" memberi kita daya menaklukkan ego dan memberi arah serta totalitas hidup. Inilah kekuatan ber"Tuhan". Makna hidup muncul dari rasa ber"Tuhan" dan mengembangkan hal terbaik dalam diri kita untuk melayani sesuatu yang lebih besar diri kita sendiri. Saat kita mengembangkan hal terbaik dalam diri kita untuk melayani sesuatu yang lebih besar diri kita sendiri maka pembatas antara alam sadar dan alam bawah sadar terbuka. Dan kita akan lebih mudah (effortless) mencapai healing, success dan happiness. Namun sebaliknya ketika kita merasa hebat, mengandalkan diri kita sendiri dan hidup untuk diri kita sendiri maka ada pembatas yang kuat antara alam sadar dan alam bawah sadar. Ini seperti dinding yang menyulitkan kita (effortfull) mencapai healing, success dan happiness. Mau ber"Tuhan" atau tidak ber"Tuhan" kita tetap membutuhkan rasa bernaung dan melayani sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. 

Ber"Tuhan" bukan sekedar merubah pandangan dari Tuhan sosok parsial ke sosok universal. Bila demikian itu hanya perubahan kepercayaan. Ber"Tuhan" dan percaya Tuhan adalah kalimat yang secara esensi makna berbeda. Ber"Tuhan" tidak ada jarak antara diri kita, kehidupan dan "Tuhan" karena sudah benar-benar mengalami "Tuhan" di dalam diri dan kehidupan.  Begitu kita sudah mengalami dan menyaksikan dengan jiwa raga (syahadah) maka sebenarnya tidak diperlukan lagi kepercayaan. Seperti kita sudah mengalami guyuran air hujan maka sebenarnya tidak diperlukan lagi kepercayaan kepada guyuran air hujan. Ketika kita mengalami "Tuhan" kita menyaksikanNya dengan kesadaran murni kita. Ber"Tuhan" itu ketika kondisi jiwa benar-benar mengalami kemurnian, keikhlasan, kedamaian, kepenuhan, kekuatan, penuh kasih sayang, penuh keberlimpahan dan cinta,  keseimbangan dan kebahagiaan. Inilah pengalaman ber"Tuhan". 

Ber"Tuhan" mengungkap kembali sifat asli dan alami diri kita dalam setiap aktivitas dan interaksi di kehidupan yang penuh Ketuhanan. Ber"Tuhan" mendongkrak pusaran energi kita dari pusaran energi rendah (force) ke pusaran energi tinggi (power). Ber"Tuhan" mempurifikasi hidup kita lepas dari dualitas ketakutan (khouf) dan kesedihan (huzn) serta segala derivatifnya. Mengalami ekstasi pencerahan, kemerdekaan dari kemelekatan belenggu ego, keinginan dan hawa nafsu, ledakan suka cita, kedamaian, keikhlasan, rasa syukur, cinta kasih, rasa keberlimpahan, pengabdian dan hidayah yang seakan terus menyirami, membersihkan dan mempurifikasi tubuh dan jiwa kita. Ber"Tuhan" menjaga pancaran energi murni dan tinggi dalam setiap aktivitas dan interaksi dalam kehidupan. Ber"Tuhan" adalah diri kita terlahir kembali menjadi true of our self diri kita, yaitu daya/citra Tuhan yang memiliki sifat utama welas asih, pengasih dan penyayang, abundance and love, serta terus menjaga pancaran energi murni dan tinggi tersebut untuk memberi kemanfaatan/kebaikan bagi sesama/alam semesta (blessing others). Ber-"Tuhan" berarti hidup dalam kedamaian jiwa. Ekspresi jiwa yang damai biasanya tercermin dalam kehidupan yang mana kita bisa menikmati sensasi kebahagiaan di setiap moment, sadar penuh hadir utuh (mindfullness) dan menjalani hidup bermakna dengan baik dan benar. Kita tidak perlu meninggalkan perkataan dan perbuatan baik dan benar karena manusia (riya’/pamer) atau berkata dan berbuat baik dan benar karena manusia (syirik/menyekutukan satu yang absolute dan sumber segala realitas). Dalam penelitian "A Diffusion Tensor Imaging Study of Brain Microstructural Changes Related to Religion and Spirituality in Families at High Risk for Depression" yang dilakukan Xuzhou Li dari Department of Psychiatry, Columbia University, New York, membuktikan bahwa ber"Tuhan" dan spiritualitas melindungi orang dari depresi. Terjadi korelasi yang signifikan antara korteks yang lebih tebal di daerah parietal dan oksipital bilateral pada orang yang memiliki spiritualitas tinggi. Penipisan kortikal di daerah parietal dan oksipital bilateral menjadi biomarker yang stabil untuk risiko depresi. Dan kita yang benar-benar ber-"Tuhan" saat berbuat baik apapun kepada siapapun disandarkan kepada "Tuhan" yang sejati dan absolute tidak disandarkan kepada makhluk yang fana, banyak keterbatasan dan tidak bisa diandalkan. Orang-orang ber-"Tuhan" dalam berbuat baik tidak konsen dengan balasan orang terhadapnya. Bagi orang-orang ber-"Tuhan", balasan orang terhadapnya entah itu baik atau buruk adalah urusan orang tersebut dengan "Tuhan", tidak pernah urusan orang tersebut dengan orang-orang ber"Tuhan". Termasuk keberhasilan atau kegagalan dari setiap ikhtiar yang diusahakan orang-orang ber-"Tuhan", sama sekali keberhasilan atau kegagalan bukan urusannya. Keberhasilan atau kegagalan adalah urusan "Tuhan". Urusan orang-orang ber-"Tuhan" adalah ikhtiar seoptimal mungkin, meningkatkan kapasitas diri dan memantaskan diri menerima karunia yang terbaik bagi dirinya. Karena keterpisahan diri kita dan orang lain serta dualitas sukses dan gagal sejatinya adalah ilusi keterpisahan. Sejatinya diri kita dan orang lain, sukses dan gagal adalah manifestasi "Tuhan" dalam kehidupan.

Ber-"Tuhan" artinya berkebebasan atau mengalami kemerdekaan. Sebagaimana disampaikan sebelumnya ada 2 (dua) kutub energi yang sangat besar yakni ketakutan/kegelisahan dan kesadaran/ketenangan. Hidup ini pilihan. Ber-"Tuhan" adalah memilih hidup dengan penuh kesadaran/ketenangan. Mengalami kesadaran/ketenangan dan melepas semua ketakutan/kegelisahan juga adalah pilihan. Terlahir kembali sebagai manusia (manungso/manunggaling roso). Dari semua ratusan rasa negatif dan positif dalam diri kita menjadi satu, menjadi nol, tidak ada apa-apa. Tidak ada kesedihan, tidak ada kegelisahan. Tidak ada meratapi masa lalu, tidak ada mengkhawatirkan masa depan. Menikmati hidup sepenuh jiwa raga, here and now. Ber-"Tuhan" membuat kita "bebas" karena apa yang kita katakan atau kita perbuat murni tidak terkontaminasi dan melekat dengan belenggu ego, keinginan dan hawa nafsu pada hal-hal seperti uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran duniawi yang relative dan fana. Apapun yang tampaknya memberi kebahagiaan seperti uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran duniawi walau bagaimanapun sifatnya relative dan fana. Ada saatnya, cepat atau lambat akan rusak dan musnah atau dalam bahasa matematika sederhana menjadi nol kembali. Kita perlu menyandarkan hidup ini pada yang satu/oneness dalam kesatuan kehidupan, absolute dan menjadi sumber serta perwujudan dalam kehidupan alam semesta. Hidup ber"Tuhan" adalah hidup yang stabil, bebas, damao, murni dan bermakna dalam. Sehingga kebahagiaan yang diperoleh pun juga stabil, bebas dalam kedamaian, murni dan bermakna dalam. Uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran hakekatnya adalah angka 0 (nol). Karena kita lahir tidak membawa uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran serta kita matipun tidak membawa uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran. Dalam bahasa matematika sederhana satu/oneness dalam kesatuan kehidupan bisa kita sebut angka 1. Semua bilangan tersusun dari angka 1. Bilangan 2 tersusun dari angka 1 dan 1. Berapapun banyaknya jumlah angka nol yang kita miliki bila dijumlahkan hasilnya tetap nol. Namun uang yang nilainya nol, kekayaan yang nilainya nol, jabatan yang nilainya nol, pasangan yang nilainya nol dan ketenaran yang nilainya nol tadi begitu diberikan angka 1 maka nol-nol tadi menjadi bernilai dan nilainya bisa menjadi 10, 100, 1000, 1 juta, 1 miliar, 1 triliun dan seterusnya hingga tak terbatas. Kita harus menempatkan angka 1 di depan, maka semua angka nol tersebut menjadi bernilai. Kita harus memprioritaskan satu/oneness dalam kesatuan kehidupan di depan, maka semua pernak-pernik dunia fana relative ini akan menjadi bernilai. Murni bersandar pada satu/oneness dalam kesatuan kehidupan, absolute dan menjadi sumber serta perwujudan dalam kehidupan alam semesta. Tidak terkontaminasi dan melekat dengan belenggu ego, keinginan dan hawa nafsu pada hal-hal seperti seperti uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran yang terbatas, hampa dan fana.

Bila Friedrich Nietzsche menyampaikan bahwa "Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya ..." atau Karl Marx menyampaikan "Agama adalah desahan dari makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tidak berperasaan dan kondisi jiwa dari jiwa. Itu adalah candu rakyat... " dalam arti bahwa Tuhan dan agama telah mencengkeram manusia dan melucuti semua potensi vitalnya, maka yang perlu ditanyakan adalah Tuhan dan agama yang mana dulu? Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Tuhan dan agama yang dipahami sudah benar? Karena banyak orang mengaku ber"Tuhan" dan beragama namun salah dalam memahami "Tuhan" dan agama. "Tuhan" dianggap sosok di luar diri kita dan kehidupan. Sehingga menyimpang jauh dari kebenaran sejatinya. Menggunakan sudut pandang positif terhadap pandangan Friedrich Nietzsche, untuk menghayati "Tuhan" yang sejati maka kita harus mematikan semua tuhan-tuhan sosok palsu. Karena apapun atau siapapun bisa dituhankan, seperti ego, keinginan, hawa nafsu, kekayaan, kekuasaan, orang suci, pohon, matahari, bintang dan sebagainya. Untuk menghayati "Tuhan" kita perlu membuka kesadaran murni kita untuk menyaksikan satu/oneness yang sejati dalam kesatuan kehidupan, absolute dan menjadi sumber serta perwujudan tak terbatas/infinity kehidupan alam semesta. Menggunakan sudut pandang positif terhadap pandangan Karl Marx, harus kita akui banyak orang mengaku ber"Tuhan" dan beragama salah memahami sehingga terjebak dalam pemahaman fatalism, cenderung apatis dan kontraproduktif. Sebagaimana yang saya sampaikan di atas bahwa yang perlu dipahami kita manusia adalah makhluk dengan pribadi yang utuh, bukan robot. Dalam diri kita ada kesadaran dan pilihan bebas (free choice). Kehendak dan kuasa Tuhan Yang Maha Kuasa terhadap manusia untuk perbuatan baik dan buruk berada pada pilihan manusia sendiri, tanggungjawab ada pada manusia sendiri. Karena kesadaran dan pilihan bebas (free choice) inilah terletak ketinggian martabat manusia.

Keempat, mengapa Tuhan Yang Maha Kuasa menyembunyikan diriNya sendiri, membiarkan manusia menderita, tidak membantu manusia? Mengapa seolah Tuhan ‘diam’ melihat kejahatan dan kesengsaraan yang terjadi di dunia sekarang ini ? Apa peran Tuhan?

Bila kita memahami bahwa sebenarnya tidak ada keterpisahan antara "Tuhan", diri dan kehidupan maka pertanyaan ini tidak diperlukan bahkan ini pertanyaan yang salah memahami "Tuhan". Pertanyaan ini secara tersirat menganggap "Tuhan" adalah sosok yang terpisah dengan diri kita dan kehidupan. Yang perlu dipahami kita manusia adalah makhluk dengan pribadi yang utuh, bukan robot. Kita semua keberadaan dan seluruh kehidupan di alam semesta ini adalah perwujudan "Tuhan". Ada sifat-sifat Ketuhanan dalam diri manusia dan alam semesta. Stop victim mentality ! Semua nasib kehidupan kita, kita sendiri yang bertanggungjawab sepenuhnya. Dalam diri kita ada kesadaran dan pilihan bebas (free choice). Pilihan bebas (free choice) bukan kehendak bebas (free will), karena sangat berbeda maknanya. Kita mau sebebas apa? Apakah kita bisa berkehendak untuk terlahir dari keluarga tertentu atau etnis tertentu? Apakah kita bisa berkehendak untuk terlahir sesuai pilihan waktu dan tempat kita? Faktanya banyak dari kita tidak punya kebebasan kehendak sepenuhnya. Kita dibatasi oleh kebebasan kehendak yang lain. Kita juga dibatasi oleh hukum-hukum alam. Namun kita bebas memilih mau hidup bahagia atau hidup menderita, mau hidup kaya atau hidup miskin sesuai dengan hukum-hukum alam yang ada. Kehendak dan kuasa Tuhan Yang Maha Kuasa terhadap manusia untuk perbuatan baik dan buruk berada pada pilihan manusia sendiri, tanggungjawab ada pada manusia sendiri. Karena kesadaran dan  pilihan bebas (free choice) inilah terletak ketinggian martabat manusia. Manusia bisa memilih dengan kesadaran dan pilihan bebas (free choice) nya mana yang baik, benar dan pantas untuk dilakukan dan mana yang tidak baik, tidak benar dan tidak pantas untuk dilakukan. Namun faktanya tidak semua manusia bisa mencapai kesadaran seperti ini. Secara mendasar otak primitive manusia selalu berusaha untuk meraih nikmat dan menghindari sengsara. Secara psikologi ini adalah bentuk self defence mechanism. Yang bila otak primitive manusia ini dituruti maka manusia akan terjebak pada kemelekatan terhadap ego, keinginan dan hawa nafsu yang bisa merusak diri sendiri, sesama dan lingkungan. Karena itu perlu petunjuk atau user manual dari satu/oneness yang sejati dalam kesatuan kehidupan, absolute dan menjadi sumber serta perwujudan tak terbatas/infinity kehidupan alam semesta. Perlu konsep universal tentang kebaikan (the absolute good), perlu wahyu, perlu kitab suci, perlu hukum, perlu reward dan punishment. Agar manusia tidak seenaknya sendiri dalam berkata dan berbuat yang bisa membawa dampak keburukan bagi makhluk hidup lain dan lingkungan. Agar kita tidak terjebak pada kebenaran subyektif dan relatif dimana kebenaranku berbeda dengan kebenaran dia atau kebenaran kita bukan kebenaran mereka. Agar kita tidak terjebak pada apa yang kita anggap benar padahal sejatinya adalah ketidakbenaran yang tidak kita sadari. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun