Pembahasan tentang Ketuhanan beragam dari budaya ke budaya. Ada ratusan bahkan ribuan nama untuk menyebut Ketuhanan. Mulai Aah di Mesir sampai Zeus di Yunani. "Ketuhanan" sudah ada sebelum nama-nama untuk menyebut Ketuhanan itu ada. Karena nama-nama untuk menyebut Ketuhanan adalah kata benda yang diciptakan manusia. "Ketuhanan" bukan sekedar kata benda. Karena begitu kita menjadikan "Ketuhanan" itu kata benda kita telah mengurungnya dalam suatu kata dan membatasinya. Keberadaan "Ketuhanan" tidak ada batasan terhadap ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Sesungguhnya agama-agama dan kepercayaan di dunia menyembah satu "Ketuhanan" yang sama, namun melalui konsep dan pencitraan mental yang berbeda-beda mengenai-Nya. Hal ini disebabkan kesadaran, persepsi, kemampuan pemahaman dan latar belakang budaya yang berbeda-beda setiap manusia. Walaupun persepsi, kemampuan pemahaman dan latar belakang budaya itu bisa menghasilkan citra bahkan konsep yang berbeda, fitrahnya manusia adalah mengakui ada satu keutuhan/oneness yang sejati (esa : dalam bahasa Sansekerta/echad : dalam bahasa Ibrani/ahad : dalam bahasa Arab) (disimbolkan 1), yang absolute dan infinite dibalik kehidupan alam semesta relative dan finite ini (disimbolkan IxI) serta menjadi esensi dan manifestasi semua (disimbolkan x/~=0). Bila disusun menjadi 0 IxI 1. Bila dibunyikan ini menjadi suara dasar kehidupan. Nama God dalam bahasa Inggris sendiri sebenarnya tidak tepat untuk menyebut satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Karena kata God bisa menjadi Gods (jamak). Sedangkan satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua tidak bisa disifati jamak atau disifati seperti satunya smartphone yang mana banyak satu smartphone yang lain. Termasuk kata Tuhan sebenarnya juga kurang begitu tepat untuk menyebut satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua karena secara etimologi kata Tuhan berasal dari kata 'tuan' bentukan dari bahasa China "to/tau - wang". 'To' atau 'tau' artinya manusia dan 'wang' artinya 'raja' atau 'penguasa'. Jadi, to/tau-wang secara harfiah "manusia penguasa". Sedangkan satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua bukanlah bersifat sosok seperti manusia (antrophomorphisme). Karena itu lebih pas menyebut ber"Ketuhanan", bukan Tuhan sosok yang dipandang kebanyakan orang.
Hakikatnya kebenaran (truth) hanya satu. Ada konsep universal/idea tentang kebaikan (the absolute good). Kalau ada perbedaan kebenaran dan kebaikan menurut si A, si B, si C dan seterusnya, hakikatnya hanya karena level kedalaman kesadaran manusia yang berbeda-beda. Mengikuti budaya tidak bisa dijadikan alat untuk menemukan kebenaran. There is no religion base on culture higher than truth. Ber-"Ketuhanan" itu ditemukan, bukan diwariskan dari budaya ke budaya. Kita sendiri yang harus melakukan proses sadar untuk ber-"Ketuhanan". Kebenaran sejati tentang "Ketuhanan", kita sendiri yang harus mengalami. Begitu kita sudah mengalami dan menyaksikan (syahadah) maka sebenarnya tidak diperlukan lagi kepercayaan, baik itu theism maupun atheism sebenarnya dasar premisnya sama karena keduanya sebenarnya sama-sama berlandaskan kepercayaan. Seperti kita sudah mengalami guyuran air hujan maka sebenarnya tidak diperlukan lagi kepercayaan atau ketidakpercayaan kepada guyuran air hujan. Karena itu kalimat yang lebih tepat bukan percaya kepada Tuhan apalagi Tuhan sosok, namun ber"Ketuhanan"atau mengalami dan menyaksikan"Ketuhanan". Agama-agama yang didasarkan pada mitos, doktrin dan dogma yang tidak didasarkan pada kesadaran "ini" akan usang seiring berjalannya waktu, dilupakan dan ditinggalkan manusia. Walaupun begitu tidak bisa dengan logika induktif dinyatakan bahwa agama-agama murni yang didasarkan kepada ber"Ketuhanan" akan ditinggalkan seiring perkembangan zaman. Karena bila kita mengkaji sejarah, berdasarkan bukti arkeologis bahwa kesadaran ber"Ketuhanan" sudah ada sejak sebelum 3200 SM di zaman Mesir Kuno. Artinya sudah ribuan tahun pembahasan tentang "Ketuhanan" ini ada bahkan puluhan ribu tahun yang lalu dan tidak usang sampai sekarang bahkan semakin berkembang. Hasil riset yang dilakukan oleh World Values Survey yang melibatkan sekitar 630.000 responden di 110 negara di dunia sejak 1981 sampai 2020 menunjukkan bahwa secara prosentase dari total penduduk dunia jumlah manusia ber "Ketuhanan" menunjukkan peningkatan signifikan. Mungkin kita berpikir bahwa ber"Ketuhanan" hanyalah evolusi dari animisme, dinamisme, totemisme dan polytheism. Namun penemuan banyak ilmuwan sejarah justru sebaliknya, kemanapun mereka menelusuri animisme, dinamisme, totemisme dan polytheism sampai taraf terawalnya di berbagai suku dan bangsa, berdasarkan bukti-bukti arkeologis ditemukan bahwa itu dihasilkan dari kombinasi, variasi dan ekspresi level kesadaran manusia atas satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua. "Ketuhanan" yang dilekatkan pada bintang-bintang, alien, roh, manusia, arwah nenek moyang, hewan, tumbuhan dan benda-benda, sifatnya tambahan yang terpisah (bid'ah). Fitrahnya manusia mengakui hanya ada satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua yang tidak dibatasi/tidak bergantung terhadap ruang, waktu, materi, energi dan informasi.
Sebelum melanjutkan pembahasan "Mengapa Saya ber-'Ketuhanan'?", kita perlu menyamakan persepsi tentang apa yang dimaksud "Ketuhanan"? Di sini dengan kata-kata yang terbatas, saya hanya mampu menjelaskan tanda-tandaNya lewat kesoktahuan saya dalam melakukan verbalisasi. Sebenarnya saya tidak tahu apa-apa. Semua argumentasi, tafsir dan kata tentang "Ketuhanan" itu sejatinya bukanlah "Ketuhanan" itu sendiri. "Ketuhanan" sejatinya tidak bisa dikurung dalam kata-kata atau penjelasan ilmiah. "Ketuhanan" sejatinya tidak bisa diinderakan manusia, tidak mengenal batasan dan tidak bisa disamakan/diserupakan dengan apapun juga (laitsa kamitslihi/tan keno kinoyo ngopo). "Ketuhanan" yang sebenarnya, tidak bisa di define/dibatasi dalam ruang, waktu, materi, energi dan informasi. "Ketuhanan" yang sebenarnya, bersifat infinitive, “the undefined”, tidak bisa diberikan batas-batas kata-kata atau dikurung dalam kategori apapun. Bila masih bisa di definisikan, dikurung dalam kategori, diberikan batas-batas dalam ruang waktu, materi, energi dan informasi maka itu bukan "Ketuhanan". Apapun atau siapapun bisa dituhankan, seperti bintang-bintang, alien, roh, setan, manusia, hewan, tumbuhan, uang, ilmu pengetahuan dan teknologi, benda-benda bahkan ego, keinginan, hawa nafsu kita bahkan agama dan kepercayaan itu sendiri yang fitrahnya merupakan jalan ber"Ketuhanan" namun justru dituhankan. Kita perlu menyamakan persepsi mengenai tanda-tanda "Ketuhanan" dalam kehidupan. Menyamakan persepsi untuk menyadari adanya satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua yang tidak dibatasi/tidak bergantung terhadap ruang, waktu, materi, energi dan informasi.
Mengapa "esa"? Karena bila tidak "esa" secara logika akan mengalami kontradiksi dengan "kemutlakan/absolute" dan "tak terbatas/infinity" atas semua. Bila ada banyak Ketuhanan maka dzat, sifat dan perbuatanNya tidak "absolute" atau dengan kata lain dibatasi oleh dzat, sifat dan perbuatan Ketuhanan yang lain sehingga bukan "esensi dan manifestasi semua". Yang demikian pasti hanya ada satu keutuhan (esa), sebab seandainya ada lebih dari satu keutuhan yang terpisah maka akan ada unsur ketergantungan. Sejatinya semua daya-daya manifestasi alam semesta adalah satu esensi dalam konstitusi tertingginya. Semua ini sejatinya adalah esensi dan manifestasi dari "Ketuhanan". Mengapa absolute? Karena bila tidak "absolute" secara logika akan mengalami kontradiksi dengan "satu keutuhan (esa)" dan "esensi dan manifestasi semua". Absolute di sini maksudnya tidak ada unsur ketergantungan, tidak dibatasi siapapun atau apapun termasuk tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi serta meliputi siapapun atau apapun ruang, waktu, materi, energi dan informasi. "Ketuhanan" yang sejati (essential) bukan bersifat sosok/manusia (antrophomorphisme) atau melekat pada hal-hal bersifat makhluk lainnya yang memiliki banyak keterbatasan, dilahirkan/dibentuk dan bisa sakit/rusak/mati. "Ketuhanan" yang sejati bukan "imaginary friend", yang diciptakan oleh pikiran manusia yang terbatas. "Ketuhanan" yang sejati tidak dibatasi pikiran, bukan dipikirkan ada maka menjadi ada, entah karena dorongan ketakutan kita, entah karena dorongan keinginan kita mencari tempat bersandar, entah karena dorongan kebutuhan hidup. "Ketuhanan" yang sejati bukan produk pikiran. "Ketuhanan" yang sejati bukan pelengkap atas kebutuhan kita pada kesempurnaan. "Ketuhanan" yang sejati adalah yang telah ada, sedang ada, tetap ada dan akan selalu ada walaupun kita semua tidak berpikir ada, walaupun tidak ada dorongan ketakutan, walaupun tidak ada keinginan mencari tempat bersandar, walaupun tidak ada kebutuhan kita pada kesempurnaan. "Ketuhanan" yang sejati akan tetap ada walaupun kita manusia dan alam semesta ini tidak ada. Dia bukan keberadaan dan bukan pula ketidakberadaan namun meliputi segalanya. Dia tidak bisa dibatasi oleh keberadaan alam semesta atau ketidakberadaan alam semesta. Karena keberadaan alam semesta dibatasi oleh ketidakberadaan alam semesta. Begitupun sebaliknya ketidakberadaan alam semesta juga dibatasi oleh keberadaan alam semesta itu sendiri. Karena "Ketuhanan" yang sejati melampaui keberadaan dan ketidakberadaan.
Yang juga perlu kita pahami bahwa memahami "Ketuhanan" tidak bisa menggunakan pikiran saja, akan terjadi dualisme epistemologis, yaitu pemisahan antara "Ketuhanan" dengan semua ini. Padahal dalam konsep wujud "Ketuhanan" yang absolute sempurna dan tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi, harusnya tidak ada pemisahan antara "Ketuhanan" dengan semua ini karena merupakan satu keutuhan. Bila hanya mengandalkan pikiran, akan ada jurang lebar antara "Ketuhanan" dengan semua ini. Hal ini justru membunuh "Ketuhanan" itu sendiri. Hal ini justru mereduksi konsep wujud absolute sempurna "Ketuhanan" yang tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi serta menganggap "Ketuhanan" hanya sebatas penggerak awal alam semesta setelah itu tidak melakukan apa-apa atau seperti tukang bangunan yang berada di luar karyanya. Ketika kita memahami "Ketuhanan" hanya sebatas agen luar yang menciptakan semua ini maka logika penalaran kita akan jatuh pada "lingkaran setan". Karena logika penalarannya adalah bagaimana semua ini bisa ada tanpa diciptakan oleh pencipta. Begitu kita konsisten dengan logika penalaran ini, maka kita akan bertanya siapa yang menciptakan Ketuhanan? Begitu kita mengatakan bahwa Ketuhanan ada tanpa diciptakan oleh pencipta maka kita tidak konsisten dengan premis logika penalaran sebelumnya bahwa semua ini ada karena diciptakan oleh pencipta. Semua ini sudah cukup bagi diriNya sendiri, tidak membutuhkan agen luar yang terpisah. Semua ini sejatinya adalah manifestasi dari "Ketuhanan" itu sendiri.
Ribuan Nabi dan ratusan Rasul serta orang-orang tercerahkan di berbagai suku dan bangsa dalam rentang waktu berabad-abad lamanya membantu menyadarkan, meluruskan dan memurnikan pemahaman ber-"Ketuhanan" yang benar. Bukan hanya sekedar mengikuti mitos, doktrin dan dogma nenek moyang. Ber-"Ketuhanan" bukanlah sebuah kepercayaan yang turun-menurun dalam keluarga atau budaya masyarakat tanpa benar-benar mengalami "Ketuhanan" itu sendiri. Ada beberapa tingkatan (level) kedalaman kesadaran atas kebenaran. Yang pertama adalah kebenaran berdasarkan level kesadaran panca indera (ainul yaqin). Contohnya ketika kita menyaksikan matahari dengan indera penglihatan mata kita maka kita menganggap matahari hanya sebesar bola basket. Yang kedua adalah kebenaran berdasarkan level kesadaran sains ('ilmul yaqin). Contohnya ketika kita menyaksikan matahari dengan sains maka kita temukan bahwa diameter matahari sekitar 1.392.684 km atau sekitar 109 kali diameter bumi dan massa matahari sekitar 2×10 pangkat30 kilogram atau sekitar 330.000 kali massa Bumi. Yang ketiga adalah kebenaran berdasarkan level kesadaran spiritual (haqqul yaqin). Ini adalah level kesadaran atas kebenaran puncak (ultimate). Level kesadaran spiritual mendasarkan "keberadaan" tidak menggunakan pendekatan epistemologi empiris - rasional melalui pancaindera dan sains. Level kesadaran spiritual mendasarkan "keberadaan" menggunakan pendekatan epistemologi fisik dan metafisik yang diserap oleh kesadaran murni. Contohnya dengan matahari di atas tidak sekedar mengamati matahari dengan indera penglihatan mata, mempelajari diameter dan massa matahari dengan sains, namun jiwa dan raga kita sudah berada di dalam matahari itu. Sangat sulit dijelaskan dengan kata-kata, namun jiwa raga kita mengalami matahari dengan sangat nyata. Sudah tidak perlu kepercayaan atau ketidakpercayaan. Sudah tidak relevant lagi untuk diperdebatkan.
Ber-"Ketuhanan" tidak bisa percaya begitu saja sebelum ada kejelasan, sebelum benar-benar mengalami. Inilah sejatinya pengalaman dan kesaksian "Ketuhanan" (syahadah). Ketika kita sudah mengalami dan menyaksikan dengan kejelasan, sebenarnya sudah tidak perlu kepercayaan atau bukti ilmiah apapun. Ber-"Ketuhanan" hanya bisa ditemukan dan dialami sendiri, bukan karena ikut-ikutan atau pengaruh orang lain. Dasar dari ber-"Ketuhanan" adalah mengalami sendiri atau menyaksikan dengan sepenuh jiwa raga. Ber-"Ketuhanan" merupakan proses sadar pengalaman seseorang yang bersifat personal. Kita harus menemuinya sendiri di luar tempurung agama, dogma, doktrin, mitos dan keyakinan keluarga, masyarakat serta nenek moyang kita. Menangguhkan blame, execute, justify. Tidak hanya mengandalkan otak dan kognitif saja, namun menyelami dengan segenap jiwa dan raga. Bersungguh-sungguh mencoba, mengalami dan menguji. Dalam matematika kita di ajarkan bahwa bila kita mau membuktikan formula apapun, maka kita harus mencoba, mengalami dan menguji formula itu dulu bukan? Pola pikirnya bukan "kamu buktikan jumlah dua bilangan ganjil akan genap, baru aku memulai proses perhitungan jumlah dua bilangan ganjil akan genap". Tapi pola pikirnya adalah "aku memulai proses perhitungan jumlah dua bilangan ganjil akan genap, baru aku buktikan bahwa jumlah dua bilangan ganjil akan genap". Dalam ber-"Ketuhanan" juga demikian, pola pikirnya bukan "kamu buktikan dulu Ketuhanan ada, baru aku memulai proses perjalanan menuju ber-Ketuhanan". Tapi pola pikirnya adalah "aku mulai proses perjalanan ber"Ketuhanan", maka aku mengalami dan menyaksikan-"Ketuhanan".
Jika kita tidak mempunyai cukup pemahaman tentang kebenaran hingga di level kesadaran spiritual, hanyalah prasangka, maka milikilah prasangka yang baik. Begitulah etikanya para pencari kebenaran. Namun yang sering terjadi ketika berdebat tentang "Ketuhanan" baik di social media maupun di warung kopi, seringkali kita berasumsi insecure, jika ada hal yang berbeda dengan kita dibiarkan hidup maka kebenaran yang kita percayai akan menderita. Lalu berusaha menyerang, menjatuhkan dan menyingkirkannya. Alangkah indahnya bila setiap diri bisa melakukan proses sadar dan bertumbuh secara alami menyingkap kebenaran. Tidak mendasarkan pikiran, perasaan dan tindakan pada ego (ego base). Walaupun jalannya mungkin harus meniadakan Tuhan-Tuhan palsu terlebih dahulu, baru kemudian mengalami dan menyaksikan "Ketuhanan" yang sebenarnya. Menyaksikan dan mengalami satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute - infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Yang juga perlu kita sadari seringkali kita terjebak pada kebenaran subyektif dan relatif dimana kebenaranku berbeda dengan kebenaran dia atau kebenaran kita bukan kebenaran mereka. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, hakikatnya hanya satu kebenaran (truth). Kalau ada perbedaan kebenaran menurut si A, si B, si C dan seterusnya itu hakikatnya karena level kedalaman kesadaran manusia yang berbeda-beda. Hal ini juga disebabkan persepsi, kemampuan pemahaman dan latar belakang budaya yang berbeda-beda setiap manusia. Ada konsep universal/idea tentang kebaikan (the absolute good).
Secara prinsip kebenaran sejati itu menyempurnakan akhlak, tidak memihak, tidak untuk menyenangkan yang satu dan menyakiti yang lain, tidak untuk mengalahkan dan memenangkan, tidak untuk menyerang, menjatuhkan dan menyingkirkan. Bila kebenaran yang kita yakini menumbuhkan insecure, kesombongan, mudahnya menyalahkan dan merendahkan orang lain, kebencian, bahkan buruknya hubungan baik kita dengan sesama maka perlu kita kaji dan pertanyakan kembali kebenaran tersebut. Kebenaran sejati itu berdiri atas dirinya sendiri, karena dirinya sendiri, oleh dirinya sendiri, untuk dirinya sendiri. Apa yang benar bukan siapa yang benar. Kebenaran bisa datang dari mana saja. Sama sekali bukan hak exclusive kelompok atau golongan tertentu. Kebenaran sejati, sesungguhnya tidak pernah membutuhkan kita untuk membelanya. Kita sendiri yang pada akhirnya harus mengakui, berserah diri dan mengikuti kebenaran sejati tersebut. Sejarah sosial masyarakat dan bangsa-bangsa menunjukkan bahwa hegemoni keyakinan tertentu yang dipaksakan dengan menyerang, menjatuhkan dan menyingkirkan bahkan perang serta berbagai ekspresi insecure dan ego base lainnya pada akhirnya runtuh dan tidak bertahan lama.
Ada beberapa sub-question di sini, mengapa saya ber-“Berketuhanan” ?
Pertama, mengapa kita sampai pada ber"Ketuhanan"?
Ada banyak argumentasi tentang Ketuhanan, mulai dari argumentasi ontologis, kosmologis, contingency, teleologis, design, moral, pascal's wager, subprime conscious dan seterusnya. Walaupun kata-kata, argumentasi dan logika sangat terbatas, semua itu memberikan tanda-tanda Ketuhanan dan juga memberikan arah adanya satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute - infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Ketuhanan, yang tidak diciptakan/dilahirkan, tidak berawal, tidak berakhir dan tidak dapat rusak/mati. Semua argumentasi tersebut ujungnya juga mengakui konsep universal/idea tentang kebaikan (the absolute good). Kabar baiknya satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute - infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua tersebut tidak perlu kita cari kemana-mana. Dia ada di dalam diri kita sendiri dan di seluruh perwujudan kehidupan alam semesta. Sebenarnya semua di alam semesta yang relative ini adalah pancaran dari satu sumber yang absolute. Sebenarnya pula tidak ada pemisahan antara Ketuhanan dan kehidupan alam semesta ini, termasuk dengan diri kita sendiri. Terdapat "satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute - infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua" di semua alam semesta. Alam semesta adalah ungkapan empirisNya yang berbeda dalam segala hal. Ketuhanan transenden sekaligus imanen. KeberadaanNya tidak bergantung pada alam semesta yang terbatas dalam ruang, waktu, materi, energi dan informasi namun meresapi apa pun yang ada. Tak ada tempat di dunia ini di mana tidak ada kehadiranNya di situ. Ketuhanan, manusia dan alam semesta adalah satu keutuhan. Semakin canggih ilmu pengetahuan dan teknologi, semakin menunjukkan tanda-tanda Ketuhanan di segala penjuru, semakin menunjukkan adanya satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua.
Bila kita mempelajari sains klasik, kita pahami adanya hukum kausalitas yang mengikuti fakta bahwa tidak ada yang bisa lebih cepat dari kecepatan cahaya. Hukum ini juga menyatakan bahwa akibat dari suatu tindakan hanya dapat terjadi setelah penyebabnya, yang akan membuat perjalanan waktu. Namun seiring dengan perkembangan sains muncul pertanyaan, mengapa antara dua benda langit yang berjarak tahunan cahaya hingga partikel-partikel inti atom bisa terikat oleh gravitasi terjadi secara real-time alias serentak dan tidak terikat perjalanan waktu? Jawaban atas fenomena ini muncul dari penelitian Alain Aspect bersama team, seorang fisikawan dari Institut d'Optique École Polytechnique Centre National de la Recherche Scientifique, Perancis. Yang kemudian memicu munculnya teori holografik yang diajukan oleh pakar Fisika Teoritis dari Universitas London, David Bohm dan pakar neurofisiologi Karl Pribram dari Universitas Stanford. Menurut Bohm, adanya interaksi real-time antar benda itu bisa dijelaskan dengan teori holografik. Studi baru yang dipimpin tim Maldacena dari Kyoto University dan National Science Foundation, yang dipublikasi Cornell University Library pada 21 November 2013, menegaskan bahwa mereka telah membuktikan kebenaran konsep alam semesta bersifat holografik. Diberitakan Nature, Selasa pada 10 Desember 2013, Yoshifumi Hyakutake dari Ibaraki Uniersity, Jepang melakukan perhitungan komponen-komponen lubang hitam dan energi internal kosmos tanpa gravitasi. Hasil perhitungan cocok, mendukung gagasan bahwa alam semesta ini bersifat holografik. Leonard Susskind, fisikawan teoretik di Stanford University di California mengatakan bahwa perhitungan Yoshifumi Hyakutake benar. Hasil-hasil riset terbaru semakin mendekatkan manusia pada gagasan alam semesta ini bersifat holografik. Einstein pernah mengatakan bahwa realitas adalah ilusi: “Reality is merely an illusion, albeit a very persistent one”. Kutipan ini bukan mengacu kepada mekanika kuantum, melainkan kepada teori relativitas umum setelah Kurt Godel menemukan solusi dari relativitas umum yang memberi implikasi bahwa konsep aliran waktu adalah ilusi. Penelitian yang dilakukan Enrico Rinaldi bersama team "Matrix-Model Simulations Using Quantum Computing, Deep Learning, and Lattice Monte Carlo" yang dipublikasikan 10 Februari 2022 oleh A Physical Review Journal, PRX Quantum menguatkan bahwa alam semesta ini bersifat holografik. Artinya dari alam semesta yang bersifat ilusi dan relative. Ada satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute - infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Hal ini sejalan dengan pernyataan Stephen William Hawking bahwa awal mula alam semesta sebagai "comes from oneness" dan ia menyatakan pula bahwa akhir alam semesta "return to oneness". Dia menyebut "oneness" sebagai esensi dan manifestasi semua di alam semesta ini. Dongshan He dan team risetnya pun juga membuktikan secara matematis bahwa alam semesta muncul secara spontan akibat fluktuasi di level kuantum dari medan titik nol (zero point field).
Sedikit untuk memahami medan titik nol (zero point field). Bila kita mengamati lebih dalam mikrokosmos alam semesta, kita semakin menyadari satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Jika diurutkan dari ukuran yang besar ke ukuran yang makin kecil dimulai dari suatu benda atau organ, molekul, atom, quark maka kita sampai pemahaman bahwa quark sebenarnya adalah energi yang bervibrasi dengan frekuensi tertentu. Sains sendiri menunjukkan bahwa molekul terdiri dari atom-atom, baik yang berunsur atom sama maupun berunsur atom berbeda. Atom terdiri inti atom dan kulit atom. Inti atom berisi proton, neutron. Kulit atom berisi elektron. Bila atom kita zoom sebesar lapangan sepak bola, inti atom kurang lebih hanya sebesar biji kelereng. Bagian yang paling besar dari atom adalah ruang hampa. Bila kita teliti inti atom terdiri dari quark. Bila quark sebesar bola basket maka atom ini kurang lebih sebesar tata surya kita. Hanya quark-lah yang memenuhi keempat interaksi gaya fundamental alam semesta yaitu gaya elektromagnetik, gaya gravitasi, gaya nuklir kuat dan gaya nuklir lemah. Bila kita terus menjelajah ke sesuatu yang lebih kecil dari quark kita sedang memasuki alam semesta kuantum yang mana quark yang superkecil tersebut merupakan vibrasi energi dalam frekuensi tertentu. Hingga kemajuan sains dan teknologi saat ini, batas yang bisa kita ketahui adalah planck lenghth, 10 pangkat -35 meter. Selebihnya kita akan ketemu yang namanya medan titik nol (zero point field) dimana ruang, waktu, materi, energi dan informasi lenyap dan sudah tidak eksis lagi. Diluar jangkauan yang bisa diserap pancaindera. Di medan titik nol (zero point field) hanya kekosongan/noumena/unknown/suwung yang tidak teridentifikasi oleh pengetahuan manusia yang terbatas namun paradoksnya menjadi daya hidup, esensi dan manifestasi segala fenomena di alam semesta.
Bila kita coba menjelajah makrokosmos alam semesta mulai dari bumi, tata surya, galaksi, oort cloud, local interstellar cloud hingga observable universe maka kita semakin menyadari sumber serta perwujudan tak terbatas/infinity keberadaan dan ketidakberadaan alam semesta. Di level local interstellar cloud ini sudah tidak bisa menggunakan satuan kilometer (km) untuk mengukur jarak namun menggunakan kecepatan cahaya yang kurang lebih sebesar 1 miliar km/jam (1.079.252.848 km/jam). Dengan kecepatan cahaya butuh sekitar 4 tahun lebih, untuk kita sampai ke bintang Alpha Centauri, bintang terdekat Matahari. Jarak dari ujung ke ujung local interstellar cloud kurang lebih 30 tahun cahaya. Kemudian kita menjelajah lagi yang lebih luas yakni galaksi Milky Way/Bima Sakti, dimana matahari dan bumi kita berada. Ada sekitar 100-400 miliar bintang di galaksi Bima Sakti ini. Namun galaksi hanyalah 1 dari sekitar 54 galaksi di local group dan local group hanyalah 1 dari sekitar 2000 galaksi di Virgo supercluster yang jaraknya dari ujung ke ujung sekitar 110 juta tahun cahaya. Virgo supercluster sendiri hanyalah bagian yang sangat kecil dari Laniakea supercluster. Ada sekitar 100 ribu galaksi di Laniakea supercluster ini yang jaraknya dari ujung ke ujung sekitar 520 juta tahun cahaya. Dan Laniakea supercluster ini hanyalah setitik debu dari observable universe, alam semesta yang bisa kita observasi. Hanya sepanjang yang kita ketahui, ada sekitar 2 Triliun galaksi dari observable universe ini. Ini baru alam makrokosmos yang bisa observasi. Selebihnya kita akan ketemu yang namanya medan titik nol (zero point field) dimana ruang, waktu, materi, energi dan informasi lenyap dan sudah tidak eksis lagi. Diluar jangkauan yang bisa diserap pancaindera. Di medan titik nol (zero point field) hanya kekosongan/noumena/unknown/suwung yang tidak teridentifikasi oleh pengetahuan manusia yang terbatas namun paradoksnya menjadi daya hidup, esensi dan manifestasi segala fenomena di alam semesta.
Dari medan titik nol (zero point field) ini muncul empat gaya fundamental alam semesta yaitu gaya elektromagnet, gaya gravitasi, gaya nuklir kuat dan gaya nuklir lemah. Dari medan titik nol (zero point field) ini fluktuasi di level kuantum dan menjadi esensi dan manifestasi alam semesta. Semua hal di alam semesta tidak bisa terlepas dari medan titik nol (zero point field) ini. Bila Dongshan He dan team risetnya membuktifkan secara matematis bahwa alam semesta muncul secara spontan akibat fluktuasi di level kuantum dari medan titik nol (zero point field). Sejujurnya kita manusia tidak menggerakkan fluktuasi di level kuantum dan memanifestasikan alam semesta yang sedemikian kompleks dan indah ini. Hal ini semakin membuat kita menyadari dibalik alam semesta holografik yang bersifat relatif dan ilusif, hanya ada satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Ada semacam kesadaran murni yang bersifat transenden sekaligus imanen dalam arti tidak bergantung pada alam semesta yang terbatas dalam ruang, waktu, materi, energi dan informasi namun meresapi apa pun yang ada. Tak ada tempat di dunia ini di mana tidak ada kehadiranNya di situ.
Bila kita terus mengamati alam semesta baik mikrokosmos maupun makrokosmos, ada empat gaya fundamental yang diatur dengan tepat di alam semesta ini yakni elektromagnet, gravitasi, gaya nuklir kuat, dan gaya nuklir lemah. Setiap objek di alam semesta dipengaruhi oleh gaya-gaya ini. Keempat gaya ini diatur secara tepat dan seimbang sehingga perubahan sekecil apa pun akan melenyapkan alam semesta kita. Stephen William Hawking fisikawan teoretis, kosmolog, pengarang, dan Direktur Penelitian Centre for Theoretical Cosmology di Cambridge University dalam bukunya A Brief History of Time, menyatakan, “Jika laju pengembangan setelah 'dentuman besar (big bang)' itu satu detik lebih kecil dari waktu yang seharusnya bahkan lebih kecil dari 10^-43 detik setelah Big Bang, maka alam semesta akan hancur sebelum pernah mencapai ukurannya sekarang.” Di sisi lain alam semesta secara keseluruhan merupakan sistem terisolasi yang dipengaruhi Hukum Entropi. Hukum Entropi menyatakan bahwa entropi suatu sistem terisolasi dalam kesetimbangan termodinamika selalu meningkat atau dengan kata lain pada kondisi normal tanpa gangguan, semua sistem cenderung menjadi tidak teratur, tersebar dan bahkan rusak dengan caranya masing-masing seiring dengan berjalannya waktu. Namun pergerakan semua benda baik dalam skala makrokosmik maupun mikrokosmik terus beredar dan bergerak dengan tetap terus terjaga dalam momentum yang pas selama jangka waktu sekitar 13,75 ± 0.11 miliar tahun umur alam semesta, bahkan perubahan lebih kecil dari 10^-43 detik pun tidak ada. Professor John Polkinghorne, fisikawan dari Cambridge University, menyampaikan, ”Apabila kita menyadari bahwa hukum-hukum alam yang diatur secara tepat menghasilkan alam semesta seperti yang kita lihat, kita pun jadi berpikir bahwa alam semesta tidak mungkin terjadi dengan sendirinya, tetapi harus ada suatu kesadaran kehidupan di balik itu semua.” Nikola Tesla, fisikawan dan inventor menyampaikan “My brain is only a receiver, in the universe there is a core from which we obtain knowledge, strength and inspiration. I have not penetrated into the secrets of this core, but I know that it exists.” Ada "core" kehidupan, ada satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua yang menjaga keseimbangan alam semesta.
Bila kita coba mengenal dan mengamati tubuh kita, kita saksikan tubuh kita tersusun dari organ-organ. Ada organ dalam seperti otak, jantung, paru-paru dan lambung. Ada organ luar seperti tangan, kaki dan kulit. Organ tersusun dari jaringan sel. Setiap 1 kg tubuh manusia kurang lebih tersusun dari 1 triliun sel. Setiap sel adalah makluk hidup yang bisa berdiri sendiri dan melakukan aktivitas hidup seperti mengasup nutrisi, bergerak dan berkembang biak. Tubuh ini seperti kumpulan makhluk hidup. Sel terdiri nukleus (inti sel), sitoplasma (cairan sel) dan sitoskeleton (kerangka sel) dan membran (dinding sel). Nukleus (inti sel) adalah bagian terpenting sel karena nukleus (inti sel) adalah pusat kecerdasan yang mengatur seluruh aktivitas sel seperti mengontrol informasi genetis, sintesis protein dan pertumbuhan sel. Lebih kecil dari sel adalah molekul seperti molekul air, molekul protein, molekul lemak. Sel adalah makhluk hidup. Molekul sudah bukan makhluk hidup. Jadi peralihan dari yang mati ke yang hidup sebenarnya ada di level sel, lebih spesifik di nukleus (inti sel). Sejujurnya kita manusia yang memiliki sel tersebut tidak membuat terjadi peralihan dari yang mati di level molekul kepada yang hidup di level sel. Hal ini semakin membuat kita menyadari adanya satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua yang membuat terjadi peralihan dari yang mati di level molekul kepada yang hidup di level sel.
Bila kita telaah lebih lanjut, di dalam intisel ada kromosom yakni suatu molekul DNA (deoxyribo nucleic acid) yang berkelindan membentuk kode-kode genetika A-C-G-T dan mengandung sebagian atau seluruh materi genetik suatu organisme. Kode-kode genetika A-C-G-T ini seperti huruf yang ketika disusun membentuk makna. Contohnya kata bahagia, tersusun atas huruf b-a-h-a-g-i-a. Huruf b, a, h, g dan i tidak bermakna ketika sendiri, namun ketika tersusun menjadi b-a-h-a-g-i-a jadi bermakna. Kata dengan kata disusun menjadi kalimat. Kalimat dengan kalimat disusun menjadi frasa, paragraf, bab, artikel, jurnal bahkan buku. Dalam konteks gen kumpulan huruf-huruf atau kode-kode tersebut disebut kode genetika. Ada sekitar 3 milyar kode genetika yang membentuk sistem informasi dalam diri manusia. Warna rambut, warna kulit dan semua bentuk tubuh, instruksi desainnya dari sistem informasi kode genetika. Sejujurnya kita manusia yang memiliki kode genetika yang begitu kompleks ini tidak membentuk sistem informasi genetika tersebut di dalam diri kita sendiri. Hal ini juga semakin membuat kita menyadari adanya satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua yang membentuk sistem informasi kode genetika serta memberikan instruksi desain warna rambut, warna kulit dan semua bentuk tubuh di dalam diri kita dan semua makhluk hidup.
Argumentasi bahwa kehidupan alam semesta yang bersifat ilusif, relatif dan holografik ini terjadi dengan meniadakan satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua justru tidak rasional. Obsesi untuk menggantikan peran "Ketuhanan" dan menggambarkan hidup dan kehidupan dalam satu kata atau satu teori yang tidak saling kontradiksi hukum alamnya dengan sebutan theory of everything (ToE), penyelesaiannya selalu merujuk kepada Godel's Incompleteness Theorem. Godel's Incompleteness Theorem yang dibuktikan oleh Kurt Gödel, ahli logika matematika dari Austria, pada tahun 1931, menyatakan bahwa untuk membuktikan bahwa sesuatu benar, maka akan selalu membutuhkan hal lain. Satu contoh, himpunan X berisi seluruh himpunan. Himpunan X sendiri tidak masuk di dalamnya, maka makna "seluruh himpunan" di situ gagal terbukti. Agar X masuk ke dalam koleksi “seluruh himpunan”, maka kita butuh himpunan Y untuk melingkupi dan isinya X. Hal ini terulang untuk himpunan Y. Himpunan Y berisi seluruh himpunan. Himpunan Y sendiri tidak masuk di dalamnya, maka makna "seluruh himpunan" di situ gagal terbukti. Agar Y masuk ke dalam koleksi “seluruh himpunan”, maka kita butuh himpunan Z untuk melingkupi dan isinya Y. Hal yang sama akan terus terulang untuk himpunan Z. Teorema ketidaklengkapan Godel memberi implikasi bahwa realitas itu “konsisten” atau “lengkap”. Tidak bisa keduanya “konsisten dan lengkap” pada waktu yang bersamaan, kecuali jika memakai level absolute-infinity yang lebih tinggi (higher absolute-infinity) dari realitas tersebut. Berdasarkan analisis sains realitas harus konsisten, karena jika tidak, maka tidak mungkin akan ada eksistensi realitas. Hal ini dikarenakan dua eksistensi yang tidak konsisten, atau berkontradiksi satu sama lain, merupakan suatu kemustahilan. Teorema ketidaklengkapan Godel juga memberikan implikasi bahwa mustahil sains dapat menjelaskan realitas dengan tuntas. Untuk mengatasi fenomena ketidaklengkapan dari realitas ini, level absolute-infinity yang lebih tinggi (higher absolute-infinity) dari realitas tersebut mutlak diperlukan. Implikasinya adalah mustahil alam semesta ini terjadi dengan sendiri tanpa adanya satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua yang bersifat ilusif, relatif dan holografik ini. Matematika dan sistem sains yang dibangun di atasnya akan selalu tidak lengkap dan tidak konsisten, selalu memiliki lubang kerapuhan. Suatu keniscayaan bila ada satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua, yang tidak saling kontradiksi hukum alamnya, lengkap sekaligus konsisten serta tidak memiliki lubang kerapuhan.
Apa yang disampaikan oleh Professor John Polkinghorne, Kurt Godel dan Nikola Tesla tersebut adalah "fine tuning argument" untuk mengakui adanya satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Inilah sejatinya "Ketuhanan". Walaupun argumentasi ini kuat, namun mengetahui argumentasi ini belum tentu membuat orang jadi ber"Ketuhanan". Karena bila masih di level panca indera dan pikiran hampir selalu debatable. Sedangkan ber"Ketuhanan" bersifat personal spiritual yang mendasarkan petunjuk dan kebenaran (hidayah) menggunakan pendekatan epistemologi metafisik yang mana hukum-hukum kausalitas fisik yang diserap pikiran sudah terputus dan tidak berlaku lagi. Sebagaimana disampaikan di atas bahwa ada beberapa tingkatan (level) kesadaran atas kebenaran mulai dari level kesadaran panca indera (ainul yaqin), level kesadaran sains ('ilmul yaqin) dan level kesadaran spiritual (haqqul yaqin). Ber"Ketuhanan" ada di level kesadaran spiritual (ainul yaqin) yang mendasarkan "keberadaan" menggunakan pendekatan epistemologi fisik dan metafisik yang diserap oleh kesadaran murni. Sudah tidak berdasarkan fenomena yang dibatasi oleh ruang, waktu, materi, energi dan informasi namun sudah berdasarkan noumena yang tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi.
Jika kita tidak mengetahui hal-hal di luar diri kita dan kita melewatkannya, its ok. Namun jika proses perwujudan diri kita ini berdenyut dan bertumbuh di dalam diri kita mulai dari medan titik nol (zero quantum field), gaya fundamental, quark, proton, neutron, elektron, atom, molekul hingga ke sel, susunan DNA, organ dan tubuh apakah kita tidak menyadarinya? Sejujurnya setiap sel di dalam tubuh melakukan aktivitas kompleks bukan karena kita. Pergerakan komplek fluktuasi kuantum, gaya fundamental, quark, proton, elektron, neutron, atom molekul hingga ke sel, susunan DNA, organ dan tubuh sejujurnya bukan kita yang melakukannya. Padahal esensi dan manifestasi alam semesta berfungsi melalui itu. Jika satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua ini hadir di dalam diri kita, memancarkan semua itu dan kita melewatkannya, bukankah ini seperti orang buta sejak lahir dan tidak mengetahui gelapnya warna hitam, padahal mengalami gelapnya warna hitam setiap detik. Yang buta bukan mata fisiknya namun mata kesadaran murninya yang tertutupi (ter-hijab). Jika kita manusia masih begitu sombongnya dengan mengatakan bahwa "apa sih yang tidak bisa diciptakan manusia?" maka mengapa ketika daya hidup sudah sampai kerongkongan kita tidak bisa mengembalikan daya hidup itu? Padahal kita melihat proses kematian itu. Silahkan datangkan semua sains dan teknologi, datangkan semua ilmuwan, datangkan semua kekuasaan dan kekayaan untuk mengembalikan daya hidup itu jika kita merasa tidak memerlukan satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua.
Rollin McCraty, PhD, Director of Research of the Institute of HeartMath bersama peneliti lainya menyampaikan bahwa di sistem limbik otak kita, disamping ada bagian rasio (hippocampus) namun juga ada bagian rasa (amygdala) yang bisa menyerap gelombang elektromagnet yang memancar di alam semesta. Kemudian ada yang disebut brain heart axis atau poros otak jantung yang bekerja baik secara hormonal maupun radiatif. Gelombang elektromagnetik jantung (heart) bersifat meng-amplifier gelombang elektromagenetik otak (brain). Dengan menyadari kesadaran murni kita maka otak (brain) dan jantung (heart) yang berada disekitar dada yang menghasilkan medan elektromagnetik tubuh yang lebih kuat dan berirama luas yang mampu mengakses di luar batasan fisik dan pikiran kita. Dalam hal komponen medan listrik, komponen medan listrik jantung sekitar 60 kali lebih besar dalam amplitudo dibandingkan komponen medan listrik otak dan menembus setiap sel dalam tubuh. Dalam hal komponen magnetik, komponen medan magnet jantung (heart) 5000 kali lebih kuat dari medan magnet otak dan dapat dideteksi beberapa meter jauhnya dari tubuh dengan sensitif magnetometer. Data baru dalam beberapa penelitian Institute of HeartMath menunjukkan bahwa jantung (heart) terlibat langsung dalam persepsi intuitif yang bisa mengakses noumena di luar batasan fenomena ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Dalam desain eksperimen yang ketat ditemukan bukti kuat bahwa jantung (heart) menerima informasi intuitif ini sebelum otak (brain) dan dapat mengakses energi yang lebih halus dan informasi tentang objek dan peristiwa jauh di alam semesta bahkan bisa menembus noumena diluar batasan fenomena ruang, waktu, materi, energi dan informasi kita. Disebut oleh Karl H. Pribram, seorang profesor emeritus psikologi dan psikiatri di Stanford University sebagai "domain spektral", this is thought to be the basis for our consciousness of “the whole.”
Kedua, pertanyaan selanjutnya untuk "Ketuhanan" sendiri, apakah keberadaanNya bisa dibuktikan secara ilmiah ?
Penjelasan atas jawaban pertanyaan pertama di atas menunjukkan tanda-tanda Ketuhanan dan keberadaanNya. Namun untuk "Ketuhanan" sendiri apakah bukti ilmiah bahwa "Ketuhanan" itu ada? Dianalogikan seperti pikiran tentang uang sebesar Rp 500.000 yang tertata rapi dalam dompet, apa bukti ilmiah bahwa memang ada uang sebesar Rp 500.000 memang ada tertata rapi dalam dompet?
Bila kita memahami bahwa sebenarnya tidak ada keterpisahan antara "Ketuhanan", diri dan kehidupan maka pertanyaan ini tidak diperlukan bahkan ini pertanyaan yang salah memahami "Ketuhanan". Pertanyaan ini secara tersirat menganggap Ketuhanan adalah sosok yang terpisah dengan diri kita dan kehidupan. Ketika diri kita sudah menyadari pengalaman kehidupan baik secara audio, visual dan kinestetik sejatinya diri kita sudah mengalami "Ketuhanan" dan tidak diperlukan bukti lagi. Terkait esensi dzat "Ketuhanan", secara logika tidak mungkin satu yang mutlak (absolute) dan tidak terbatas (infinite) menampakkan diri dan diserap oleh pancaindera yang bersifat maya (illusive) dan terbatas (relative) lalu disebut 'terbukti' serta bisa dipersepsikan secara fisik/empiris. Sungguh tidak mungkin pikiran yang maya (illusive) dan terbatas (relative) bisa membuktikan secara ilmiah Tuhan yang mutlak (absolute) dan tidak terbatas (infinite). Ketika “Tuhan” dinyatakan sudah ‘terbukti’ dan bisa didefinisikan dalam fenomena ruang, waktu materi, energi dan informasi maka sudah tidak bisa disebut “Ketuhanan” lagi dalam arti "Ketuhanan" dengan noumena yang sebenarnya. Bila kita cermati lebih dalam terdapat keterbatasan berpikir dalam metode ilmiah. Dalam metode ilmiah, segala sesuatu termasuk Ketuhanan dipersepsikan fisik/empiris, yang harus dibuktikan dengan metode ilmiah. Sains sendiri merupakan kombinasi antar epistemologi empirisme dan rasionalisme. Di mana teori kebenaran korespondensi dan koherensi di sintesakan dalam bentuk teori kebenaran ilmiah. Pengetahuan yang diperoleh sains hanya dibatasi pada bidang fisik/empiris. Secara ontology sains hanya beorientasi kepada obyek fisik/empiris sedangkan obyek metafisis tidak dapat diterapkan secara valid. Kita tidak bisa terus bertahan dan bergantung dengan supremasi sains dan metode ilmiah untuk mendapatkan kebenaran spiritual (haqqul yaqin). Sains dan metode ilmiah hanya menunjukkan tanda-tanda atas keberadaan "Tuhan" di alam semesta. Namun sains dan metode ilmiah tidak mungkin bisa menguji "Ketuhanan" yang mutlak (absolute) dan tidak terbatas (infinite).
Tidak terlihat bukan berarti tidak ada, tidak terbukti secara ilmiah bukan berarti itu tidak ada. Ini adalah logical fallacy yang berupa argumentum ad ignorantiam, menganggap Ketuhanan tidak ada karena tidak terlihat atau tidak terbukti secara ilmiah, atau menganggap Ketuhanan itu hanyalah god of the gaps ketika sains dan teknologi belum masuk ke ranah itu. Ini bukan god of the gap karena selama dalam koridor manusia dan alam semesta yang maya (illusive) dan terbatas (relative), mau pengetahuan sains dan kemampuan teknologi secanggih apapun, bila masih mendasarkan petunjuk dan kebenaran hanya dengan pikiran maka ruang 'god of the gap' itu akan selalu ada. Untuk alam semesta yang maya (illusive) dan terbatas (relative) ini saja, masih banyak sekali hal yang tidak kita ketahui bukan? Apalagi menjangkau yang absolute (mutlak) dan tidak terbatas (infinite). "Ketuhanan" sejatinya tidak bisa diinderakan manusia, tidak mengenal batasan dan tidak bisa disamakan/diserupakan dengan apapun juga. "Ketuhanan" yang sebenarnya, tidak bisa di define/dibatasi dalam ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Sifatnya adalah mutlak (absolute) dan tidak terbatas (infinite) dan tidak ada sesuatupun yang menyamaiNya (laitsa kamistlihi/tan keno kinoyo ngopo). "Ketuhanan" yang sebenarnya, bersifat “the undefined”, tidak bisa diberikan batas-batas atau dikurung dalam kategori apapun. Kita tidak akan bisa mendefinisikanNya atau membatasiNya. Bila masih bisa didefinisikan, dikurung dalam kategori, diberikan batas-batas dalam ruang waktu, materi, energi dan informasi maka itu di sebut makhluk, bukan Ketuhanan. Bilang bahwa akan beriman kepada Ketuhanan kalau melihat dengan kasat mata secara materi atau bisa dibuktikan secara ilmiah, ini hanya prank saja. Kalaupun Ketuhanan menampakkan diri seperti obyek 3 (tiga) dimensi, walaupun ini tidak mungkin, belum tentu juga beriman. Berapa banyak Rasul, Nabi dan orang-orang tercerahkan menunjukkan kebenaran dan mukjizat Ketuhanan dengan kekuatan di luar batas kemampuan manusia seperti menghidupkan orang mati misalnya, namun ditertawakan, dituduh sihir dan dibunuh.
Tidak semua hal harus dipahami dan tidak semua hal bisa diterima pikiran. Kenikmatan hidup tidak hanya ketika kita mengetahui, namun ketika kita tidak mengetahui dan menjalani proses misterinya itu juga kenikmatan hidup. Yang penting itu tidak hanya pengetahuan, ketidaktahuan itu juga penting. Berapa banyak kita dapati orang yang terlalu banyak mengetahui justru semakin menderita oleh pengetahuannya sendiri. Ketika kita sudah membaca semua literatur di dunia ini, bahkan hidup 1000 tahun untuk melakukan penelitian ilmiah, masih jauh lebih banyak hal yang tidak kita ketahui atas alam semesta yang relative ini, belum lagi yang diluar jangkauan pikiran dan metode ilmiah. Pengetahuan kita terbatas, sebaliknya ketidaktahuan kita sebenarnya tidak terbatas. Dan seringkali kita tidak menyadari bahwa pemahaman yang kita anggap kebenaran adalah kesalahan yang tidak kita pahami. Sesungguhnya, kecerdasan manusia berada dalam kondisi terbaiknya ketika menyadari bahwa dirinya tidak tahu. Ketika kita menyadari "saya tidak tahu" kita rendah hati, seperti gelas kosong akan mudah di isi, kita akan curious memperhatikan, kita tidak akan berdebat atau berkelahi dan kecerdasan kita akan jauh lebih aktif. Jika kita berpikir bahwa kita orang pandai bagaimana mungkin akan di isi ilmu dan kebenaran? Kesombongan intelektual membuat diri kita akan selalu ramai dengan ribuan pikiran yang melintas dan terus akan berputar yang sebenarnya banyak memori sampah dan data lama yang tidak banyak berguna dalam kehidupan. Maha Suci "Ketuhanan" yang menjadikan jalan bagi kita untuk mengenalNya melalui ketidakmampuan kita mengenalNya melalui gagasan kita, pikiran kita, konsep kita, metode ilmiah kita, imajinasi kita yang terbatas kecuali me"nol"kan ego kita, identitas kita dan semua fenomena kita hingga fana, anicca, larut, hilang, melebur dalam noumena dan menyatu dengan-Nya.
Proses ber"Ketuhanan" sendiri tidak cukup hanya menggunakan pikiran. "Ketuhanan" sejati bukan produk pikiran. Pikiran hanya memberikan tanda-tanda "Ketuhanan". Memahami "Ketuhanan" hanya dengan mengandalkan pikiran justru akan membatasi pemahaman kita tentang "Ketuhanan". Pikiran hanya mengantarkan pada pengakuan atas adanya "Ketuhanan" melalui tanda-tandaNya di alam semesta dan tubuh kita. Noumena "Ketuhanan" tidak bisa ditangkap oleh kesan-kesan inderawi bahkan tidak bisa dijangkau oleh rasio yang kapasitasnya dibatasi fenomena ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Tidak bisa di logika atau dijangkau dengan cara berpikir seperti obyek 3 (tiga) dimensi. Bila menggunakan pikiran saja, akan terjadi dualisme epistemologis, yaitu pemisahan antara Ketuhanan dan kehidupan. Padahal dalam konsep wujud "Ketuhanan" yang absolute sempurna dan tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi, harusnya tidak ada pemisahan antara Ketuhanan dan kehidupan karena merupakan satu keutuhan. Bila hanya mengandalkan pikiran, akan ada jurang lebar antara "Ketuhanan" dan kehidupan. Hal ini justru mereduksi konsep absolute-infinite sempurna "Ketuhanan" yang tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi serta menganggap "Ketuhanan" hanya sebatas sosok pencipta dan penggerak awal alam semesta setelah itu tidak melakukan apa-apa atau seperti tukang bangunan yang berada di luar karyanya.
Untuk memahami alam semesta tidak cukup hanya dengan pendekatan empiris dan mendasarkan pada panca indera dan kecerdasan pikiran. Kecerdasan pikiran hanya berkontribusi sekitar 12% bagi kehidupan, selebihnya ditentukan kecerdasan lain. Kecerdasan pikiran (thinking mind) seringkali melekat dengan ego, ambisi, memori, ketakutan dan kekhawatiran. Mendasarkan petunjuk dan kebenaran hanya dengan pikiran sering membuat hampa dan tersesat. Seringkali justru kecerdasan spiritual-lah yang lebih kuat dan berani untuk menjadi “kompas” pengambilan keputusan arah dan langkah kehidupan kita pada kehidupan yang lebih sadar, bahagia dan bermakna. Blueprint koordinat kita manusia adalah makhluk spiritual yang memiliki sifat utama keberlimpahan, cinta dan kebahagiaan. Ber"Ketuhanan" bukanlah pilihan, namun kehidupan ber"Ketuhanan" itu adalah jati diri kita yang sebenarnya. Hanya saja tidak kita sadari. Semua arah hidup manusia, disadari atau tidak disadari, sukarela atau terpaksa defaultnya tidak akan pernah lepas dari Ketuhanan. Namun pengalaman ber"Ketuhanan" tersebut banyak terhijab dan terdistraksi riuhnya ego, keinginan, hawa nafsu serta ilusi fenomena duniawi. Ber-"Ketuhanan" adalah menjadi diri sejati kita, mengalami perwujudanNya dalam kehidupan, mengalami esensi dan manifestasi keberlimpahan, cinta dan kebahagiaan dalam kehidupan. Inilah tujuan diatas tujuan semua kehidupan kita. Bila kita sadari lebih lanjut, kecerdasan pikiran kita tidak akan begitu berarti lagi dalam 20-30 tahun mendatang, karena komputer dan teknologi artificial intelligent (AI) dapat menjelajah semua permutasi dan kombinasi lebih cepat dan lebih baik daripada yang dapat pikiran manusia lakukan. Ada dimensi kecerdasan lain yang jauh lebih tinggi daripada pemikiran kita, intelektual kita, bahkan imajinasi kita, yakni dimensi kecerdasan spiritual. Jika kita sadar bahwa kita bodoh dan tidak mengetahui apapun di alam semesta ini kecuali hanya secuil, barulah kita menyadari betapa menakjubkan kehidupan ini. Maka perlahan ada jarak antara kesadaran murni diri kita dengan pikiran dan perasaan kita berikut proses psikologisnya. Diri kita mulai melepaskan kemelekatan terhadap ego, keinginan dan hawa nafsu berikut dinamika emosi yang mengikutinya. Diri kita akan hening dan jernih. Ketika diri kita hening dan jernih, kesadaran murni kita mulai bangkit dan hidup.
Pemahaman "keberadaan" menggunakan pendekatan epistemologi empiris - rasional adalah pemahaman bahwa "keberadaan" itu adalah segala sesuatu yang bisa diserap oleh pancaindera dan bisa dibuktikan secara ilmiah. Pendekatan ini selalu berorientasi pada fenomena obyek fisik. Pemahaman "keberadaan" menggunakan pendekatan epistemologi metafisik maka "keberadaan" itu adalah segala sesuatu yang bisa diserap dan dibuktikan oleh kesadaran murni. Sebagaimana sudah disampaikan di atas bahwa di sistem limbik otak kita, disamping ada bagian rasio (hippocampus) namun juga ada bagian rasa (amygdala) yang bisa menyerap gelombang elektromagnet yang memancar di alam semesta. Kemudian ada yang disebut brain heart axis atau poros otak jantung yang bekerja baik secara hormonal maupun radiatif. Gelombang elektromagnetik jantung (heart) bersifat meng-amplifier gelombang elektromagenetik otak (brain). Dengan menyadari kesadaran murni kita maka jantung (heart) yang berada disekitar dada yang menghasilkan medan elektromagnetik tubuh yang lebih kuat dan berirama luas dibandingkan medan elektromagnetik yang dihasilkan oleh otak (brain) yang berada di sekitar kepala mampu mengakses di luar batasan fisik dan pikiran kita. Dalam hal komponen medan listrik, komponen medan listrik jantung sekitar 60 kali lebih besar dalam amplitudo dibandingkan komponen medan listrik otak dan menembus setiap sel dalam tubuh. Dalam hal komponen magnetik, komponen medan magnet jantung (heart) 5000 kali lebih kuat dari medan magnet otak dan dapat dideteksi beberapa meter jauhnya dari tubuh dengan sensitif magnetometer. Data baru dalam beberapa penelitian Institute of HeartMath menunjukkan bahwa jantung (heart) terlibat langsung dalam persepsi intuitif yang bisa mengakses informasi di luar batas ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Dalam desain eksperimen yang ketat ditemukan bukti kuat bahwa jantung (heart) menerima informasi "intuitif" ini sebelum otak (brain) dan dapat mengakses energi yang lebih halus dan informasi tentang objek dan peristiwa jauh di alam semesta bahkan bisa menembus noumena di luar fenomena ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Karl H. Pribram, seorang profesor emeritus psikologi dan psikiatri di Stanford University menyebutnya sebagai "domain spektral", this is thought to be the basis for our consciousness of “the whole.”
Ketiga, mengalami "Ketuhanan" ?
Proses ber-"Ketuhanan" adalah proses spiritual, yakni proses kehidupan yang berkaitan dengan kesadaran murni sebagai kemampuan memahami sesuatu secara langsung (immediate knowledge) tanpa melalui gagasan kita, pikiran kita, konsep kita, metode ilmiah kita, imajinasi kita yang terbatas serta di luar proses mental pemikiran. Berkaitan erat dengan eksistensi kita. Sebenarnya mengalami "Ketuhanan" itu sederhana.. direct.. seketika..Pengalaman "Ketuhanan" adalah ketangkasan (knack) dalam menempatkan posisi. Apakah samudera timbul dan tenggelam seperti ombak? Tentu saja tidak, hanya ombaklah yang mengalami hal itu. Pengalaman Ketuhanan adalah berhenti...hening....dan akhirnya samudera sadar bahwa ia bukan ombak...ia adalah samudera yang melingkupi segala macam dinamika ombak. Dan pengalaman Ketuhanan adalah ketika samudera Kesadaran hadir seutuhnya sebagai samudera Kesadaran. Membuka kesadaran (open awareness), kembali ke sumbernya ombak dunia, tenggelam ke dalam samudera Kesadaran.
Semalam kita tidur, kita sadar bahwa semalam kita bermimpi atau tidak bermimpi. Walaupun kita tidur ternyata kesadaran kita tidak tidur padahal tidur adalah bentuk kematian kecil. Sekarang kita terjaga, kita sadar bahwa sekarang kita sedang membaca tulisan ini. Kita menyadari pikiran dan perasaan kita larut membaca tulisan ini. Kita menyaksikan gerakan pikiran dan perasaan muncul dan lenyap membaca tulisan ini dari huruf per huruf, kata per kata, kalimat per kalimat, paragraf per paragraf. Di antara gerakan pikiran dan perasaan ada kekosongan. Walaupun ada kekosongan pikiran, kesadaran kita tetap ada, yang menyaksikan tetap ada. Sekarang saksikan yang menyaksikan pikiran dan perasaan. Maka seketika penyaksian lenyap, hanya ada keberadaan (being). Apapun pikiran dan perasaan sadari bahwa kita adalah dasar dari pikiran dan perasaan itu. Kita adalah dasar dari semua. Kita adalah kekosongan itu sendiri. Pengalaman Ketuhanan adalah ketika kita tidak menjadi apapun atau siapapun. Seandainya sejak kecil kita tidak diberi nama dan identias maka kita hanya hidup... hanya hadir sebagai Ketuhanan. Itu bukan tentang pengalaman kesaktian, beraura kharismatik, berenergi super dan label-label identitas palsu yang dilekatkan kepada orang-orang tercerahkan. Pengalaman Ketuhanan adalah ketika kita hanya ada...tanpa ego, keinginan dan hawa nafsu menjadi siapapun atau memiliki apapun....Kesadaran bukan tentang kemenjadian..melainkan hadir sebagai keseluruhan.. just ordinary...
Sekarang sadari penglihatanmu atas background tulisan ini. Tunggu 1 (satu) menit. Apa yang terjadi? Apa yang ada? Hanya background putih. Hanya kehadiran. Hanya keberadaan. Sekarang sadari penglihatanmu atas tulisan ini. Tunggu 1 (satu) menit. Background putih tetap ada bukan? Tetaplah hadir di background putih, bukan huruf-huruf tulisannya. Kita akan menyadari bahwa background putih tetap ada. Ia adalah dasar semua tulisan berikut huruf-hurufnya. Ketuhanan adalah background/dasar/esensi semua "tulisan berikut huruf-huruf" semesta. Sekarang lihat kembali tulisan ini, lalu mata kita tutup. Gelap? Kosong secara visual? Tunggu 1 (satu) menit. Bukankah kita tetap bisa melihat kegelapan itu? Bukankah kita tetap bisa menyaksikan kegelapan itu? Bukankah kita tetap bisa menyadari kekosongan itu? Ada yang menyaksikan kegelapan itu...ada yang menyaksikan kekosongan itu, walaupun mata tidak bisa melihat. Sekarang telinga kita tutup. Sunyi? Kosong secara audio? Tunggu 1 (satu) menit. Bukankah kita tetap bisa mendengar suara kesunyian? Bukankah kita tetap bisa menyaksikan suara kesunyian? Bukankah kita tetap bisa menyadari suara kesunyian? Ada yang menyaksikan suara kesunyian itu...ada yang menyaksikan kekosongan itu, walaupun telinga tidak bisa mendengar. Lebih dalam lihatlah terus....dengarkan terus....seketika kita memahami bahwa yang dilihat dan yang melihat satu, yang mendengar dan yang didengar satu...utuh...tidak ada dualitas. Cukup hadir di posisi itu. Itulah pengalaman Ketuhanan. Satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Walaupun kita tidur, walaupun mata kita buta, walaupun telinga kita tuli, walaupun kita mati, ada yang telah ada, sedang ada dan selalu ada.
Proses ini terjadi, jika kita bercermin diri, membersihkan semua pendaman emosi kita. Mengalami "keheningan", "keselarasan" dan "penerimaan". Hening, bersih dari berhala-berhala dalam diri dengan menuhankan ego, akal, sains dan teknologi serta tuhan-tuhan palsu lainnya. Me"nol"kan ego dan kesombongan rasionalitas kita. Selaras diri dengan kehidupan alam semesta. Selaras dengan kehidupan alam semesta di semua tingkatan memberi kita petunjuk hukum-hukum alam semesta tentang apa yang sebaiknya kita lakukan dan bagaimana mendayagunakan kekuatannya. Ketika kita mampu menerima dan menyelami seluruh keadaan kehidupan dengan berbagai dinamikanya masuk ke medan pengalaman pikiran dan perasaan apa adanya maka di saat itu juga kita sedang ber"Tuhan". Pemahaman tentang "Tuhan" dapat disingkap melalui proses kesadaran murni. Dengan sifatNya sebagai satu/oneness yang sejati dalam kesatuan kehidupan, absolute dan menjadi sumber serta perwujudan tak terbatas/infinity kehidupan alam semesta, untuk bisa menyaksikan kejelasan “Tuhan” kita hanya bisa larut menghilang di dalamNya. Alam semesta yang relative ini akan lenyap dalam absolute nya "Tuhan". Bila kita melampaui tubuh dengan segala pernik-pernik dunia fisik fana yang kita kumpulkan, melampaui pemikiran dan akumulasi berjuta memori yang kita kumpulkan maka dengan kesadaran murni kita akan mampu mengalami, menguji dan menyaksikan "Tuhan" dengan kejelasan.
Pekerjaan spiritual terbesar adalah mencapai kemerdekaan dan bisa melepaskan "pressure" dari kemelekatan segala pernik-pernik dunia fisik fana pemikiran dan akumulasi berjuta memori yang kita kumpulkan. Melepaskan kemelekatan terhadap ego, keinginan dan hawa nafsu tersebut. Melepaskan keterikatan terhadap apapun termasuk dunia 3 (tiga) dimensi kita. Menundukkan dan menyerahkan ego, keinginan dan hawa nafsu di dalam diri serendah-rendahnya hingga berada dalam kondisi medan titik nol (zero quantum field). Menyadari diri kecil dan fana/sirna. Kita menjadi no thing, no body, no one, no time, no where. Semuanya sudah hilang. Semuanya sudah tidak ada. Kita bukan apa-apa. Kita bukanlah tubuh kita. Kita bukan siapa-siapa. Kita bukanlah nama kita. Kita bukanlah pekerjaan/karir kita. Kita bukanlah bisnis kita. Kita bukanlah status dan identitas kita. Kita bukanlah jabatan kita. Kita bukanlah kekayaan kita. Kita sejatinya tidak ada. Semua nama, ilmu, pekerjaan/karir, bisnis, pasangan, status, jabatan, kekayaan, kekuatan yang kita bangga-banggakan dan kita melekat dengannya, semua tidak ada nilainya. Semua tidak ada artinya. Semuanya sudah hilang. Semuanya sudah tidak ada. Flow, masuk di medan kuantum, dimana ruang, waktu, materi dan energi sudah tidak eksis lagi. Lepas dari dualitas merisaukan masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan. Lepas dari takut (khouf) dan sedih (huzn). Kita mengalami fana, kita lebur di dalam "satu/oneness yang sejati dalam kesatuan kehidupan, absolute dan menjadi sumber serta perwujudan tak terbatas/infinity kehidupan alam semesta". Kesadaran jiwa kita naik di level energi sangat tinggi, ekspansi menjadi everything, everybody, everyone, everytime, everywhere. Menyatu dengan segalanya dan mengakses sumber segala realitas. Berada dalam one consciousness. Mengalami ekstasi, ledakan suka cita, kedamaian, keikhlasan, rasa syukur, cinta kasih, rasa keberlimpahan serta pencerahan (hidayah) seakan terus menyirami tubuh dan jiwa kita. Lepas dari dualitas ketakutan (khouf) dan kesedihan (huzn). Menyatu dengan segalanya. Selanjutnya jiwa kita mengakses satu/oneness yang sejati dalam kesatuan kehidupan, absolute dan menjadi sumber serta perwujudan tak terbatas/infinity kehidupan alam semesta. Ini adalah pengalaman pencerahan. Mengenal diri sejati kita. Mengalami sejatinya kehidupan. Seperti setetes air yang menenggelamkan diri di samudera, larut dan menghilang bersama samudera serta memahami samudera dengan kejelasan. Namun setetes air bukanlah samudera. Wujud "Tuhan" tidak dapat dipersempit menjadi wujud alam, tapi alam adalah ungkapan empiris "Tuhan" yang berbeda dalam segala hal. Keberadaan "Tuhan" tidak bergantung pada alam semesta yang terbatas dalam ruang, waktu, materi, energi dan informasi namun meresapi apa pun yang ada. Tak ada tempat di dunia ini di mana tidak ada kehadiran "Tuhan" di situ. Ungkapan-ungkapan yang terkesan antropomorfis yang disampaikan orang-orang ber"Tuhan", seringkali itu adalah bahasa cinta yang diajukan sebagai upaya meng-imanensi-kan "Tuhan" dalam kehidupan, sehingga "Tuhan" dianggap teman/sahabat/bahkan kekasih yang bisa dirasakan kehadiran-Nya sangat dekat. Sama sekali bukan esensi dari Tuhan itu sendiri. "Tuhan" secara esensi bukan bersifat manusia/personal (antrophomorphisme) atau melekat pada hal-hal bersifat makhluk lainnya yang memiliki banyak keterbatasan, dilahirkan/dibentuk dan bisa sakit/rusak/mati.
Pada saat mengalami pengalaman pencerahan, mengenal diri sejati kita, mengenal "Tuhan", ledakan kebahagiaan, suka cita, kedamaian, keikhlasan, rasa syukur yang dalam, cinta kasih, rasa keberlimpahan, keseimbangan hidup, pertolongan dan dukungan semesta serta hidayah seakan terus menyirami tubuh dan jiwa kita. Pengalaman ini bukan tujuan dari spiritual atau ber"Tuhan". Pengalaman ini hanyalah side effect dari perjalanan kita menyatu dengan "Tuhan" dan menyaksikanNya melalui kesadaran murni kita dengan kejelasan/mengalami pencerahan. Puncak spiritual atau ber"Tuhan" adalah terlahir kembali menjadi sejatinya diri kita (be true to ourself) sebagai daya "Tuhan" yang bebas merdeka dan menebarkan banyak kebaikan/kemanfaatan kepada sesama/alam semesta (blessing others). Menjadi manusia merdeka, tanpa ada ketakutan (khouf/khoufun) dan kesedihan (hazn/yahzanun). Menjalani pengabdian (dharma/ibadah) dan pembelajaran hidup dengan penuh kenikmatan, sadar penuh hadir utuh dan bermakna. Ini bukan delusi sebagai jenis gangguan mental di mana penderitanya tidak dapat membedakan kenyataan dan imajinasi, sehingga ia meyakini dan bersikap sesuai dengan hal yang ia pikirkan sebagaimana yang dinyatakan Richard Dawkins. Karena sebagaimana disampaikan David R. Hawkins, M.D., Ph.D bahwa kesadaran keyakinan/pencerahan itu ada, scientific proven dan merupakan kesadaran yang sangat tinggi serta memiliki energi yang sangat kuat, berada pada level energi 700-1000 poin. Bahkan karena sangat kuatnya, kekuatan vibrasi, frekuensi dan energi 1 individu yang mengalami pencerahan di level energi 700-1000 poin ini setara dengan kekuatan 70-100 juta individu dengan kesadaran di level energi di bawah 200 poin. Manusia-manusia yang berada di level kesadaran tinggi ini sering berperan sebagai "pilar jagad" yang menjaga kedamaian manusia dan keseimbangan alam, terutama keseimbangan planet bumi dimana kita tinggal.
Dalam penelitian David R. Hawkins, M.D., Ph.D selama kurang lebih 29 tahun yang mengukur energi yang dikeluarkan manusia dalam skala kesadaran tertentu melalui tes kinesiologi ditemukan bahwa kesadaran manusia dan level energi yang dihasilkan bertingkat-tingkat mulai dari dari satuan 0 sampai 1000 poin yang mana skala kurang dari 200 poin disebut force dan skala lebih dari 200 poin disebut power. Manusia dengan tingkat kesadaran kurang dari 200 poin masih struggle dengan dirinya sendiri (contracted), seperti membenci diri sendiri, merasa sengsara, meratapi masa lalu, menyalahkan pihak luar dirinya, apatis, putus asa, terlalu needy, berlama-lama dalam kesedihan, banyak sekali trauma/luka batin/hambatan-hambatan emosi, mengkhawatirkan masa depan, sangat melekat pada ego, keinginan dan hawa nafsu, sangat terobsesi dan kompulsif. Bila ego, keinginan dan hawa nafsu tidak tercapai masuk dalam frustasi, marah dan kebencian. Bila ego, keinginan dan hawa nafsu tercapai masuk dalam membangga-banggakan diri, kesombongan dan pamer. Dan manusia dengan tingkat kesadaran lebih dari 200 poin mulai berkembang dengan baik (expanded), mulai letting go, merasa aman dan nyaman, mengambil tanggungjawab, berniat mengembangkan diri, merasa hidup bermakna, mau berkontribusi bagi kehidupan agar lebih baik, welas asih, memiliki abundance mentality dan loving kindness, merasa sangat bersyukur, flow dalam suka cita, kepuasan hidup, kedamaian dan keyakinan/pencerahan.
Tidak mudah mencapai kesadaran murni di level energi tinggi tersebut. Kotoran-kotoran jiwa sering jadi penghalang (hijab/distraction) kejernihan/keheningan kesadaran murni kita untuk menyaksikan Tuhan dengan jelas. Kotoran-kotoran jiwa itu di antaranya adalah : (1) Kemelekatan terhadap ego, keinginan dan hawa nafsu seperti terlalu cinta dunia, ambisi atas kekuasaan, keserakahan atas kekayaan, nafsu syahwat yang tidak terkendali, egois, suka pamer. (2) Prasangka buruk, kesombongan, kemarahan, kebencian, kejahatan, tidak bisa memaafkan. (3) Kemalasan, sampah-sampah emosi, luka-luka batin, dihantui perasaan bersalah dan penyesalan diri terus-menerus. (4) Kegelisahan, menyalahkan sana-sini, meratapi masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan, kesedihan berlarut-larut, overthinking atas hal-hal yang tidak penting, tidak mau dan tidak berani bertanggungjawab (5) Keragu-raguan, putus asa, rendah diri. Kotoran-kotoran jiwa (force/dun'ya) tersebut sering ramai dan antri di hati yang menahan naiknya jiwa kita ke level energi tinggi (power/akhirah) sehingga bisa mengakses satu yang absolute dan sumber segala realitas yang tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi.
Keempat, apakah manusia butuh "Ketuhanan"?
Tanpa Ketuhanan, kita semua ini tidak ada. Bila kita memahami bahwa sebenarnya tidak ada keterpisahan antara "Ketuhanan", diri dan kehidupan maka pertanyaan ini tidak diperlukan bahkan ini pertanyaan yang salah memahami "Ketuhanan". Pertanyaan ini secara tersirat menganggap "Ketuhanan" adalah sosok yang terpisah dengan diri kita dan kehidupan. Segala sesuatu di diri kita dan alam semesta ini adalah perwujudan "Ketuhanan". Jadi kita sebenarnya kita tidak butuh Tuhan sosok yang terpisah dengan diri kita karena sejatinya diri kita ini adalah "Ketuhanan" dan semuanya adalah perwujudan "Ketuhanan". Dan "Ketuhanan" sebenarnya tidak membutuhkan apapun di alam semesta. Tidak ada satupun di alam semesta ini yang lebih sejati, lebih hakiki, lebih besar daripada "Ketuhanan". Dia satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua. "Ketuhanan" tidak membutuhkan manusia dan alam semesta. Karena sejatinya diri kita manusia dan alam semesta ini adalah perwujudan "Ketuhanan". Mau ber"Ketuhanan" atau tidak, Dia akan tetap ada memancarkan diriNya. "Ketuhanan" sejati akan tetap memancarkan keberlimpahan karunia dan cintaNya ke seluruh penjuru alam semesta, ke seluruh makhluk walaupun seluruh makhluk di alam semesta ini mengingkariNya.
Susah dan senang, sukses dan gagal datang dan pergi, tapi saat roda hidup berputar ke bawah dan saat sesuatu menjadi buruk ber"Ketuhanan" membawa posisi kita di pusat roda dan memberi pegangan hidup tetap dalam kedamaian. Ber"Ketuhanan" membuat membawa kita ke zona energi tinggi, membuat kita berbuat baik dengan cinta tanpa syarat tanpa batas. Ber"Ketuhanan" membawa hidup kita sadar penuh, hadir utuh. Ber"Ketuhanan" memberi kita cinta untuk memeluk ego, keinginan dan hawa nafsu untuk tenggelam ke samudera kesadaran. Inilah kekuatan ber"Ketuhanan". Ber"Ketuhanam" membawa kita flow dan mengembangkan hal terbaik dalam diri kita untuk melayani sesuatu yang lebih besar diri kita sendiri. Saat kita mengembangkan hal terbaik dalam diri kita untuk melayani sesuatu yang lebih besar diri kita sendiri maka pembatas antara alam sadar dan alam bawah sadar terbuka. Dan kita akan lebih mudah (effortless) mencapai healing, success dan happiness. Namun sebaliknya ketika kita merasa hebat, mengandalkan diri kita sendiri dan hidup untuk diri kita sendiri maka ada pembatas yang kuat antara alam sadar dan alam bawah sadar. Ini seperti dinding yang menyulitkan kita (effortfull) mencapai healing, success dan happiness. Mau ber"Ketuhanan" atau tidak ber"Ketuhanan" kita tetap membutuhkan kesadaran ini.
Ber"Ketuhanan" bukan sekedar merubah pandangan dari Ketuhanan sosok parsial ke sosok universal. Bila demikian itu hanya perubahan kepercayaan. Ber"Ketuhanan" dan percaya Tuhan adalah kalimat yang secara esensi memiliki makna berbeda. Ber"Ketuhanan" tidak ada jarak antara diri kita, kehidupan dan "Ketuhanan" karena sudah benar-benar mengalami "Ketuhanan" di dalam diri dan kehidupan. Begitu kita sudah mengalami dan menyaksikan dengan jiwa raga (syahadah) maka sebenarnya tidak diperlukan lagi kepercayaan. Seperti kita sudah mengalami guyuran air hujan maka sebenarnya tidak diperlukan lagi kepercayaan kepada guyuran air hujan. Ketika kita mengalami "Ketuhanan" kita menyaksikanNya dengan kesadaran murni kita. Ber"Ketuhanan" membawa diri kita mengalami kemurnian, keikhlasan, kedamaian, kepenuhan, kekuatan, penuh kasih sayang, penuh keberlimpahan dan cinta, keseimbangan dan kebahagiaan. Inilah sebagian kecil dampak pengalaman ber"Ketuhanan".
Ber"Ketuhanan" mengungkap kembali sifat asli dan alami diri kita dalam setiap aktivitas dan interaksi di kehidupan yang sebenarnya sejak awal fitrahnya penuh Ketuhanan. Ber"Ketuhanan" mendongkrak pusaran energi kita dari pusaran energi rendah (force) ke pusaran energi tinggi (power). Ber"Ketuhanan" mempurifikasi hidup kita lepas dari dualitas ketakutan (khouf) dan kesedihan (huzn) serta segala derivatifnya. Mengalami ekstasi pencerahan, kemerdekaan dari kemelekatan belenggu ego, keinginan dan hawa nafsu, ledakan suka cita, kedamaian, keikhlasan, rasa syukur, cinta kasih, rasa keberlimpahan, pengabdian dan hidayah yang seakan terus menyirami, membersihkan dan mempurifikasi tubuh dan jiwa kita. Ber"Ketuhanan" menjaga pancaran energi murni dan tinggi dalam setiap aktivitas dan interaksi dalam kehidupan. Ber"Ketuhanan" adalah diri kita terlahir kembali menjadi true of our self diri kita, yaitu daya/citra Ketuhanan yang mamancarkan welas asih, pengasih dan penyayang, abundance and love, serta terus menjaga pancaran energi murni dan tinggi tersebut untuk memberi kemanfaatan/kebaikan bagi sesama/alam semesta (blessing others). Ber-"Ketuhanan" berarti hidup dalam kedamaian jiwa. Ekspresi jiwa yang damai biasanya tercermin dalam kehidupan yang mana kita bisa menikmati sensasi kebahagiaan di setiap moment, sadar penuh hadir utuh (mindfullness) dan menjalani hidup bermakna dengan baik dan benar. Kita tidak perlu meninggalkan perkataan dan perbuatan baik dan benar karena manusia (riya’/pamer) atau berkata dan berbuat baik dan benar karena manusia (syirik/menyekutukan satu yang absolute dan sumber segala realitas).
Dalam penelitian "A Diffusion Tensor Imaging Study of Brain Microstructural Changes Related to Religion and Spirituality in Families at High Risk for Depression" yang dilakukan Xuzhou Li dari Department of Psychiatry, Columbia University, New York, membuktikan bahwa ber"Ketuhanan" dan spiritualitas melindungi orang dari depresi. Terjadi korelasi yang signifikan antara korteks yang lebih tebal di daerah parietal dan oksipital bilateral pada orang yang memiliki spiritualitas tinggi. Penipisan kortikal di daerah parietal dan oksipital bilateral menjadi biomarker yang stabil untuk risiko depresi. Dan kita yang benar-benar ber-"Ketuhanan" saat berbuat baik apapun kepada siapapun tanpa motif/sponsor yang didasarkan ego (ego base). Orang-orang ber-"Ketuhanan" dalam berbuat baik tidak konsen dengan balasan orang terhadapnya. Bagi orang-orang ber-"Ketuhanan", balasan orang terhadapnya entah itu baik atau buruk adalah urusan orang tersebut dengan tanggungjawab atas identitas dirinya sendiri, tidak pernah urusan orang tersebut dengan orang-orang ber"Ketuhanan". Termasuk keberhasilan atau kegagalan dari setiap ikhtiar yang diusahakan orang-orang ber-"Ketuhanan", adalah tanggungjawab atas identitas dirinya sendiri. Karena itu orang-orang ber-"Ketuhanan" memilih identitasnya, meningkatkan kapasitas diri dan memantaskan diri menerima karunia yang terbaik bagi dirinya. Karena keterpisahan diri kita dan orang lain serta sukses dan gagal sejatinya adalah ilusi keterpisahan (duality). Sejatinya diri kita dan orang lain, sukses dan gagal adalah kesatuan, merupakan ekspresi "Ketuhanan" dalam kehidupan.
Ber-"Ketuhanan" artinya berkebebasan atau mengalami kemerdekaan. Sebagaimana disampaikan sebelumnya ada 2 (dua) kutub energi yang sangat besar yakni ketakutan/kegelisahan dan kesadaran/ketenangan. Hidup ini pilihan. Ber-"Ketuhanan" adalah memeluk kesadaran/ketenangan berikut ketakutan/kegelisahan sebagai satu paket dengan cinta tanpa syarat, cinta tanpa batas. Terlahir kembali sebagai manusia (manungso/manunggaling roso). Dari semua ratusan rasa negatif dan positif dalam diri kita menjadi satu, menjadi nol, tidak ada apa-apa. Tidak ada kesedihan, tidak ada kegelisahan. Tidak ada meratapi masa lalu, tidak ada mengkhawatirkan masa depan. Menikmati hidup sepenuh jiwa raga, here and now. Ber-"Ketuhanan" membuat kita "bebas" karena apa yang kita katakan atau kita perbuat murni tidak terkontaminasi dan melekat dengan belenggu ego, keinginan dan hawa nafsu pada hal-hal seperti uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran duniawi yang relative dan fana. Apapun yang tampaknya memberi kebahagiaan seperti uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran duniawi walau bagaimanapun sifatnya relative dan fana. Ada saatnya, cepat atau lambat akan rusak dan musnah atau dalam bahasa matematika sederhana menjadi nol kembali. Kita perlu menyandarkan hidup ini pada satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Hidup ber"Ketuhanan" adalah hidup yang stabil, bebas, damai, murni dan setiap moment adalah perayaan. Sehingga kebahagiaan yang diperoleh pun juga stabil, bebas dalam kedamaian, murni dan penuh suka cita. Uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran hakekatnya adalah angka 0 (nol). Karena kita lahir tidak membawa uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran serta kita matipun tidak membawa uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran. Dalam bahasa matematika sederhana satu/oneness dalam kesatuan kehidupan bisa kita sebut angka 1. Semua bilangan tersusun dari angka 1. Bilangan 2 tersusun dari angka 1 dan 1. Berapapun banyaknya jumlah angka nol yang kita miliki bila dijumlahkan hasilnya tetap nol. Namun uang yang nilainya nol, kekayaan yang nilainya nol, jabatan yang nilainya nol, pasangan yang nilainya nol dan ketenaran yang nilainya nol tadi begitu diberikan angka 1 yang utuh maka nol-nol tadi menjadi bernilai dan nilainya bisa menjadi 10, 100, 1000, 1 juta, 1 miliar, 1 triliun dan seterusnya hingga tak terbatas. Kita harus menempatkan angka 1 di depan, maka semua angka nol tersebut menjadi bernilai. Kita harus memprioritaskan satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua di depan, maka semua pernak-pernik dunia fana relative ini akan menjadi bernilai. Murni bersandar pada satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Tidak terkontaminasi dan melekat dengan belenggu ego, keinginan dan hawa nafsu pada hal-hal seperti seperti uang, kekayaan, jabatan, pasangan dan ketenaran yang relatif/terbatas, ilusif/maya dan holografis/hanya pancaran semu.
Bila Friedrich Nietzsche menyampaikan bahwa "Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya ..." atau Karl Marx menyampaikan "Agama adalah desahan dari makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tidak berperasaan dan kondisi jiwa dari jiwa. Itu adalah candu rakyat... " dalam arti bahwa Tuhan dan agama telah mencengkeram manusia dan melucuti semua potensi vitalnya, maka yang perlu ditanyakan adalah apakah Ketuhanan dan agama yang dipahami sudah benar? Karena banyak orang mengaku ber"Ketuhanan" dan beragama namun salah dalam memahami "Ketuhanan" dan agama. "Ketuhanan" dianggap sosok di luar diri kita dan kehidupan. Sehingga menyimpang jauh dari kebenaran sejatinya. Menggunakan sudut pandang positif terhadap pandangan Friedrich Nietzsche, untuk menghayati "Ketuhanan" yang sejati maka kita harus mematikan semua tuhan-tuhan sosok palsu. Karena apapun atau siapapun bisa dituhankan, seperti ego, keinginan, hawa nafsu, kekayaan, kekuasaan, orang suci, pohon, matahari, bintang dan sebagainya. Untuk menghayati "Ketuhan" kita perlu membuka kesadaran murni kita untuk menyaksikan Satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Menggunakan sudut pandang positif terhadap pandangan Karl Marx, harus kita akui banyak orang mengaku ber"Ketuhanan" dan beragama salah memahami sehingga terjebak dalam pemahaman fatalism, cenderung apatis dan kontraproduktif. Sebagaimana yang saya sampaikan di atas bahwa yang perlu dipahami kita manusia adalah makhluk dengan pribadi yang utuh, bukan robot. Dalam diri kita ada Kesadaran/Ketuhanan. Kehendak dan kuasa Ketuhanan terhadap manusia untuk perbuatan baik dan buruk berada pada pilihan identitas manusia sendiri, tanggungjawab ada pada manusia sendiri. Karena Kesadaran/Ketuhanan inilah terletak ketinggian martabat manusia.
Kelima, mengapa Ketuhanan menyembunyikan diriNya sendiri, membiarkan manusia menderita, tidak membantu manusia? Mengapa seolah Ketuhanan ‘diam’ melihat kejahatan dan kesengsaraan yang terjadi di dunia sekarang ini ? Apa peran Ketuhanan?
Bila kita memahami bahwa sebenarnya tidak ada keterpisahan antara "Ketuhanan", diri dan kehidupan maka pertanyaan ini tidak diperlukan bahkan ini pertanyaan yang salah memahami "Ketuhanan". Pertanyaan ini secara tersirat menganggap "Ketuhanan" adalah sosok yang terpisah dengan diri kita dan kehidupan. Yang perlu dipahami kita manusia adalah makhluk dengan pribadi yang utuh, bukan robot. Kita semua dan seluruh keberadaan di alam semesta ini adalah perwujudan "Ketuhanan". Ada sifat-sifat Ketuhanan dalam diri manusia dan alam semesta. Stop victim mentality ! Semua nasib kehidupan kita, kita sendiri yang bertanggungjawab sepenuhnya. Dalam diri kita ada Kesadaran/Ketuhanan. Kita bebas memilih identitas kita mau hidup bahagia atau hidup menderita, mau hidup kaya atau hidup miskin. Kehendak dan kuasa Ketuhanan terhadap manusia untuk perbuatan baik dan buruk berada pada pilihan manusia sendiri, tanggungjawab ada pada manusia sendiri. Karena Kesadaran/Ketuhanan yang ada dalam diri manusia inilah terletak ketinggian martabat manusia. Manusia bisa memilih dengan Kesadarannya mana yang baik, benar dan pantas untuk dilakukan dan mana yang tidak baik, tidak benar dan tidak pantas untuk dilakukan. Faktanya tidak semua manusia bisa mencapai kesadaran seperti ini. Secara mendasar otak primitive manusia selalu berusaha untuk meraih nikmat dan menghindari sengsara. Secara psikologi ini adalah bentuk self defence mechanism. Yang bila otak primitive manusia ini dituruti maka manusia akan terjebak pada kemelekatan terhadap ego, keinginan dan hawa nafsu yang bisa merusak diri sendiri, sesama dan lingkungan. Karena itu perlu petunjuk atau user manual dari satu/oneness yang sejati dalam kesatuan kehidupan, absolute dan menjadi sumber serta perwujudan tak terbatas/infinity kehidupan alam semesta. Perlu konsep universal tentang kebaikan (the absolute good), perlu wahyu, perlu kitab suci, perlu hukum, perlu reward dan punishment. Agar manusia tidak seenaknya sendiri dalam berkata dan berbuat yang bisa membawa dampak keburukan bagi makhluk hidup lain dan lingkungan. Agar kita tidak terjebak pada kebenaran subyektif dan relatif dimana kebenaranku berbeda dengan kebenaran dia atau kebenaran kita bukan kebenaran mereka. Agar kita tidak terjebak pada apa yang kita anggap benar padahal sejatinya adalah ketidakbenaran yang tidak kita sadari.
Yang perlu disadari bahwa seringkali penderitaan yang dialami manusia adalah getaran (vibration) pikiran dan perasaan sendiri atau akibat perkataaan dan perbuatannya sendiri. Default nya manusia dari sisi pikiran, emosi, energi dan fisik adalah makhluk kebajikan dan makhluk yang penuh kebahagiaan. Penderitaan yang kita alami sejatinya kita sendiri yang meng'attract'. Mengapa? Karena dalam diri manusia ada beliefs dan values yang itu membentuk automatic guidance system pada hidupnya. Seperti halnya peluru kendali (rudal), melakukan set up titik ordinat terlebih dahulu sebelum ditembakkan, beliefs dan values dalam diri manusia tersebut juga melakukan set up titik ordinat sukses dan gagalnya, bahagia dan deritanya serta sehat dan sakitnya. Dalam neurosains psychocybernetics hal ini disebut servo mechanism. Inilah sejatinya doa. Walaupun mulut kita komat kamit meminta sampai berbuih namun beliefs dan values dalam diri adalah gagal dan derita maka automatic guidance system yang terbentuk adalah gagal dan derita. Proses dan kebiasaan yang terbentuk adalah proses dan kebiasaan gagal dan derita, maka nasib kehidupan yang terbentuk adalah nasib kehidupan yang penuh kegagalan dan penderitaan. Begitupun sebaliknya, bila beliefs dan values dalam diri adalah sukses dan bahagia maka automatic guidance system yang terbentuk adalah sukses dan bahagia. Proses dan kebiasaan yang terbentuk adalah proses dan kebiasaan sukses dan bahagia, maka nasib kehidupan yang terbentuk adalah nasib kehidupan yang penuh sukses dan bahagia. Tuhan tidak merubah nasib kita bila kita tidak merubah apa yang ada di dalam diri kita sendiri, yakni beliefs dan values, mindset dan behavior serta habits kita.
"Tuhan" berperan dalam memancarkan diriNya ke seluruh realitas alam semesta, menjaganya serta memiliki peran esensial terhadap alam semesta. Karena didalam "Tuhan" tidak ada dualisme epistemologis, yaitu pemisahan antara manusia, alam semesta dan "Tuhan". Dalam konsep wujud "Tuhan" yang absolute sempurna dan tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi, manusia, alam semesta dan "Tuhan" merupakan satu kesatuan. Manusia dan alam semesta ini sudah cukup bagi dirinya sendiri, tidak membutuhkan agen luar yang terpisah. Manusia dan alam semesta ini sejatinya adalah manifestasi dari "Tuhan" itu sendiri. Seperti pesawat televisi, "Tuhan" terus memancarkan sinyalnya. Sesuai hukum-hukum alam semesta yang ada atau sesuai user guide dalam pesawat televisi, kita bisa memilih channel-channel apa yang mau kita alami dalam hidup ini. Mau channel bahagia atau channel menderita, mau channel sukses atau channel gagal. Namun apakah kita bisa mengalami channel-channel kehidupan dengan berbagai dinamikanya bila stasiun pemancar tidak memancarkan sinyalnya ? Apakah kita bisa menjadi manusia dengan segala dinamika realitasnya bila Tuhan sebagai sumber realitas alam semesta tidak memancarkan diriNya? Walaupun analogi pesawat televisi ini sangat tidak sempurna, sedikit membantu memahami "Tuhan", manusia dan alam semesta. Manusia adalah co-creator (khalifah) dalam sebagian proses penciptaan dan pemeliharaan alam semesta. Wujud hakiki alam semesta adalah wujud "Tuhan" yang menampakkan diriNya di alam semesta. Alam semesta dengan segala isinya adalah cermin bayangan Tuhan. Seluruh realitas alam semesta dengan segala isinya yang tampak, sejatinya adalah realitas Tuhan.
Pada quantum level kita semua adalah sekumpulan energi yang bergetar (vibrate) dengan frekuansi tertentu yang terhubung satu sama lain dan membentuk suatu bangunan atau satu tubuh energi raksasa "collective consciousness". Quantum berasal dari kata quanta adalah partikel terkecil yang merupakan bahan baku alam semesta. Pada tahun 1935, Albert Einstein dalam sebuah makalah bersama dengan Boris Podolsky dan Nathan Rosen merumuskan paradoks Einstein-Podolsky-Rosen (paradoks EPR), sebuah eksperimen fisika kuantum yang menunjukkan keterhubungan(entanglement) alam semesta. Fenomena keterhubungan (entanglement) ini memungkinkan dua atom, meskipun jarak memisahkan dua atom itu, untuk tetap terhubung seketika seolah ada sinyal yang mampu mempengaruhi keadaan mereka yang bergerak lebih cepat dari kecepatan cahaya walaupun secara kasat mata, tidak ada interaksi diantara keduanya. Riset terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature pada 21 Oktober 2015, Ronald Hanson dari Kavli Institute of Nanoscience di Delft University of Technology di Belanda merancang sebuah eksperimen bernama "loophole-free Bell test" yang berhasil membuktikan adanya "entanglement" antara dua elektron yang dipisahkan sejauh 1,3 kilometer. Setiap Jiwa, terhubung dengan tingkat kesadaran kolektif, di dalam "Diri Maha Tinggi". Kita semua adalah bagian dari keseluruhan (gestalt) "Energi Maha Besar".
Keenam, mengapa Ketuhanan menciptakan surga dan neraka? Mengapa Ketuhanan menciptakan manusia kalau hanya dimasukkan ke neraka?
Bila kita memahami bahwa sebenarnya tidak ada keterpisahan antara "Ketuhanan", diri dan kehidupan maka pertanyaan ini tidak diperlukan bahkan ini pertanyaan yang salah memahami "Ketuhanan". Pertanyaan ini secara tersirat menganggap "Ketuhanan" adalah sosok yang terpisah dengan diri kita dan kehidupan. Kita juga sering menganggap bahwa kehidupan ini "ruang tunggu" serta melakukan apologisme atas kebodohan dan ketidakberdayaan dengan mengatakan "tidak mengapa di dunia kita menderita asalkan di akhirat kita bahagia." Padahal sejatinya "Ketuhanan", kehidupan alam semesta, surga, neraka itu ada di sini di saat ini, tidak ada keterpisahan. Hadir utuh di Kesadaran, mengalami kenikmatan dan kebahagiaan sering disimbolkan dengan "surga". Tidak hadir utuh di Kesadaran, mengalami kepedihan dan penderitaan sering disimbolkan dengan "neraka". Surga dan neraka bukan fenomena geografis. Penggambaran surga-neraka di beberapa manuskrip kitab suci hanyalah untuk mendekatkan pemahaman logika manusia (litaqribil afham). Surga dan neraka sejatinya kita sendiri yang membangunnya. Bagi manusia dengan berhati surga, maka dunia ini dengan segala dinamikanya adalah surga, bahkan ketika mengalami kematian sekalipun dan naik ke dimensi alam yang lebih tinggi. Bagi manusia yang berhati neraka, maka dunia ini dengan segala dinamikanya adalah neraka, bahkan ketika mengalami kematian sekalipun dan naik ke dimensi alam yang lebih tinggi. Yang perlu dipahami kita manusia adalah makhluk dengan pribadi yang utuh, bukan robot. Dalam diri kita ada Ketuhanan, kesadaran dan pilihan bebas (free choice). Kehendak dan kuasa "Ketuhanan" terhadap manusia untuk mengalami baik dan buruk, mengalami kenikmatan dan kepedihan berada pada pilihan manusia sendiri, tanggungjawab ada pada manusia sendiri. Karena Ketuhanan, kesadaran dan pilihan bebas (free choice) yang ada dalam diri manuisa inilah terletak ketinggian martabat manusia. Kita bisa mengalami "surga" dalam kehidupan walaupun secara kasat mata tampak seperti gagal, sederhana dan sakit. Sebaliknya kita bisa mengalami "neraka" dalam kehidupan walaupun secara kasat mata seperti sukses, kaya raya dan sehat. Ini semua tergantung point of view dan identitas kita, tergantung belief system dan self image kita, tergantung perasaan dan pikiran kita, tergantung action dan habits kita. Karena sejatinya kepedihan dan kenikmatan adalah satu paket pasangan dalam ruang Kesadaran, ruang Cinta, ruang Kebahagiaan. Contohnya bila kita sedang sakit, itu merupakan tanda bagi kita untuk sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam fisik kita, ada sesuatu yang harus dibetulkan dalam point of view kita, identitas kita, belief system kita, self image kita, perasaan kita, pikiran kita, action kita dan habits kita. Dalam diri manusia ada servo mechanism. Baik dan buruk, sukses dan gagal serta pedih dan nikmatnya manusia dalam kehidupan dibentuk oleh point of view, identitas, belief system, self image, perasaan, pikiran, action dan habits yang ada dalam diri manusia. Ini seperti titik ordinat yang di set di peluru kendali (rudal). Point of view, identitas, belief system, self image, perasaan, pikiran, action dan habits tersebut membentuk automatic guidance system yang akan membentuk nasibnya baik dan buruk, sukses dan gagal, kaya dan miskin serta nikmat dan pedih. Seperti halnya peluru kendali (rudal) setelah di set titik ordinatnya, berkelak-kelok kemanapun akan menuju titik ordinat yang telah di set.
Kehidupan alam semesta dimensinya bertingkat-tingkat dari dimensi rendah (dun'ya) hingga dimensi tinggi (akhirah). Sudah menjadi fitrah (bawaan) manusia bila melakukan hal yang buruk akan mengalami kepedihan dan bila melakukan hal yang baik akan mengalami kenikmatan. Kita semua menyadari hal itu. Saat berada di alam berdimensi lebih tinggi, rasa bahagia dan rasa menderita akan berlipat-lipat jauh lebih tinggi. Tingginya dimensi rasa bahagia inilah yang sering disebut surga dan tingginya rasa menderita inilah yang sering disebut neraka. Tentang alam berdimensi tinggi/alam akhir (akhirat), Edward Witten, fisikawan dari Institute for Advance Study, yang menyempurnakan Teori String menjadi M-Theory, menyampaikan bahwa alam semesta ini tidak hanya 1 verse (universe) yang terdiri 3 dimensi. Ada konsep multiverse, merupakan semesta dengan dimensi yang lebih tinggi yang terdiri dari 9, 10, 11, 26, 41 dimensi, atau bahkan mencapai jumlah fantastis 10 pangkat 500 (=10 ^500) suatu kawasan multidimensonal fantastis yang disebut sebagai hyperspace dimana sistem ruang, waktu, materi, energi dan informasinya sangat berbeda dan jauh lebih tinggi (infinity). Dalam teori string dijelaskan bahwa ‘ruangan’ berdimensi dua sebenarnya terbentuk dari ‘ruangan’ berdimensi satu dalam jumlah tak berhingga. Sedangkan ‘ruangan’ berdimensi tiga terbentuk dari ‘ruangan’ berdimensi dua dalam jumlah tak berhingga. Atau, secara umum bisa disimpulkan, bahwa ‘ruangan’ berdimensi tinggi selalu tersusun dari ruangan berdimensi lebih rendah dalam jumlah tak berhingga. Saat berada di alam berdimensi lebih tinggi, rasa pedih dan rasa nikmat akan berlipat-lipat jauh lebih tinggi. Seperti halnya kita mengikuti cerita horor lewat komik yang 2 (dua) dimensi dengan cerita horor lewat film yang 3 (tiga) dimensi, rasanya akan lebih real cerita horor lewat film 3 (tiga) dimensi bukan?
Yang perlu dipahami pula, Ketuhanan sebagai satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua, tidak bisa dipandang dengan realitas kehidupan dengan sudut pandang manusia yang dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Mencoba menyamakan kehendak Ketuhanan dengan kehendak manusia akan membuat terjadinya distorsi pemahaman tentang Ketuhanan. Ketuhanan mempunyai kebijaksanaannya sendiri yang tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Penderitaan sering kita pahami secara terbatas dan salah. Satu contoh, ini adalah kisah nyata Ashlyn Blocker sebagaimana disampaikan ABC News tahun 2012 yang didiagnosis menderita penyakit CIPA (Congenital Insensitivity to Pain with Anhidrosis), suatu penyakit yang tidak bisa merasakan sakit. Tahun 2012, saat Ashlyn berusia 13 tahun, ia pernah mencelupkan tangannya ke air mendidih untuk mengambil sendok yang terlepas dari tangannya. Walaupun tidak merasakan sakit, hal itu membuat tangannya melepuh. Kita mungkin menganggap bagus kalau tidak bisa merasakan sakit. Namun akibat dari tubuh yang tidak bisa merasakan sakit membuat tubuh manusia tidak bisa mengetahui sesuatu yang tidak beres. Dan ini bisa berakibat fatal. Bukankah sangat mungkin bagi Ketuhanan membiarkan penderitaan dalam hidup kita untuk membantu kita menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam hidup kita?
Hakekatnya menciptakan penderitaan bukanlah kejahatan. Bukankah sehat atau sakit, sukacita atau dukacita, sukses atau gagal, kaya atau miskin, disukai atau dibenci adalah nature / fitrah nya kehidupan? Bukankah tidak ada sehat bila tidak ada sakit? Bukankah tidak ada sukacita bila tidak ada dukacita? Bukankah tidak ada sukses bila tidak ada gagal? Bukankah tidak ada kaya bila tidak ada miskin? Bukankah tidak ada suka bila tidak ada benci? Seperti halnya tidak ada panjang bila tidak ada pendek, tidak ada besar bila tidak ada kecil, tidak ada hitam bila tidak ada putih. Apakah kita bisa merasakan nikmat bila tidak pernah pedih? Semua ini bukanlah tentang kebodohan dalam penciptaan atau alam semesta. Ini hanya karena kita belum memahami dengan Kesadaran. Ini adalah tentang sejauh mana level Kesadaran kita. Memang kita bisa merasakan sehat atau sakit, sukacita atau dukacita, sukses atau gagal, kaya atau miskin, disukai atau dibenci bila tidak ada Kesadaran ? Mungkin kita pernah menonton video viral Cheng Meng, seorang atlit kecil tenis meja China usia 6 tahun yang dilatih keras sampai nangis-nangis. Saat Cheng Meng berusia 20 tahun dan meraih Medali Emas untuk kejuaraan tenis meja di Olimpiade Tokyo 2021, apakah kita masih berpikir bahwa kepedihan Cheng Meng saat belajar dan berlatih tenis meja di usia 6 tahun itu adalah kejahatan dan bukan kasih sayang?
Alam semesta ini baik di level makrokosmos maupun di level mikrokosmos berjalan sesuai prinsip-prinsip keseimbangan karena jika tidak demikian maka lenyap alam semesta ini. Ada hukum tabur tuai. Selalu ada konsekuensi dari setiap perbuatan yang kita lakukan, baik di alam berdimensi rendah maupun di alam berdimensi tinggi. "Surga" dan "neraka" baik di alam dunia maupun di alam berdimensi lebih tinggi/alam akhir adalah mekanisme reward dan punishment alam semesta untuk menjaga kita terutama beliefs dan values kita tetap dijalan yang baik, benar dan pantas. Ini fair, masuk akal, merupakan bentuk keseimbangan dan bukan suatu belenggu atau kekejaman. Manusia bisa memilih dengan kesadarannya dan pilihan bebas (free choice) nya mana yang baik, benar dan pantas untuk dilakukan dan mana yang tidak baik, tidak benar dan tidak pantas untuk dilakukan. Namun faktanya tidak semua manusia bisa mencapai kesadaran seperti ini. Secara mendasar otak primitive manusia selalu berusaha untuk meraih nikmat dan menghindari sengsara. Ini adalah naluri kebinatangan dan berbahaya bila tidak ada mekanisme reward and punishment. Diperlukan etika (konsep perilaku benar dan salah) dan moralitas (standar tindakan baik dan buruk) yang absolute. Tanpa adanya "Tuhan" yang menentukan standar baik dan buruk, etika dan moralitas akan bersifat relatif. Kebahagiaan dan keadilan subjektif saya akan sangat berbeda dengan kebahagiaan dan keadilan subjektif Anda. Keduanya tidak bisa menjadi bersifat absolute jika tidak ada Pemberi Kebahagiaan dan Keadilan yang absolute. Tentu saja ada sistem peradilan manusia yang terkadang melakukan hal yang baik dan benar serta memberikan hukuman yang “pantas” kepada orang-orang bersalah. Namun banyak sekali karena berbagai kepentingan ego, keinginan dan hawa nafsu manusia yang menyebabkan kegagalan sistem peradilan manusia dalam memberikan “keadilan sejati”. Hal ini menyiratkan adanya Tuhan karena logikanya harus seperti ini:
- Alam semesta berjalan dengan prinsip-prinsip keseimbangan. Ada keadilan sejati.
- Karena berbagai kepentingan ego, keinginan dan hawa nafsu, sistem peradilan manusia seringkali gagal memberikan keadilan sejati. Baik kita ber"Tuhan" maupun tidak ber"Tuhan", kita sama-sama mengakui dan menerima bahwa di dunia ini banyak terjadi perilaku yang tidak etis, amoral, tidak adil dan membuat kita semua menderita. Bahwa orang jahat tidak selalu dimintai pertanggungjawaban dan bahwa orang baik terkadang menderita terus-menerus menerima ketidakadilan bukan karena kesalahan mereka sendiri.
- Oleh karena itu, Tuhan pasti ada karena hanya itulah jalan agar alam semesta tetap berjalan kongruen dengan prinsip-prinsip keseimbangan dan berada dalam keadilan sejati. Bila tidak demikian alam semesta dan kehidupan ini akan hancur dari dulu tidak akan pernah mencapai 13,75 ± 0.11 miliar tahun hingga sekarang.
Ketujuh, mengapa Ketuhanan repot-repot menciptakan manusia dan alam semesta setelah itu dihancurkan dengan kiamat? Apakah Ketuhanan hanya main-main? Mengapa aku yang dipilih untuk hidup kalau harus menjalani hidup seperti ini? Apa makna hidup? Apa yang harus aku lakukan?
Kita sering memahami kiamat kecil (kematian, bencana alam) atau kiamat besar (kehancuran bumi, tata surya, galaksi) sebagai berhentinya makhluk hidup dan kehidupan alam semesta. Pertanyaan ini secara tersirat menganggap "Ketuhanan" adalah sosok yang terpisah dengan diri kita dan kehidupan. Bila kita memahami bahwa sebenarnya tidak ada keterpisahan antara "Ketuhanan", diri dan kehidupan maka pertanyaan ini tidak diperlukan bahkan ini pertanyaan yang salah memahami "Ketuhanan". "Ketuhanan", diri dan kehidupan adalah satu kesatuan yang utuh. Kematian sering dianggap berhentinya kehidupan diri makhluk hidup, termasuk kehidupan kita manusia. Dan kiamat sering dianggap berhentinya kehidupan alam semesta. Bahkan kekacauan, bencana alam, kematian, kiamat dan kehancuran di alam semesta dianggap tanda tidak adanya "Ketuhanan". Yang perlu kita pahami alam semesta terus berproses dalam keseimbangan siklus hidup dan mati, tidak terjebak dan melekat dalam pernik-pernik dunia fisik fana yang kita kumpulkan. Menuju kepada kesejatian dirinya sebagai satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Yang perlu kita pahami juga bahwa alam semesta ini berjalan dengan prinsip-prinsip keseimbangan (the law of balance). Ini bukan Ketuhanan repot-repot menciptakan manusia dan alam semesta setelah itu dihancurkan dengan kiamat. Apa yang tampak seperti kekacauan, bencana alam, kematian, kiamat dan kehancuran di alam semesta hakekatnya adalah bagian dari proses alam semesta menyeimbangkan dirinya. Ada variasi ada konsistensi. Ada kekacauan dan keteraturan. Ada keselamatan ada bencana. Ada penciptaan ada kehancuran. Ada kehidupan ada kematian. Contohnya gunung meletus, tidak tepat disebut kekacauan, tidak pantas disebut bencana alam, tidak selayaknya dipandang dengan prasangka buruk sebagai kejamnya alam. Lebih tepat gunung tersebut sedang "bekerja" memproduksi batu-batu dan pasir serta tanah yang subur untuk keseimbangan planet bumi. Hakekatnya apa yang tampak seperti kekacauan, bencana alam, kehancuran di alam semesta adalah kemunculan hidup baru, bagian dari proses penciptaan dan untuk keseimbangan alam semesta itu sendiri. Seperti halnya kita "mengacaukan" atau mengaduk-aduk semen dan pasir serta memecahkan batu untuk menciptakan sebuah bangunan. Bahkan kematian fisik kita sendiri sebagai manusia juga bagian keseimbangan alam.
Alam semesta adalah tubuh Ketuhanan itu sendiri. Ini bukan Ketuhanan atau alam semesta yang main-main, namun suatu nuansa Kesadaran. Alam semesta ini memiliki kesadaran kehidupan maupun kesadaran kematian. Kapan waktunya harus hidup dan kapan waktunya harus mati. Tidak peduli sekuat, sekaya, se-secure apapun kita manusia, semua manusia secara fisik sama di hadapan kematian yang pasti datang kapan saja. Walaupun ego, keinginan dan hawa nafsu kita berharap fisik kita bisa hidup terus selamanya, namun suka atau tidak suka alam semesta terus memurnikan diri menuju pada kesejatian dirinya sebagai satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Kematian sejatinya pintu gerbang menuju dimensi alam yang lebih tinggi melepaskan segala kemelekatan terhadap pernik-pernik dunia fana fatamorgana. Membakar semua kemelekatan terhadap ego, identitas dan hawa nafsu berikut memori dan akibat yang ditimbulkannya. Kematian adalah bagian proses perjalanan diri kita dari satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua lalu kembali ke satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute dan infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Sebagaimana yang disampaikan oleh Stephen William Hawking bahwa awal mula alam semesta sebagai "comes from oneness" dan ia menyatakan pula bahwa akhir alam semesta "return to oneness". Kematian adalah proses alam "return to oneness". Segala sesuatu yang tidak sejati, tidak murni, tidak sadar, tidak bahagia, tidak seimbang dan tidak adil akan kembali mengalami kesejatian, kemurnian, kesadaran, kebahagiaan, keseimbangan dan keadilan.
"Ketuhanan", manusia dan alam semesta adalah satu kesatuan utuh. Ketika menyatu dengan "Ketuhanan" maka sejatinya selainNya tidak ada. Makna kehidupan ini tidak lain hanyalah ekspresi Ketuhanan. Keberadaan manusia dan seluruh alam semesta esensinya adalah Ketuhanan dan merupakan manifestasi Ketuhanan.Sebenarnya semua ini adalah perwujudan "Ketuhanan". Sifat utama "Ketuhanan" adalah Keberlimpahan (al-Rahman/the Beneficent) dan Cinta (al-Rahim/the Merciful). Defaultnya manusia adalah Ketuhanan yang penuh keberlimpahan dan cinta. Defaultnya manusia terwujud hidup dengan penuh keberlimpahan dan cinta. Keberlimpahan dan cinta adalah pilar kebahagiaan. Manusia mengalami derita bila hidup tidak dalam keberlimpahan dan cinta. Sebaliknya manusia mengalami bahagia bila hidup dalam keberlimpahan dan cinta. Sejatinya Ketuhanan yang memancarkan manusia dan alam semesta adalah memancarkan keberlimpahan dan cinta. Ketika manusia dengan pilihan bebas (free choice) nya hidup dalam keberlimpahan dan cinta maka manusia selaras dengan Ketuhanan dan mengalami kebahagiaan. Sebaliknya ketika manusia berlaku sebaliknya, penuh kekurangan dan kebencian maka tidak selaras dengan sumber pancarannya dan mengalami banyak gesekan/penderitaan. Karena itu bisa dikatakan pula bahwa kehidupan dunia ini sejatinya hanya game kebahagiaan.
Salah satu cara untuk menikmati game kebahagiaan ini adalah tidak terimersi/melekat/teridentifikasi di dalamnya becouse of just game phenomenon. Lalu apa yang harus kita lakukan dalam hidup ini? Just celebrating life, merayakan hidup dalam arti hidup dalam Kesadaran ('ibadah). Semua yang kita lakukan dengan Kesadaran mulai dari belajar, bekerja, berbisnis, bermain, berkolaborasi adalah perayaan hidup. Nikmati setiap moment-nya. Menyadari yang sedang sadar bahwa ini permainan. Ketika sudah di dalam game, bisakah kita mengeluh “Ini tidak adil !” atau berkata “Sungguh kejam! Kenapa membuat kita bertanding melawan hal yang berat-berat?” Namun coba kita renungkan kembali, mungkinkah kita menang permainan tanpa lawan? Mungkinkah kita menjadi kuat tanpa menanggung beban? Ego, identitas, hawa nafsu, kejahatan bahkan sesuatu yang kita label "iblis" sebenarnya adalah tantangan, tidak diciptakan agar manusia jatuh, justru sebaliknya agar manusia bisa melampaui dualitas, menang dan naik level dalam kesadaran dan kebahagiaannya. Ibarat berlian, panas dan tekanan hidup yang tinggi tidak membuatnya terbakar, justru menempanya menjadi batu mulia yang tinggi nilainya. Apakah kita masih berpikir juga bahwa panas dan tekanan hidup yang tinggi bagi berlian adalah kejahatan dan bukan kasih sayang? Memang tidak mudah untuk dijalani ketika kita kehilangan orang-orang yang kita cintai, mengalami penderitaan, mengalami perpisahan, mengalami kesulitan secara ekonomi. Kita mungkin berpikir ini terlalu "challenge" untuk dihadapi. Tentunya kita semua tahu tidak semua orang bisa mengikuti ajang olimpiade bukan? Jika kita masuk olimpiade kehidupan berarti posisi kita tinggi dan potensi kita bagus. Bukankah ketika kita bisa bergabung di olimpiade artinya kita atlet yang bagus dan pilihan dari setiap negara? Coba lihat kehidupan ini seperti game kebahagiaan yang memberi kita kesempatan mengalami surga, mengalami keberlimpahan, cinta dan kebahagiaan. Apapun kondisinya "dont playing victim" tidak perlu bersikap merasa jadi korban. Kebahagiaan adalah diriMu sendiri. Kebahagiaan adalah diri Aku sendiri. Semua Akumu dan Akuku sama dalam satu keutuhan. Aku adalah kata paling intim dari Ketuhanan. Semua pengalaman kehidupan, baik itu pengalaman internal berupa pikiran dan perasaan maupun pengalaman eksternal berupa kejadian/peristiwa sejatinya hanya pembawa pesan/massenger/utusan untuk membuat kita semakin memahami/mengalami Ketuhanan dengan sejatinya, semakin sadar dan semakin bahagia.
Referensi :
Ibn Katsir, Ismail (774 H) "Tafsir Alquran al-Adziim", Dar Alamiah (QS 112 : 1-4; QS 56 : 83-87)
Schmidt, Wilhelm. The Origin and Growth of Religion: Facts and Theories, Cooper Square Pub (January 1, 1972)
Schmidt, Wilhelm. Primitive Revelation, Hassell Street Press (September 9, 2021)
Corduan, Winfried. In the Beginning God: A Fresh Look at the Case for Original Monotheism, B&H Academic; Illustrated edition (September 15, 2013)
Yijing, A Record Of The Buddhist Religion As Practised In India And The Malay Archipelago, Legare Street Press (October 27, 2022)
Blavatsky, Helena Petrovna, "The Secret Doctrine: Volume I ~ Cosmogenesis", Theosophy Trust Books (September 23, 2015)
Blavatsky, Helena Petrovna, "The Secret Doctrine: Volume I ~Anthropogenesis", Theosophy Trust Books (November 4, 2015)
E.A. Wallis Budgem, "The Egyptian Book of the Dead: The Complete Papyrus of Ani Paperback", Clydesdale (March 16, 2021)
Sir Flinders Petrie, "The Religion of Ancient Egypt", Constable, London, 1908
Schmidt, Wilhelm, "The Origin and Growth of Religion: Facts and Theories", Cooper Square Pub (August 1, 1972)
Richardson, Don, "Eternity in Their Hearts", Bethany House Publishers; 3rd ed. edition (March 8, 2006)
Muller, F. Max., "History of Ancient Sanskrit Literature so far as it Illustrates the Primitive Religion of the Brahmans" Andesite Press (August 12, 2015)
Collins, Francis S., "Language of God: A Scientist Presents Evidence for Belief", Free Press; First Paperback Edition (July 1, 2007)
N. Jarosik; et al. (2011). "Seven-year Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP) Observations: Sky Maps, Systematic Errors, and Basic Results". The Astrophysical Journal Supplement Series. 192: 14
He, Dongshan, Dongfeng Gao, and Qing-yu Cai, "Spontaneous Creation of the Universe from Nothing", APS Physics Journal, Phys. Rev. D 89, 083510 – Published 3 April 2014
Hawking, Stephen, "A Brief History of Time", Bantam; 10th Anniversary edition (September 1, 1998)
Talbot, Michael, "The Holographic Universe: The Revolutionary Theory of Reality" Harper Perennial; Reprint edition (September 6, 2011)
Grynberg, Gilbert, Alain Aspect, Claude Fabre, "Introduction to Quantum Optics: From the Semi-classical Approach to Quantized Light" Cambridge University Press; 1st edition (October 18, 2010)
Rinaldi, Enrico, Xizhi Han, Mohammad Hassan, Yuan Feng, Franco Nori, Michael McGuigan, and Masanori Hanada, "Matrix-Model Simulations Using Quantum Computing, Deep Learning, and Lattice Monte Carlo" PRX Quantum 3, 010324 – Published 10 February 2022
Yourgrau, Palle, A World Without Time: The Forgotten Legacy of Godel and Einstein, Basic Books, Cambridge, 2006
Godel, Kurt, "On Formally Undecidable Propositions of Principia Mathematica and Related Systems", Dover Publications Inc., New Yorrk (1992)
Tesla, Nikola., The Problem of Increasing Human Energy: With Special Reference to the Harnessing of the Sun's Energy, Cosimo Classics (January 1, 2008)
Gigliotti, Jim., Who Was Nikola Tesla? Penguin Workshop; Illustrated edition (December 4, 2018)
Cowles, Henry M. "The Scientific Method: An Evolution of Thinking from Darwin to Dewey", Harvard University Press (April 14, 2020)
Armstrong, Karen, "A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam", Ballantine Books (August 9, 1994)
Polkinghorne, John, "Exploring Reality: The Intertwining of Science and Religion", Yale University Press; First edition (April 4, 2007)
Goleman, Daniel, "Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ", Random House Publishing Group; 10th Anniversary edition (September 27, 2005)
McCraty, Rollin, et al, “The Coherent Heart: Heart-Brain Interactions, Pyschophysiological Coherence, and the Emergence of System-Wide Order,” Integral Review, 5, no. 2, (December 2009): 10–115
Mccraty, Rollin, et al, “The Effects of Emotions on Short-Term Power Spectrum Analysis of Heart Rate Variability,” The American Journal of Cardiology, 76, no. 14 (1995): 1089– 1093, doi:10.1016/s0002-9149(99)80309-9.
Mccraty, Rollin, et al, "The Resonant Heart," Shift: At The Frontiers Of Consciousness December 2004–February 2005
Dawkins, Richard, "The God Delusion" Mariner Books; Reprint edition (January 16, 2008)
Green, M., John H. Schwarz, and Edward Witten. "Superstring Theory. Vol. 1, Introduction". Cambridge Monographs on Mathematical Physics. Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1988
Green, M., John H. Schwarz, and Edward Witten. "Superstring Theory. Vol. 2, Loop Amplitudes, Anomalies and Phenomenology". Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1988
Al Ghazali, Abu Hamid Muhammad, "An Exposition of the Hearts: Makashifat-ul-Quloob (Ihyaʾ Ulūm al-Dīn), Scribe Digital (January 19, 2014)
Hawkins M.D. Ph.D, David R. , "Power vs Force, The Hiddens Determinant of Human Behavior" Hay House Inc. (January 30, 2014)
Roberts, Tyler T. "Contesting Spirit: Nietzsche, Affirmation, Religion" Princeton University Press, 1998
Kaufmann, Walter A. "Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist" Princeton University Press; Revised edition (October 20, 2013)
Marx, Karl, "A Contribution To The Critique Of The Political Economy", Lector House (January 23, 2020)
Xuzhou Li, Myrna Weissman, Ardesheer Talati, Connie Svob, Priya Wickramaratne, Jonathan Posner, Dongrong Xu, "A Diffusion Tensor Imaging Study of Brain Microstructural Changes Related to Religion and Spirituality in Families at High Risk for Depression", 15 January 2019, https://doi.org/10.1002/brb3.1209
Kader, Ali Hassan Abdel, "The Life, Personality and Writings of al-Junayd", Gibb Memorial Trust; E.J. Gibb Memorial Series New Series XXII edition (September 24, 2014)
McGrath, Alister, Joanna Collicutt McGrath "The Dawkins Delusion?: Atheist Fundamentalism and the Denial of the Divine" IVP Books; First Edition (May 25, 2007)
Leknes, S.; Tracey, I. (2008). "A common Neurobiology for Pain and Pleasure" Nature Reviews Neuroscience 9 (4): 314–320 )
Clear, James, "Atomic Habits: An Easy & Proven Way to Build Good Habits & Break Bad Ones", Avery; Illustrated edition (October 16, 2018)
Smith, Emily Esfahani, "The Power of Meaning: Crafting a Life That Matters", Crown (January 10, 2017)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H