Rollin McCraty, PhD, Director of Research of the Institute of HeartMath bersama peneliti lainya menyampaikan bahwa di sistem limbik otak kita, disamping ada bagian rasio (hippocampus) namun juga ada bagian rasa (amygdala) yang bisa menyerap gelombang elektromagnet yang memancar di alam semesta. Kemudian ada yang disebut brain heart axis atau poros otak jantung yang bekerja baik secara hormonal maupun radiatif. Gelombang elektromagnetik jantung (heart) bersifat meng-amplifier gelombang elektromagenetik otak (brain). Dengan menyadari kesadaran murni kita maka otak (brain) dan jantung (heart) yang berada disekitar dada yang menghasilkan medan elektromagnetik tubuh yang lebih kuat dan berirama luas yang mampu mengakses di luar batasan fisik dan pikiran kita. Dalam hal komponen medan listrik, komponen medan listrik jantung sekitar 60 kali lebih besar dalam amplitudo dibandingkan komponen medan listrik otak dan menembus setiap sel dalam tubuh. Dalam hal komponen magnetik, komponen medan magnet jantung (heart) 5000 kali lebih kuat dari medan magnet otak dan dapat dideteksi beberapa meter jauhnya dari tubuh dengan sensitif magnetometer. Data baru dalam beberapa penelitian Institute of HeartMath menunjukkan bahwa jantung (heart) terlibat langsung dalam persepsi intuitif yang bisa mengakses noumena di luar batasan fenomena ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Dalam desain eksperimen yang ketat ditemukan bukti kuat bahwa jantung (heart) menerima informasi intuitif ini sebelum otak (brain) dan dapat mengakses energi yang lebih halus dan informasi tentang objek dan peristiwa jauh di alam semesta bahkan bisa menembus noumena diluar batasan fenomena ruang, waktu, materi, energi dan informasi kita. Disebut oleh Karl H. Pribram, seorang profesor emeritus psikologi dan psikiatri di Stanford University sebagai "domain spektral", this is thought to be the basis for our consciousness of “the whole.”
Kedua, pertanyaan selanjutnya untuk "Ketuhanan" sendiri, apakah keberadaanNya bisa dibuktikan secara ilmiah ?
Penjelasan atas jawaban pertanyaan pertama di atas menunjukkan tanda-tanda Ketuhanan dan keberadaanNya. Namun untuk "Ketuhanan" sendiri apakah bukti ilmiah bahwa "Ketuhanan" itu ada? Dianalogikan seperti pikiran tentang uang sebesar Rp 500.000 yang tertata rapi dalam dompet, apa bukti ilmiah bahwa memang ada uang sebesar Rp 500.000 memang ada tertata rapi dalam dompet?
Bila kita memahami bahwa sebenarnya tidak ada keterpisahan antara "Ketuhanan", diri dan kehidupan maka pertanyaan ini tidak diperlukan bahkan ini pertanyaan yang salah memahami "Ketuhanan". Pertanyaan ini secara tersirat menganggap Ketuhanan adalah sosok yang terpisah dengan diri kita dan kehidupan. Ketika diri kita sudah menyadari pengalaman kehidupan baik secara audio, visual dan kinestetik sejatinya diri kita sudah mengalami "Ketuhanan" dan tidak diperlukan bukti lagi. Terkait esensi dzat "Ketuhanan", secara logika tidak mungkin satu yang mutlak (absolute) dan tidak terbatas (infinite) menampakkan diri dan diserap oleh pancaindera yang bersifat maya (illusive) dan terbatas (relative) lalu disebut 'terbukti' serta bisa dipersepsikan secara fisik/empiris. Sungguh tidak mungkin pikiran yang maya (illusive) dan terbatas (relative) bisa membuktikan secara ilmiah Tuhan yang mutlak (absolute) dan tidak terbatas (infinite). Ketika “Tuhan” dinyatakan sudah ‘terbukti’ dan bisa didefinisikan dalam fenomena ruang, waktu materi, energi dan informasi maka sudah tidak bisa disebut “Ketuhanan” lagi dalam arti "Ketuhanan" dengan noumena yang sebenarnya. Bila kita cermati lebih dalam terdapat keterbatasan berpikir dalam metode ilmiah. Dalam metode ilmiah, segala sesuatu termasuk Ketuhanan dipersepsikan fisik/empiris, yang harus dibuktikan dengan metode ilmiah. Sains sendiri merupakan kombinasi antar epistemologi empirisme dan rasionalisme. Di mana teori kebenaran korespondensi dan koherensi di sintesakan dalam bentuk teori kebenaran ilmiah. Pengetahuan yang diperoleh sains hanya dibatasi pada bidang fisik/empiris. Secara ontology sains hanya beorientasi kepada obyek fisik/empiris sedangkan obyek metafisis tidak dapat diterapkan secara valid. Kita tidak bisa terus bertahan dan bergantung dengan supremasi sains dan metode ilmiah untuk mendapatkan kebenaran spiritual (haqqul yaqin). Sains dan metode ilmiah hanya menunjukkan tanda-tanda atas keberadaan "Tuhan" di alam semesta. Namun sains dan metode ilmiah tidak mungkin bisa menguji "Ketuhanan" yang mutlak (absolute) dan tidak terbatas (infinite).
Tidak terlihat bukan berarti tidak ada, tidak terbukti secara ilmiah bukan berarti itu tidak ada. Ini adalah logical fallacy yang berupa argumentum ad ignorantiam, menganggap Ketuhanan tidak ada karena tidak terlihat atau tidak terbukti secara ilmiah, atau menganggap Ketuhanan itu hanyalah god of the gaps ketika sains dan teknologi belum masuk ke ranah itu. Ini bukan god of the gap karena selama dalam koridor manusia dan alam semesta yang maya (illusive) dan terbatas (relative), mau pengetahuan sains dan kemampuan teknologi secanggih apapun, bila masih mendasarkan petunjuk dan kebenaran hanya dengan pikiran maka ruang 'god of the gap' itu akan selalu ada. Untuk alam semesta yang maya (illusive) dan terbatas (relative) ini saja, masih banyak sekali hal yang tidak kita ketahui bukan? Apalagi menjangkau yang absolute (mutlak) dan tidak terbatas (infinite). "Ketuhanan" sejatinya tidak bisa diinderakan manusia, tidak mengenal batasan dan tidak bisa disamakan/diserupakan dengan apapun juga. "Ketuhanan" yang sebenarnya, tidak bisa di define/dibatasi dalam ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Sifatnya adalah mutlak (absolute) dan tidak terbatas (infinite) dan tidak ada sesuatupun yang menyamaiNya (laitsa kamistlihi/tan keno kinoyo ngopo). "Ketuhanan" yang sebenarnya, bersifat “the undefined”, tidak bisa diberikan batas-batas atau dikurung dalam kategori apapun. Kita tidak akan bisa mendefinisikanNya atau membatasiNya. Bila masih bisa didefinisikan, dikurung dalam kategori, diberikan batas-batas dalam ruang waktu, materi, energi dan informasi maka itu di sebut makhluk, bukan Ketuhanan. Bilang bahwa akan beriman kepada Ketuhanan kalau melihat dengan kasat mata secara materi atau bisa dibuktikan secara ilmiah, ini hanya prank saja. Kalaupun Ketuhanan menampakkan diri seperti obyek 3 (tiga) dimensi, walaupun ini tidak mungkin, belum tentu juga beriman. Berapa banyak Rasul, Nabi dan orang-orang tercerahkan menunjukkan kebenaran dan mukjizat Ketuhanan dengan kekuatan di luar batas kemampuan manusia seperti menghidupkan orang mati misalnya, namun ditertawakan, dituduh sihir dan dibunuh.
Tidak semua hal harus dipahami dan tidak semua hal bisa diterima pikiran. Kenikmatan hidup tidak hanya ketika kita mengetahui, namun ketika kita tidak mengetahui dan menjalani proses misterinya itu juga kenikmatan hidup. Yang penting itu tidak hanya pengetahuan, ketidaktahuan itu juga penting. Berapa banyak kita dapati orang yang terlalu banyak mengetahui justru semakin menderita oleh pengetahuannya sendiri. Ketika kita sudah membaca semua literatur di dunia ini, bahkan hidup 1000 tahun untuk melakukan penelitian ilmiah, masih jauh lebih banyak hal yang tidak kita ketahui atas alam semesta yang relative ini, belum lagi yang diluar jangkauan pikiran dan metode ilmiah. Pengetahuan kita terbatas, sebaliknya ketidaktahuan kita sebenarnya tidak terbatas. Dan seringkali kita tidak menyadari bahwa pemahaman yang kita anggap kebenaran adalah kesalahan yang tidak kita pahami. Sesungguhnya, kecerdasan manusia berada dalam kondisi terbaiknya ketika menyadari bahwa dirinya tidak tahu. Ketika kita menyadari "saya tidak tahu" kita rendah hati, seperti gelas kosong akan mudah di isi, kita akan curious memperhatikan, kita tidak akan berdebat atau berkelahi dan kecerdasan kita akan jauh lebih aktif. Jika kita berpikir bahwa kita orang pandai bagaimana mungkin akan di isi ilmu dan kebenaran? Kesombongan intelektual membuat diri kita akan selalu ramai dengan ribuan pikiran yang melintas dan terus akan berputar yang sebenarnya banyak memori sampah dan data lama yang tidak banyak berguna dalam kehidupan. Maha Suci "Ketuhanan" yang menjadikan jalan bagi kita untuk mengenalNya melalui ketidakmampuan kita mengenalNya melalui gagasan kita, pikiran kita, konsep kita, metode ilmiah kita, imajinasi kita yang terbatas kecuali me"nol"kan ego kita, identitas kita dan semua fenomena kita hingga fana, anicca, larut, hilang, melebur dalam noumena dan menyatu dengan-Nya.
Proses ber"Ketuhanan" sendiri tidak cukup hanya menggunakan pikiran. "Ketuhanan" sejati bukan produk pikiran. Pikiran hanya memberikan tanda-tanda "Ketuhanan". Memahami "Ketuhanan" hanya dengan mengandalkan pikiran justru akan membatasi pemahaman kita tentang "Ketuhanan". Pikiran hanya mengantarkan pada pengakuan atas adanya "Ketuhanan" melalui tanda-tandaNya di alam semesta dan tubuh kita. Noumena "Ketuhanan" tidak bisa ditangkap oleh kesan-kesan inderawi bahkan tidak bisa dijangkau oleh rasio yang kapasitasnya dibatasi fenomena ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Tidak bisa di logika atau dijangkau dengan cara berpikir seperti obyek 3 (tiga) dimensi. Bila menggunakan pikiran saja, akan terjadi dualisme epistemologis, yaitu pemisahan antara Ketuhanan dan kehidupan. Padahal dalam konsep wujud "Ketuhanan" yang absolute sempurna dan tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi, harusnya tidak ada pemisahan antara Ketuhanan dan kehidupan karena merupakan satu keutuhan. Bila hanya mengandalkan pikiran, akan ada jurang lebar antara "Ketuhanan" dan kehidupan. Hal ini justru mereduksi konsep absolute-infinite sempurna "Ketuhanan" yang tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi serta menganggap "Ketuhanan" hanya sebatas sosok pencipta dan penggerak awal alam semesta setelah itu tidak melakukan apa-apa atau seperti tukang bangunan yang berada di luar karyanya.
Untuk memahami alam semesta tidak cukup hanya dengan pendekatan empiris dan mendasarkan pada panca indera dan kecerdasan pikiran. Kecerdasan pikiran hanya berkontribusi sekitar 12% bagi kehidupan, selebihnya ditentukan kecerdasan lain. Kecerdasan pikiran (thinking mind) seringkali melekat dengan ego, ambisi, memori, ketakutan dan kekhawatiran. Mendasarkan petunjuk dan kebenaran hanya dengan pikiran sering membuat hampa dan tersesat. Seringkali justru kecerdasan spiritual-lah yang lebih kuat dan berani untuk menjadi “kompas” pengambilan keputusan arah dan langkah kehidupan kita pada kehidupan yang lebih sadar, bahagia dan bermakna. Blueprint koordinat kita manusia adalah makhluk spiritual yang memiliki sifat utama keberlimpahan, cinta dan kebahagiaan. Ber"Ketuhanan" bukanlah pilihan, namun kehidupan ber"Ketuhanan" itu adalah jati diri kita yang sebenarnya. Hanya saja tidak kita sadari. Semua arah hidup manusia, disadari atau tidak disadari, sukarela atau terpaksa defaultnya tidak akan pernah lepas dari Ketuhanan. Namun pengalaman ber"Ketuhanan" tersebut banyak terhijab dan terdistraksi riuhnya ego, keinginan, hawa nafsu serta ilusi fenomena duniawi. Ber-"Ketuhanan" adalah menjadi diri sejati kita, mengalami perwujudanNya dalam kehidupan, mengalami esensi dan manifestasi keberlimpahan, cinta dan kebahagiaan dalam kehidupan. Inilah tujuan diatas tujuan semua kehidupan kita. Bila kita sadari lebih lanjut, kecerdasan pikiran kita tidak akan begitu berarti lagi dalam 20-30 tahun mendatang, karena komputer dan teknologi artificial intelligent (AI) dapat menjelajah semua permutasi dan kombinasi lebih cepat dan lebih baik daripada yang dapat pikiran manusia lakukan. Ada dimensi kecerdasan lain yang jauh lebih tinggi daripada pemikiran kita, intelektual kita, bahkan imajinasi kita, yakni dimensi kecerdasan spiritual. Jika kita sadar bahwa kita bodoh dan tidak mengetahui apapun di alam semesta ini kecuali hanya secuil, barulah kita menyadari betapa menakjubkan kehidupan ini. Maka perlahan ada jarak antara kesadaran murni diri kita dengan pikiran dan perasaan kita berikut proses psikologisnya. Diri kita mulai melepaskan kemelekatan terhadap ego, keinginan dan hawa nafsu berikut dinamika emosi yang mengikutinya. Diri kita akan hening dan jernih. Ketika diri kita hening dan jernih, kesadaran murni kita mulai bangkit dan hidup.
Pemahaman "keberadaan" menggunakan pendekatan epistemologi empiris - rasional adalah pemahaman bahwa "keberadaan" itu adalah segala sesuatu yang bisa diserap oleh pancaindera dan bisa dibuktikan secara ilmiah. Pendekatan ini selalu berorientasi pada fenomena obyek fisik. Pemahaman "keberadaan" menggunakan pendekatan epistemologi metafisik maka "keberadaan" itu adalah segala sesuatu yang bisa diserap dan dibuktikan oleh kesadaran murni. Sebagaimana sudah disampaikan di atas bahwa di sistem limbik otak kita, disamping ada bagian rasio (hippocampus) namun juga ada bagian rasa (amygdala) yang bisa menyerap gelombang elektromagnet yang memancar di alam semesta. Kemudian ada yang disebut brain heart axis atau poros otak jantung yang bekerja baik secara hormonal maupun radiatif. Gelombang elektromagnetik jantung (heart) bersifat meng-amplifier gelombang elektromagenetik otak (brain). Dengan menyadari kesadaran murni kita maka jantung (heart) yang berada disekitar dada yang menghasilkan medan elektromagnetik tubuh yang lebih kuat dan berirama luas dibandingkan medan elektromagnetik yang dihasilkan oleh otak (brain) yang berada di sekitar kepala mampu mengakses di luar batasan fisik dan pikiran kita. Dalam hal komponen medan listrik, komponen medan listrik jantung sekitar 60 kali lebih besar dalam amplitudo dibandingkan komponen medan listrik otak dan menembus setiap sel dalam tubuh. Dalam hal komponen magnetik, komponen medan magnet jantung (heart) 5000 kali lebih kuat dari medan magnet otak dan dapat dideteksi beberapa meter jauhnya dari tubuh dengan sensitif magnetometer. Data baru dalam beberapa penelitian Institute of HeartMath menunjukkan bahwa jantung (heart) terlibat langsung dalam persepsi intuitif yang bisa mengakses informasi di luar batas ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Dalam desain eksperimen yang ketat ditemukan bukti kuat bahwa jantung (heart) menerima informasi "intuitif" ini sebelum otak (brain) dan dapat mengakses energi yang lebih halus dan informasi tentang objek dan peristiwa jauh di alam semesta bahkan bisa menembus noumena di luar fenomena ruang, waktu, materi, energi dan informasi. Karl H. Pribram, seorang profesor emeritus psikologi dan psikiatri di Stanford University menyebutnya sebagai "domain spektral", this is thought to be the basis for our consciousness of “the whole.”
Ketiga, mengalami "Ketuhanan" ?
Proses ber-"Ketuhanan" adalah proses spiritual, yakni proses kehidupan yang berkaitan dengan kesadaran murni sebagai kemampuan memahami sesuatu secara langsung (immediate knowledge) tanpa melalui gagasan kita, pikiran kita, konsep kita, metode ilmiah kita, imajinasi kita yang terbatas serta di luar proses mental pemikiran. Berkaitan erat dengan eksistensi kita. Sebenarnya mengalami "Ketuhanan" itu sederhana.. direct.. seketika..Pengalaman "Ketuhanan" adalah ketangkasan (knack) dalam menempatkan posisi. Apakah samudera timbul dan tenggelam seperti ombak? Tentu saja tidak, hanya ombaklah yang mengalami hal itu. Pengalaman Ketuhanan adalah berhenti...hening....dan akhirnya samudera sadar bahwa ia bukan ombak...ia adalah samudera yang melingkupi segala macam dinamika ombak. Dan pengalaman Ketuhanan adalah ketika samudera Kesadaran hadir seutuhnya sebagai samudera Kesadaran. Membuka kesadaran (open awareness), kembali ke sumbernya ombak dunia, tenggelam ke dalam samudera Kesadaran.