Mohon tunggu...
MASE
MASE Mohon Tunggu... Lainnya - Mochammad Hamid Aszhar

Manusia pembelajar. Pemimpin bisnis. Membangun kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan dan kewirausahaan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mengapa Saya Ber"Ketuhanan"

4 Agustus 2021   11:11 Diperbarui: 2 November 2024   16:59 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ber"Ketuhanan" mengungkap kembali sifat asli dan alami diri kita dalam setiap aktivitas dan interaksi di kehidupan yang sebenarnya sejak awal fitrahnya penuh Ketuhanan. Ber"Ketuhanan" mendongkrak pusaran energi kita dari pusaran energi rendah (force) ke pusaran energi tinggi (power). Ber"Ketuhanan" mempurifikasi hidup kita lepas dari dualitas ketakutan (khouf) dan kesedihan (huzn) serta segala derivatifnya. Mengalami ekstasi pencerahan, kemerdekaan dari kemelekatan belenggu ego, keinginan dan hawa nafsu, ledakan suka cita, kedamaian, keikhlasan, rasa syukur, cinta kasih, rasa keberlimpahan, pengabdian dan hidayah yang seakan terus menyirami, membersihkan dan mempurifikasi tubuh dan jiwa kita. Ber"Ketuhanan" menjaga pancaran energi murni dan tinggi dalam setiap aktivitas dan interaksi dalam kehidupan. Ber"Ketuhanan" adalah diri kita terlahir kembali menjadi true of our self diri kita, yaitu daya/citra Ketuhanan yang mamancarkan welas asih, pengasih dan penyayang, abundance and love, serta terus menjaga pancaran energi murni dan tinggi tersebut untuk memberi kemanfaatan/kebaikan bagi sesama/alam semesta (blessing others). Ber-"Ketuhanan" berarti hidup dalam kedamaian jiwa. Ekspresi jiwa yang damai biasanya tercermin dalam kehidupan yang mana kita bisa menikmati sensasi kebahagiaan di setiap moment, sadar penuh hadir utuh (mindfullness) dan menjalani hidup bermakna dengan baik dan benar. Kita tidak perlu meninggalkan perkataan dan perbuatan baik dan benar karena manusia (riya’/pamer) atau berkata dan berbuat baik dan benar karena manusia (syirik/menyekutukan satu yang absolute dan sumber segala realitas).

Dalam penelitian "A Diffusion Tensor Imaging Study of Brain Microstructural Changes Related to Religion and Spirituality in Families at High Risk for Depression" yang dilakukan Xuzhou Li dari Department of Psychiatry, Columbia University, New York, membuktikan bahwa ber"Ketuhanan" dan spiritualitas melindungi orang dari depresi. Terjadi korelasi yang signifikan antara korteks yang lebih tebal di daerah parietal dan oksipital bilateral pada orang yang memiliki spiritualitas tinggi. Penipisan kortikal di daerah parietal dan oksipital bilateral menjadi biomarker yang stabil untuk risiko depresi. Dan kita yang benar-benar ber-"Ketuhanan" saat berbuat baik apapun kepada siapapun tanpa motif/sponsor yang didasarkan ego (ego base). Orang-orang ber-"Ketuhanan" dalam berbuat baik tidak konsen dengan balasan orang terhadapnya. Bagi orang-orang ber-"Ketuhanan", balasan orang terhadapnya entah itu baik atau buruk adalah urusan orang tersebut dengan tanggungjawab atas identitas dirinya sendiri, tidak pernah urusan orang tersebut dengan orang-orang ber"Ketuhanan". Termasuk keberhasilan atau kegagalan dari setiap ikhtiar yang diusahakan orang-orang ber-"Ketuhanan", adalah tanggungjawab atas identitas dirinya sendiri. Karena itu orang-orang ber-"Ketuhanan" memilih identitasnya, meningkatkan kapasitas diri dan memantaskan diri menerima karunia yang terbaik bagi dirinya. Karena keterpisahan diri kita dan orang lain serta sukses dan gagal sejatinya adalah ilusi keterpisahan (duality). Sejatinya diri kita dan orang lain, sukses dan gagal adalah kesatuan, merupakan ekspresi "Ketuhanan" dalam kehidupan.

Ber-"Ketuhanan" artinya berkebebasan atau mengalami kemerdekaan. Sebagaimana disampaikan sebelumnya ada 2 (dua) kutub energi yang sangat besar yakni ketakutan/kegelisahan dan kesadaran/ketenangan. Hidup ini pilihan. Ber-"Ketuhanan" adalah memeluk kesadaran/ketenangan berikut ketakutan/kegelisahan sebagai satu paket dengan cinta tanpa syarat, cinta tanpa batas. Terlahir kembali sebagai manusia (manungso/manunggaling roso). Dari semua ratusan rasa negatif dan positif dalam diri kita menjadi satu, menjadi nol, tidak ada apa-apa. Tidak ada kesedihan, tidak ada kegelisahan. Tidak ada meratapi masa lalu, tidak ada mengkhawatirkan masa depan. Menikmati hidup sepenuh jiwa raga, here and now. Ber-"Ketuhanan" membuat kita "bebas" karena apa yang kita katakan atau kita perbuat murni tidak terkontaminasi dan melekat dengan belenggu ego, keinginan dan hawa nafsu pada hal-hal seperti uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran duniawi yang relative dan fana. Apapun yang tampaknya memberi kebahagiaan seperti uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran duniawi walau bagaimanapun sifatnya relative dan fana. Ada saatnya, cepat atau lambat akan rusak dan musnah atau dalam bahasa matematika sederhana menjadi nol kembali. Kita perlu menyandarkan hidup ini pada satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Hidup ber"Ketuhanan" adalah hidup yang stabil, bebas, damai, murni dan setiap moment adalah perayaan. Sehingga kebahagiaan yang diperoleh pun juga stabil, bebas dalam kedamaian, murni dan penuh suka cita. Uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran hakekatnya adalah angka 0 (nol). Karena kita lahir tidak membawa uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran serta kita matipun tidak membawa uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran. Dalam bahasa matematika sederhana satu/oneness dalam kesatuan kehidupan bisa kita sebut angka 1. Semua bilangan tersusun dari angka 1. Bilangan 2 tersusun dari angka 1 dan 1. Berapapun banyaknya jumlah angka nol yang kita miliki bila dijumlahkan hasilnya tetap nol. Namun uang yang nilainya nol, kekayaan yang nilainya nol, jabatan yang nilainya nol, pasangan yang nilainya nol dan ketenaran yang nilainya nol tadi begitu diberikan angka 1 yang utuh maka nol-nol tadi menjadi bernilai dan nilainya bisa menjadi 10, 100, 1000, 1 juta, 1 miliar, 1 triliun dan seterusnya hingga tak terbatas. Kita harus menempatkan angka 1 di depan, maka semua angka nol tersebut menjadi bernilai. Kita harus memprioritaskan satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua di depan, maka semua pernak-pernik dunia fana relative ini akan menjadi bernilai. Murni bersandar pada satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Tidak terkontaminasi dan melekat dengan belenggu ego, keinginan dan hawa nafsu pada hal-hal seperti seperti uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran yang relatif/terbatas, ilusif/maya dan holografis/hanya pancaran semu.

Bila Friedrich Nietzsche menyampaikan bahwa "Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya ..." atau Karl Marx menyampaikan "Agama adalah desahan dari makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tidak berperasaan dan kondisi jiwa dari jiwa. Itu adalah candu rakyat... " dalam arti bahwa Tuhan dan agama telah mencengkeram manusia dan melucuti semua potensi vitalnya, maka yang perlu ditanyakan adalah apakah Ketuhanan dan agama yang dipahami sudah benar? Karena banyak orang mengaku ber"Ketuhanan" dan beragama namun salah dalam memahami "Ketuhanan" dan agama. "Ketuhanan" dianggap sosok di luar diri kita dan kehidupan. Sehingga menyimpang jauh dari kebenaran sejatinya. Menggunakan sudut pandang positif terhadap pandangan Friedrich Nietzsche, untuk menghayati "Ketuhanan" yang sejati maka kita harus mematikan semua tuhan-tuhan sosok palsu. Karena apapun atau siapapun bisa dituhankan, seperti ego, keinginan, hawa nafsu, kekayaan, kekuasaan, orang suci, pohon, matahari, bintang dan sebagainya. Untuk menghayati "Ketuhan" kita perlu membuka kesadaran murni kita untuk menyaksikan Satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Menggunakan sudut pandang positif terhadap pandangan Karl Marx, harus kita akui banyak orang mengaku ber"Ketuhanan" dan beragama salah memahami sehingga terjebak dalam pemahaman fatalism, cenderung apatis dan kontraproduktif. Sebagaimana yang saya sampaikan di atas bahwa yang perlu dipahami kita manusia adalah makhluk dengan pribadi yang utuh, bukan robot. Dalam diri kita ada Kesadaran/Ketuhanan. Kehendak dan kuasa Ketuhanan terhadap manusia untuk perbuatan baik dan buruk berada pada pilihan identitas manusia sendiri, tanggungjawab ada pada manusia sendiri. Karena Kesadaran/Ketuhanan inilah terletak ketinggian martabat manusia.

Kelima, mengapa Ketuhanan menyembunyikan diriNya sendiri, membiarkan manusia menderita, tidak membantu manusia? Mengapa seolah Ketuhanan ‘diam’ melihat kejahatan dan kesengsaraan yang terjadi di dunia sekarang ini ? Apa peran Ketuhanan?

Bila kita memahami bahwa sebenarnya tidak ada keterpisahan antara "Ketuhanan", diri dan kehidupan maka pertanyaan ini tidak diperlukan bahkan ini pertanyaan yang salah memahami "Ketuhanan". Pertanyaan ini secara tersirat menganggap "Ketuhanan" adalah sosok yang terpisah dengan diri kita dan kehidupan. Yang perlu dipahami kita manusia adalah makhluk dengan pribadi yang utuh, bukan robot. Kita semua dan seluruh keberadaan di alam semesta ini adalah perwujudan "Ketuhanan". Ada sifat-sifat Ketuhanan dalam diri manusia dan alam semesta. Stop victim mentality ! Semua nasib kehidupan kita, kita sendiri yang bertanggungjawab sepenuhnya. Dalam diri kita ada Kesadaran/Ketuhanan. Kita bebas memilih identitas kita mau hidup bahagia atau hidup menderita, mau hidup kaya atau hidup miskin. Kehendak dan kuasa Ketuhanan terhadap manusia untuk perbuatan baik dan buruk berada pada pilihan manusia sendiri, tanggungjawab ada pada manusia sendiri. Karena Kesadaran/Ketuhanan yang ada dalam diri manusia inilah terletak ketinggian martabat manusia. Manusia bisa memilih dengan Kesadarannya mana yang baik, benar dan pantas untuk dilakukan dan mana yang tidak baik, tidak benar dan tidak pantas untuk dilakukan. Faktanya tidak semua manusia bisa mencapai kesadaran seperti ini. Secara mendasar otak primitive manusia selalu berusaha untuk meraih nikmat dan menghindari sengsara. Secara psikologi ini adalah bentuk self defence mechanism. Yang bila otak primitive manusia ini dituruti maka manusia akan terjebak pada kemelekatan terhadap ego, keinginan dan hawa nafsu yang bisa merusak diri sendiri, sesama dan lingkungan. Karena itu perlu petunjuk atau user manual dari satu/oneness yang sejati dalam kesatuan kehidupan, absolute dan menjadi sumber serta perwujudan tak terbatas/infinity kehidupan alam semesta. Perlu konsep universal tentang kebaikan (the absolute good), perlu wahyu, perlu kitab suci, perlu hukum, perlu reward dan punishment. Agar manusia tidak seenaknya sendiri dalam berkata dan berbuat yang bisa membawa dampak keburukan bagi makhluk hidup lain dan lingkungan. Agar kita tidak terjebak pada kebenaran subyektif dan relatif dimana kebenaranku berbeda dengan kebenaran dia atau kebenaran kita bukan kebenaran mereka. Agar kita tidak terjebak pada apa yang kita anggap benar padahal sejatinya adalah ketidakbenaran yang tidak kita sadari. 

Yang perlu disadari bahwa seringkali penderitaan yang dialami manusia adalah getaran (vibration) pikiran dan perasaan sendiri atau akibat perkataaan dan perbuatannya sendiri. Default nya manusia dari sisi pikiran, emosi, energi dan fisik adalah makhluk kebajikan dan makhluk yang penuh kebahagiaan. Penderitaan yang kita alami sejatinya kita sendiri yang meng'attract'. Mengapa? Karena dalam diri manusia ada beliefs dan values yang itu membentuk automatic guidance system pada hidupnya. Seperti halnya peluru kendali (rudal), melakukan set up titik ordinat terlebih dahulu sebelum ditembakkan, beliefs dan values dalam diri manusia tersebut juga melakukan set up titik ordinat sukses dan gagalnya, bahagia dan deritanya serta sehat dan sakitnya. Dalam neurosains psychocybernetics hal ini disebut servo mechanism. Inilah sejatinya doa. Walaupun mulut kita komat kamit meminta sampai berbuih namun beliefs dan values dalam diri adalah gagal dan derita maka automatic guidance system yang terbentuk adalah gagal dan derita. Proses dan kebiasaan yang terbentuk adalah proses dan kebiasaan gagal dan derita, maka nasib kehidupan yang terbentuk adalah nasib kehidupan yang penuh kegagalan dan penderitaan. Begitupun sebaliknya, bila beliefs dan values dalam diri adalah sukses dan bahagia maka automatic guidance system yang terbentuk adalah sukses dan bahagia. Proses dan kebiasaan yang terbentuk adalah proses dan kebiasaan sukses dan bahagia, maka nasib kehidupan yang terbentuk adalah nasib kehidupan yang penuh sukses dan bahagia. Tuhan tidak merubah nasib kita bila kita tidak merubah apa yang ada di dalam diri kita sendiri, yakni beliefs dan values, mindset dan behavior serta habits kita. 

"Tuhan" berperan dalam memancarkan diriNya ke seluruh realitas alam semesta, menjaganya serta memiliki peran esensial terhadap alam semesta. Karena didalam "Tuhan" tidak ada dualisme epistemologis, yaitu pemisahan antara manusia, alam semesta dan "Tuhan". Dalam konsep wujud "Tuhan" yang absolute sempurna dan tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi,  manusia, alam semesta dan "Tuhan" merupakan satu kesatuan. Manusia dan alam semesta ini sudah cukup bagi dirinya sendiri, tidak membutuhkan agen luar yang terpisah. Manusia dan alam semesta ini sejatinya adalah manifestasi dari "Tuhan" itu sendiri. Seperti pesawat televisi, "Tuhan" terus memancarkan sinyalnya. Sesuai hukum-hukum alam semesta yang ada atau sesuai user guide dalam pesawat televisi, kita bisa memilih channel-channel apa yang mau kita alami dalam hidup ini. Mau channel bahagia atau channel menderita, mau channel sukses atau channel gagal. Namun apakah kita bisa mengalami channel-channel kehidupan dengan berbagai dinamikanya bila stasiun pemancar tidak memancarkan sinyalnya ? Apakah kita bisa menjadi manusia dengan segala dinamika realitasnya bila Tuhan sebagai sumber realitas alam semesta tidak memancarkan diriNya? Walaupun analogi pesawat televisi ini sangat tidak sempurna, sedikit membantu memahami "Tuhan", manusia dan alam semesta. Manusia adalah co-creator (khalifah) dalam sebagian proses penciptaan dan pemeliharaan alam semesta.  Wujud hakiki alam semesta adalah wujud "Tuhan" yang menampakkan diriNya di alam semesta. Alam semesta dengan segala isinya adalah cermin bayangan Tuhan. Seluruh realitas alam semesta dengan segala isinya yang tampak, sejatinya adalah realitas Tuhan.

Pada quantum level kita semua adalah sekumpulan energi yang bergetar (vibrate) dengan frekuansi tertentu yang terhubung satu sama lain dan membentuk suatu bangunan atau satu tubuh energi raksasa "collective consciousness". Quantum berasal dari kata quanta adalah partikel terkecil yang merupakan bahan baku alam semesta. Pada tahun 1935, Albert Einstein dalam sebuah makalah bersama dengan Boris Podolsky dan Nathan Rosen merumuskan paradoks Einstein-Podolsky-Rosen (paradoks EPR), sebuah eksperimen fisika kuantum yang menunjukkan keterhubungan(entanglement) alam semesta. Fenomena keterhubungan (entanglement) ini memungkinkan dua atom, meskipun jarak memisahkan dua atom itu, untuk tetap terhubung seketika seolah ada sinyal yang mampu mempengaruhi keadaan mereka yang bergerak lebih cepat dari kecepatan cahaya walaupun secara kasat mata, tidak ada interaksi diantara keduanya. Riset terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature pada 21 Oktober 2015, Ronald Hanson dari Kavli Institute of Nanoscience di Delft University of Technology di Belanda merancang sebuah eksperimen bernama "loophole-free Bell test" yang berhasil membuktikan adanya "entanglement" antara dua elektron yang dipisahkan sejauh 1,3 kilometer. Setiap Jiwa, terhubung dengan tingkat kesadaran kolektif, di dalam "Diri Maha Tinggi". Kita semua adalah bagian dari keseluruhan (gestalt) "Energi Maha Besar".

Keenam, mengapa Tuhan menciptakan surga dan neraka? Mengapa Tuhan menciptakan manusia kalau hanya dimasukkan ke neraka?

Bila kita memahami bahwa sebenarnya tidak ada keterpisahan antara "Tuhan", diri dan kehidupan maka pertanyaan ini tidak diperlukan bahkan ini pertanyaan yang salah memahami "Tuhan". Pertanyaan ini secara tersirat menganggap "Tuhan" adalah sosok yang terpisah dengan diri kita dan kehidupan. Kita juga sering menganggap bahwa kehidupan ini "ruang tunggu" serta melakukan apologisme atas kebodohan dan ketidakberdayaan dengan mengatakan "tidak mengapa di dunia kita menderita asalkan di akhirat kita bahagia." Padahal sejatinya "Tuhan", kehidupan alam semesta, surga, neraka itu ada di sini kini, tidak ada keterpisahan. FKebahagiaan, kesuksesan, kesehatan sering disimbolkan dengan "surga". Kesedihan, penderitaan, sakit sering disimbolkan dengan "neraka". Surga dan neraka sejatinya kita sendiri yang membangunnya. Bagi manusia yang berhati surga, maka dunia ini dengan segala dinamikanya adalah surga, bahkan ketika mengalami kematian sekalipun dan naik ke dimensi alam yang lebih tinggi. Bagi manusia yang berhati neraka, maka dunia ini dengan segala dinamikanya adalah neraka, bahkan ketika mengalami kematian sekalipun dan naik ke dimensi alam yang lebih tinggi. Yang perlu dipahami kita manusia adalah makhluk dengan pribadi yang utuh, bukan robot. Dalam diri kita ada kesadaran dan pilihan bebas (free choice). Kehendak dan kuasa "Tuhan" terhadap manusia untuk perbuatan baik dan buruk berada pada pilihan manusia sendiri, tanggungjawab ada pada manusia sendiri. Karena kesadaran dan pilihan bebas (free choice) inilah terletak ketinggian martabat manusia. Kita bisa mengalami "surga" dalam kehidupan walaupun secara kasat mata tampak seperti gagal, derita dan sakit. Sebaliknya kita bisa mengalami "neraka" dalam kehidupan walaupun secara kasat mata seperti sukses, bahagia dan sehat. Ini semua tergantung mindset dan behavior kita, tergantung belief system dan values kita. Karena sejatinya gagal adalah proses belajar. Karena sejatinya derita adalah paket pasangan bahagia. Karena sejatinya sakit adalah tanda bagi kita untuk menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam fisik kita, ada sesuatu yang harus dibetulkan dalam habit kita. Dalam diri manusia ada servo mechanism. Baik dan buruk, sukses dan gagal serta derita dan bahagia manusia dibentuk oleh beliefs dan values yang ada dalam diri manusia. Ini seperti titik ordinat yang di set di peluru kendali (rudal). Beliefs dan values tersebut membentuk automatic guidance system yang akan membentuk nasibnya baik dan buruk, sukses dan gagal serta derita dan bahagia. Seperti halnya peluru kendali (rudal) setelah di set titik ordinatnya, berkelak-kelok kemanapun akan menuju titik ordinat yang telah di set.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun