Mohon tunggu...
MASE
MASE Mohon Tunggu... Lainnya - Mochammad Hamid Aszhar

Pembelajar kehidupan. Pemimpin bisnis. Mendedikasikan diri membangun kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan dan kewirausahaan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mengapa Saya Ber"Ketuhanan"

4 Agustus 2021   11:11 Diperbarui: 13 Juni 2024   07:39 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Yang perlu disadari bahwa seringkali penderitaan yang dialami manusia adalah getaran (vibration) pikiran dan perasaan sendiri atau akibat perkataaan dan perbuatannya sendiri. Default nya manusia dari sisi pikiran, emosi, energi dan fisik adalah makhluk kebajikan dan makhluk yang penuh kebahagiaan. Penderitaan yang kita alami sejatinya kita sendiri yang meng'attract'. Mengapa? Karena dalam diri manusia ada beliefs dan values yang itu membentuk automatic guidance system pada hidupnya. Seperti halnya peluru kendali (rudal), melakukan set up titik ordinat terlebih dahulu sebelum ditembakkan, beliefs dan values dalam diri manusia tersebut juga melakukan set up titik ordinat sukses dan gagalnya, bahagia dan deritanya serta sehat dan sakitnya. Dalam neurosains psychocybernetics hal ini disebut servo mechanism. Inilah sejatinya doa. Walaupun mulut kita komat kamit meminta sampai berbuih namun beliefs dan values dalam diri adalah gagal dan derita maka automatic guidance system yang terbentuk adalah gagal dan derita. Proses dan kebiasaan yang terbentuk adalah proses dan kebiasaan gagal dan derita, maka nasib kehidupan yang terbentuk adalah nasib kehidupan yang penuh kegagalan dan penderitaan. Begitupun sebaliknya, bila beliefs dan values dalam diri adalah sukses dan bahagia maka automatic guidance system yang terbentuk adalah sukses dan bahagia. Proses dan kebiasaan yang terbentuk adalah proses dan kebiasaan sukses dan bahagia, maka nasib kehidupan yang terbentuk adalah nasib kehidupan yang penuh sukses dan bahagia. Tuhan tidak merubah nasib kita bila kita tidak merubah apa yang ada di dalam diri kita sendiri, yakni beliefs dan values, mindset dan behavior serta habits kita

"Tuhan" berperan dalam memancarkan diriNya ke seluruh realitas alam semesta, menjaganya serta memiliki peran esensial terhadap alam semesta. Karena didalam "Tuhan" tidak ada dualisme epistemologis, yaitu pemisahan antara manusia, alam semesta dan "Tuhan". Dalam konsep wujud "Tuhan" yang absolute sempurna dan tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi,  manusia, alam semesta dan "Tuhan" merupakan satu kesatuan. Manusia dan alam semesta ini sudah cukup bagi dirinya sendiri, tidak membutuhkan agen luar yang terpisah. Manusia dan alam semesta ini sejatinya adalah manifestasi dari "Tuhan" itu sendiri. Seperti pesawat televisi, "Tuhan" terus memancarkan sinyalnya. Sesuai hukum-hukum alam semesta yang ada atau sesuai user guide dalam pesawat televisi, kita bisa memilih channel-channel apa yang mau kita alami dalam hidup ini. Mau channel bahagia atau channel menderita, mau channel sukses atau channel gagal. Namun apakah kita bisa mengalami channel-channel kehidupan dengan berbagai dinamikanya bila stasiun pemancar tidak memancarkan sinyalnya ? Apakah kita bisa menjadi manusia dengan segala dinamika realitasnya bila Tuhan sebagai sumber realitas alam semesta tidak memancarkan diriNya? Walaupun analogi pesawat televisi ini sangat tidak sempurna, sedikit membantu memahami "Tuhan", manusia dan alam semesta. Manusia adalah co-creator (khalifah) dalam sebagian proses penciptaan dan pemeliharaan alam semesta.  Wujud hakiki alam semesta adalah wujud "Tuhan" yang menampakkan diriNya di alam semesta. Alam semesta dengan segala isinya adalah cermin bayangan Tuhan. Seluruh realitas alam semesta dengan segala isinya yang tampak, sejatinya adalah realitas Tuhan.

Pada quantum level kita semua adalah sekumpulan energi yang bergetar (vibrate) dengan frekuansi tertentu yang terhubung satu sama lain dan membentuk suatu bangunan atau satu tubuh energi raksasa "collective consciousness". Quantum berasal dari kata quanta adalah partikel terkecil yang merupakan bahan baku alam semesta. Pada tahun 1935, Albert Einstein dalam sebuah makalah bersama dengan Boris Podolsky dan Nathan Rosen merumuskan paradoks Einstein-Podolsky-Rosen (paradoks EPR), sebuah eksperimen fisika kuantum yang menunjukkan keterhubungan(entanglement) alam semesta. Fenomena keterhubungan (entanglement) ini memungkinkan dua atom, meskipun jarak memisahkan dua atom itu, untuk tetap terhubung seketika seolah ada sinyal yang mampu mempengaruhi keadaan mereka yang bergerak lebih cepat dari kecepatan cahaya walaupun secara kasat mata, tidak ada interaksi diantara keduanya. Riset terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature pada 21 Oktober 2015, Ronald Hanson dari Kavli Institute of Nanoscience di Delft University of Technology di Belanda merancang sebuah eksperimen bernama "loophole-free Bell test" yang berhasil membuktikan adanya "entanglement" antara dua elektron yang dipisahkan sejauh 1,3 kilometer. Setiap Jiwa, terhubung dengan tingkat kesadaran kolektif, di dalam "Diri Maha Tinggi". Kita semua adalah bagian dari keseluruhan (gestalt) "Energi Maha Besar".

Kelima, mengapa Tuhan menciptakan surga dan neraka? Mengapa Tuhan menciptakan manusia kalau hanya dimasukkan ke neraka?

Bila kita memahami bahwa sebenarnya tidak ada keterpisahan antara "Tuhan", diri dan kehidupan maka pertanyaan ini tidak diperlukan bahkan ini pertanyaan yang salah memahami "Tuhan". Pertanyaan ini secara tersirat menganggap "Tuhan" adalah sosok yang terpisah dengan diri kita dan kehidupan. Kita juga sering menganggap bahwa kehidupan ini "ruang tunggu" serta melakukan apologisme atas kebodohan dan ketidakberdayaan dengan mengatakan "tidak mengapa di dunia kita menderita asalkan di akhirat kita bahagia." Padahal sejatinya "Tuhan", kehidupan alam semesta, surga, neraka itu ada di sini kini, tidak ada keterpisahan. FKebahagiaan, kesuksesan, kesehatan sering disimbolkan dengan "surga". Kesedihan, penderitaan, sakit sering disimbolkan dengan "neraka". Surga dan neraka sejatinya kita sendiri yang membangunnya. Bagi manusia yang berhati surga, maka dunia ini dengan segala dinamikanya adalah surga, bahkan ketika mengalami kematian sekalipun dan naik ke dimensi alam yang lebih tinggi. Bagi manusia yang berhati neraka, maka dunia ini dengan segala dinamikanya adalah neraka, bahkan ketika mengalami kematian sekalipun dan naik ke dimensi alam yang lebih tinggi. Yang perlu dipahami kita manusia adalah makhluk dengan pribadi yang utuh, bukan robot. Dalam diri kita ada kesadaran dan pilihan bebas (free choice). Kehendak dan kuasa "Tuhan" terhadap manusia untuk perbuatan baik dan buruk berada pada pilihan manusia sendiri, tanggungjawab ada pada manusia sendiri. Karena kesadaran dan pilihan bebas (free choice) inilah terletak ketinggian martabat manusia. Kita bisa mengalami "surga" dalam kehidupan walaupun secara kasat mata tampak seperti gagal, derita dan sakit. Sebaliknya kita bisa mengalami "neraka" dalam kehidupan walaupun secara kasat mata seperti sukses, bahagia dan sehat. Ini semua tergantung mindset dan behavior kita, tergantung belief system dan values kita. Karena sejatinya gagal adalah proses belajar. Karena sejatinya derita adalah paket pasangan bahagia. Karena sejatinya sakit adalah tanda bagi kita untuk menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam fisik kita, ada sesuatu yang harus dibetulkan dalam habit kita. Dalam diri manusia ada servo mechanism. Baik dan buruk, sukses dan gagal serta derita dan bahagia manusia dibentuk oleh beliefs dan values yang ada dalam diri manusia. Ini seperti titik ordinat yang di set di peluru kendali (rudal). Beliefs dan values tersebut membentuk automatic guidance system yang akan membentuk nasibnya baik dan buruk, sukses dan gagal serta derita dan bahagia. Seperti halnya peluru kendali (rudal) setelah di set titik ordinatnya, berkelak-kelok kemanapun akan menuju titik ordinat yang telah di set.

Kehidupan alam semesta dimensinya bertingkat-tingkat dari dimensi rendah (dun'ya) hingga dimensi tinggi (akhirah). Sudah menjadi fitrah (watak bawaan) manusia bila melakukan hal yang tidak baik akan menderita dan bila melakukan hal yang baik akan bahagia. Kita semua menyadari hal itu. Saat berada di alam berdimensi lebih tinggi, rasa bahagia dan rasa menderita akan berlipat-lipat jauh lebih tinggi. Tingginya dimensi rasa bahagia inilah yang disebut surga dan tingginya rasa menderita ini yang disebut neraka. Tentang alam berdimensi tinggi/alam akhir (akhirat), Edward Witten, fisikawan dari Institute for Advance Study, yang menyempurnakan Teori String menjadi M-Theory, menyampaikan bahwa alam semesta ini tidak hanya 1 verse (universe) yang terdiri 3 dimensi. Ada konsep multiverse, merupakan semesta dengan dimensi yang lebih tinggi yang terdiri dari 9, 10, 11, 26, 41 dimensi, atau bahkan mencapai jumlah fantastis 10 pangkat 500 (=10 ^500) suatu kawasan multidimensonal fantastis yang disebut sebagai hyperspace dimana sistem ruang, waktu, materi, energi dan informasinya sangat berbeda dan jauh lebih tinggi (infinity). Dalam teori string dijelaskan bahwa ‘ruangan’ berdimensi dua sebenarnya terbentuk dari ‘ruangan’ berdimensi satu dalam jumlah tak berhingga. Sedangkan ‘ruangan’ berdimensi tiga terbentuk dari ‘ruangan’ berdimensi dua dalam jumlah tak berhingga. Atau, secara umum bisa disimpulkan, bahwa ‘ruangan’ berdimensi tinggi selalu tersusun dari ruangan berdimensi lebih rendah dalam jumlah tak berhingga. Saat berada di alam berdimensi lebih tinggi, rasa bahagia dan rasa menderita akan berlipat-lipat jauh lebih tinggi. Seperti halnya kita mengikuti cerita horor lewat komik yang 2 (dua) dimensi dengan cerita horor lewat film yang 3 (tiga) dimensi, rasanya akan lebih real cerita horor lewat film 3 (tiga) dimensi bukan?

Yang perlu dipahami pula, Tuhan dengan sifatnya sebagai sumber segala realitas, mutlak (absolute) dan tidak ada sesuatupun yang menyamaiNya, tidak bisa dipandang dengan realitas kehidupan dengan sudut pandang manusia yang dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Mencoba menyamakan kehendak Tuhan dengan kehendak manusia akan membuat terjadinya distorsi pemahaman tentang Tuhan. Tuhan mempunyai kebijaksanaannya sendiri yang tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Penderitaan sering kita pahami secara terbatas dan salah. Satu contoh, ini adalah kisah nyata Ashlyn Blocker sebagaimana disampaikan ABC News tahun 2012 yang didiagnosis menderita penyakit CIPA (Congenital Insensitivity to Pain with Anhidrosis), suatu penyakit yang tidak bisa merasakan sakit. Tahun 2012, saat Ashlyn berusia 13 tahun, ia pernah mencelupkan tangannya ke air mendidih untuk mengambil sendok yang terlepas dari tangannya. Walaupun tidak merasakan sakit, hal itu membuat tangannya melepuh. Kita mungkin menganggap bagus kalau tidak bisa merasakan sakit. Namun akibat dari tubuh yang tidak bisa merasakan sakit membuat tubuh manusia tidak bisa mengetahui sesuatu yang tidak beres. Dan ini bisa berakibat fatal. Bukankah sangat mungkin bagi Tuhan membiarkan penderitaan dalam hidup kita untuk membantu kita menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam hidup kita?

Hakekatnya menciptakan penderitaan bukanlah kejahatan. Bukankah dukacita, sedih, sengsara, susah, muram adalah nature / fitrah nya kehidupan? Bukankah tidak ada bahagia bila tidak ada dukacita? Seperti halnya tidak ada panjang bila tidak ada pendek, tidak ada besar bila tidak ada kecil, tidak ada hitam bila tidak ada putih. Apakah kita bisa merasakan bahagia bila tidak pernah menderita? Penderitaan bukanlah tentang penciptanya. Ini adalah tentang sejauh mana level kesadaran kita. Tak ada satupun yang membuat kita menderita bila kita tidak mengijinkan diri kita menderita. Kita sering menyamakan bahagia dengan gembira. Padahal itu hal yang berbeda. Gembira seringkali adalah perasaan suka cita karena mendapatkan keinginan. Bahagia justru sebaliknya, adalah state jiwa ketika bisa melepaskan kemelekatan terhadap semua keinginan, ego dan hawa nafsu. Mungkin kita pernah menonton video viral Cheng Meng, seorang atlit kecil tenis meja China usia 6 tahun yang dilatih keras sampai nangis-nangis. Saat Cheng Meng berusia 20 tahun dan meraih Medali Emas untuk kejuaraan tenis meja di Olimpiade Tokyo 2021, apakah kita masih berpikir bahwa penderitaan saat belajar dan berlatih tenis meja yang dialami Cheng Meng di usia 6 tahun itu adalah kejahatan dan bukan kasih sayang?

Alam semesta ini baik di level makrokosmos maupun di level mikrokosmos berjalan sesuai prinsip-prinsip keseimbangan karena jika tidak demikian maka lenyap alam semesta ini. Ada hukum tabur tuai. Selalu ada konsekuensi dari setiap perbuatan yang kita lakukan, baik di alam berdimensi rendah maupun di alam berdimensi tinggi. "Surga" dan "neraka" baik di alam dunia maupun di alam berdimensi lebih tinggi/alam akhir adalah mekanisme reward dan punishment alam semesta untuk menjaga kita terutama beliefs dan values kita tetap dijalan yang baik, benar dan pantas. Ini fair, masuk akal, merupakan bentuk keseimbangan dan bukan suatu belenggu atau kekejaman. Manusia bisa memilih dengan kesadarannya dan pilihan bebas (free choice) nya mana yang baik, benar dan pantas untuk dilakukan dan mana yang tidak baik, tidak benar dan tidak pantas untuk dilakukan. Namun faktanya tidak semua manusia bisa mencapai kesadaran seperti ini. Secara mendasar otak primitive manusia selalu berusaha untuk meraih nikmat dan menghindari sengsara. Ini adalah naluri kebinatangan dan berbahaya bila tidak ada mekanisme reward and punishment. Diperlukan etika (konsep perilaku benar dan salah) dan moralitas (standar tindakan baik dan buruk) yang absolute. Tanpa adanya "Tuhan" yang menentukan standar baik dan buruk, etika dan moralitas akan bersifat relatif. Kebahagiaan dan keadilan subjektif saya akan sangat berbeda dengan kebahagiaan dan keadilan subjektif Anda. Keduanya tidak bisa menjadi bersifat absolute jika tidak ada Pemberi Kebahagiaan dan Keadilan yang absolute. Tentu saja ada sistem peradilan manusia yang terkadang melakukan hal yang baik dan benar serta memberikan hukuman yang “pantas” kepada orang-orang bersalah. Namun banyak sekali karena berbagai kepentingan ego, keinginan dan hawa nafsu manusia yang menyebabkan kegagalan sistem peradilan manusia dalam memberikan “keadilan sejati”. Hal ini menyiratkan adanya Tuhan karena logikanya harus seperti ini:

  1. Alam semesta berjalan dengan prinsip-prinsip keseimbangan. Ada keadilan sejati.
  2. Karena berbagai kepentingan ego, keinginan dan hawa nafsu, sistem peradilan manusia seringkali gagal memberikan keadilan sejati. Baik kita ber"Tuhan" maupun tidak ber"Tuhan", kita sama-sama mengakui dan menerima bahwa di dunia ini banyak terjadi perilaku yang tidak etis, amoral, tidak adil dan membuat kita semua menderita. Bahwa orang jahat tidak selalu dimintai pertanggungjawaban dan bahwa orang baik terkadang menderita terus-menerus menerima ketidakadilan bukan karena kesalahan mereka sendiri.
  3. Oleh karena itu, Tuhan pasti ada karena hanya itulah jalan agar alam semesta tetap berjalan kongruen dengan prinsip-prinsip keseimbangan dan berada dalam keadilan sejati. Bila tidak demikian alam semesta dan kehidupan ini akan hancur dari dulu tidak akan pernah mencapai 13,75 ± 0.11 miliar tahun hingga sekarang.

Keenam, mengapa Tuhan repot-repot menciptakan manusia dan alam semesta setelah itu dihancurkan dengan kiamat? Apakah Tuhan hanya main-main? Mengapa aku yang dipilih untuk hidup kalau harus menjalani hidup seperti ini? Apa makna hidup? Apa yang harus aku lakukan?

Kita sering memahami kiamat kecil (kematian, bencana alam) atau kiamat besar (kehancuran bumi, tata surya, galaksi) sebagai berhentinya makhluk hidup dan kehidupan alam semesta. Pertanyaan ini secara tersirat menganggap "Tuhan" adalah sosok yang terpisah dengan diri kita dan kehidupan. Bila kita memahami bahwa sebenarnya tidak ada keterpisahan antara "Tuhan", diri dan kehidupan maka pertanyaan ini tidak diperlukan bahkan ini pertanyaan yang salah memahami "Tuhan". "Tuhan", diri dan kehidupan adalah satu kesatuan. Kematian sering dianggap berhentinya kehidupan diri makhluk hidup, termasuk kehidupan kita manusia. Dan kiamat sering dianggap berhentinya kehidupan alam semesta. Bahkan kekacauan, bencana alam, kematian, kiamat dan kehancuran di alam semesta dianggap tanda tidak adanya "Tuhan". Yang perlu kita pahami alam semesta terus berproses dalam keseimbangan siklus hidup dan mati, tidak terjebak dan melekat dalam pernik-pernik dunia fisik fana yang kita kumpulkan. Menuju kepada kesejatian dirinya sebagai satu/oneness yang sejati dalam kesatuan kehidupan, absolute dan menjadi sumber serta perwujudan tak terbatas/infinity kehidupan. Yang perlu kita pahami juga bahwa alam semesta ini berjalan dengan prinsip-prinsip keseimbangan (the law of balance). Apa yang tampak seperti kekacauan, bencana alam, kematian, kiamat dan kehancuran di alam semesta hakekatnya adalah bagian dari proses alam semesta menyeimbangkan dirinya. Ada variasi ada konsistensi. Ada kekacauan dan keteraturan. Ada keselamatan ada bencana. Ada penciptaan ada kehancuran. Ada kehidupan ada kematian. Contohnya gunung meletus, tidak tepat disebut kekacauan, tidak pantas disebut bencana alam, tidak selayaknya dipandang dengan prasangka buruk sebagai kejamnya alam. Lebih tepat gunung tersebut sedang "bekerja" memproduksi batu-batu dan pasir serta tanah yang subur untuk keseimbangan planet bumi. Hakekatnya apa yang tampak seperti kekacauan, bencana alam, kehancuran di alam semesta adalah kemunculan hidup baru, bagian dari proses penciptaan dan untuk keseimbangan alam semesta itu sendiri. Seperti halnya kita "mengacaukan" atau mengaduk-aduk semen dan pasir serta memecahkan batu untuk menciptakan sebuah bangunan. Bahkan kematian fisik kita sendiri sebagai manusia juga bagian keseimbangan alam. Alam semesta ini memiliki kesadaran kehidupan maupun kesadaran kematian. Kapan waktunya harus hidup dan kapan waktunya harus mati. Tidak peduli sekuat, sekaya, se-secure apapun kita, semua sama di hadapan kematian yang pasti datang kapan saja. Walaupun ego, keinginan dan hawa nafsu kita berharap fisik kita bisa hidup terus selamanya. Namun suka atau tidak suka alam semesta  terus memurnikan diri menuju pada kesejatian dirinya sebagai satu/oneness yang sejati dalam kesatuan kehidupan, absolute dan menjadi sumber serta perwujudan tak terbatas/infinity kehidupan. Kematian sejatinya pintu gerbang menuju dimensi alam yang lebih tinggi melepaskan segala kemelekatan terhadap pernik-pernik duniawi yang fana. Membakar semua kemelekatan terhadap ego, keinginan dan hawa nafsu berikut memori dan akibat yang ditimbulkannya. Kematian adalah bagian proses perjalanan diri kita dari satu/oneness yang sejati dalam kesatuan kehidupan, absolute dan menjadi sumber serta perwujudan tak terbatas/infinity kehidupan alam semesta lalu kembali ke satu/oneness yang sejati dalam kesatuan kehidupan, absolute dan menjadi sumber serta perwujudan tak terbatas/infinity kehidupan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Stephen William Hawking bahwa awal mula alam semesta sebagai "comes from oneness" dan ia menyatakan pula bahwa akhir alam semesta "return to oneness". Kematian adalah proses alam "return to oneness". Segala sesuatu yang tidak sejati, tidak murni, tidak bahagia, tidak seimbang dan tidak adil akan kembali mengalami kesejatian, kemurnian, kebahagiaan, keseimbangan dan keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun