Diskursus G Peter Hoefnagels pada Skema "Kriminal Policy" di Ruang Publik di Indonesia
Cause of Crime:
Berikut penjelasan tentang Cause of Crime berdasarkan teori yang disebutkan:
1. Biologis / Psikologis
- Biologis: Menjelaskan bahwa kejahatan disebabkan oleh faktor genetik atau ciri fisik tertentu yang membuat seseorang lebih rentan melakukan kejahatan, seperti teori Lombroso yang menyebutkan bahwa pelaku kriminal memiliki karakteristik fisik khusus.
- Psikologis: Menekankan bahwa kejahatan disebabkan oleh gangguan mental, trauma psikologis, atau kepribadian abnormal. Misalnya, seseorang dengan gangguan kepribadian antisosial lebih cenderung melakukan tindakan kriminal.
2. Sosiologis
Teori ini melihat kejahatan sebagai hasil dari pengaruh lingkungan sosial, seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, atau norma sosial yang mendukung perilaku menyimpang. Misalnya, Teori Anomie dari Emile Durkheim menjelaskan bahwa kejahatan terjadi ketika norma sosial melemah dan individu kehilangan arahan.
3. Teori Penyimpangan Budaya
Menjelaskan bahwa kejahatan muncul karena adanya subkultur tertentu yang memiliki nilai dan norma yang berbeda dengan masyarakat umum. Subkultur ini mungkin melegitimasi atau membenarkan perilaku menyimpang, seperti kelompok geng yang memuliakan kekerasan.
4. Teori Kontrol Sosial
Teori ini berfokus pada faktor-faktor yang mencegah seseorang melakukan kejahatan. Travis Hirschi dalam Social Bond Theory menyatakan bahwa ikatan sosial yang kuat (seperti keterikatan pada keluarga, pekerjaan, atau sekolah) dapat mencegah perilaku kriminal.
5. Teori Lain
- Labelling Theory: Menyatakan bahwa seseorang menjadi pelaku kriminal karena diberi label atau stigma oleh masyarakat. Label ini membuat individu menginternalisasi identitas sebagai kriminal dan bertindak sesuai label tersebut.
- Conflict Theory: Menjelaskan bahwa kejahatan adalah hasil dari konflik antara kelas sosial, di mana kelompok dominan menggunakan hukum untuk menindas kelompok minoritas.
- Radical (Critical) Criminology: Mengkritik sistem kapitalisme yang menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan sosial, sehingga mendorong kejahatan sebagai bentuk perlawanan terhadap struktur sosial yang tidak adil.
Setiap teori menawarkan perspektif unik tentang penyebab kejahatan, yang dapat digunakan untuk mengembangkan kebijakan penanganan yang lebih efektif.
"Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime"
"Kebijakan kriminal adalah pengorganisasian yang rasional terhadap reaksi sosial terhadap kejahatan."
Dalam konteks ini, kebijakan kriminal merujuk pada cara masyarakat (melalui pemerintah, hukum, dan institusi) merespons kejahatan secara terencana, terukur, dan berbasis akal sehat. Respons ini tidak hanya melibatkan tindakan penegakan hukum atau pemberian hukuman, tetapi juga mencakup upaya pencegahan, rehabilitasi pelaku, dan perlindungan terhadap korban.
Pendekatan ini menekankan bahwa:
- Respons terhadap kejahatan harus terstruktur dan sistematis, tidak bersifat emosional atau acak.
- Tujuan akhirnya adalah mengurangi kejahatan dan dampaknya, dengan memanfaatkan pendekatan berbasis bukti dan melibatkan berbagai sektor masyarakat.
Konsep ini mencakup pendekatan penal (hukuman) dan non-penal (pencegahan dan intervensi sosial), sehingga menciptakan kebijakan kriminal yang holistik dan efektif.
G. Peter Hoefnagels adalah seorang ahli dalam bidang kebijakan kriminal (criminal policy) yang terkenal karena pendekatannya yang holistik dan teoritis terhadap pengendalian kejahatan. Ia mendefinisikan criminal policy sebagai cara rasional dalam mengorganisasi reaksi sosial terhadap kejahatan. Hoefnagels melihat kebijakan kriminal tidak hanya sebatas penegakan hukum, tetapi juga mencakup berbagai pendekatan untuk mencegah kejahatan dan mengelola konsekuensinya. Berikut adalah aspek utama dari gagasannya:
1. Criminal Policy as the Science of Responses
Kebijakan kriminal adalah ilmu tentang respons sosial terhadap kejahatan. Artinya, kebijakan ini mencakup seluruh tindakan atau reaksi masyarakat terhadap kejahatan, baik itu melalui hukum pidana, edukasi, rehabilitasi pelaku, maupun intervensi sosial lainnya. Kebijakan ini berupaya untuk menemukan respons yang paling efektif dan rasional terhadap berbagai jenis kejahatan.
2. Criminal Policy as the Science of Crime Prevention
Hoefnagels menekankan bahwa kebijakan kriminal harus lebih fokus pada pencegahan kejahatan daripada hanya menghukum pelaku. Pencegahan ini dapat berupa:
- Pendekatan preventif: Membentuk lingkungan sosial yang kondusif, seperti mengurangi kemiskinan dan ketimpangan.
- Edukasi publik: Memberikan kesadaran tentang bahaya dan konsekuensi kejahatan.
- Intervensi awal: Mendeteksi dan menangani penyebab kejahatan, seperti masalah kesehatan mental atau lingkungan yang buruk.
3. Criminal Policy as Designating Human Behaviour as Crime
Menurut Hoefnagels, kebijakan kriminal juga berkaitan dengan bagaimana suatu perilaku ditetapkan sebagai kejahatan. Ini adalah proses normatif di mana hukum pidana menentukan tindakan tertentu sebagai pelanggaran. Misalnya, legalisasi atau kriminalisasi suatu tindakan (seperti penggunaan narkotika atau tindak pidana pencemaran lingkungan) sangat dipengaruhi oleh nilai sosial, budaya, dan politik suatu masyarakat.
4. Criminal Policy as a Rational Total of the Responses to Crime
Hoefnagels mendefinisikan kebijakan kriminal sebagai keseluruhan respons yang rasional terhadap kejahatan. Hal ini berarti semua upaya dalam menangani kejahatan---dari pencegahan, penegakan hukum, hingga rehabilitasi---harus dirancang secara terkoordinasi, efisien, dan berbasis bukti. Tidak hanya pendekatan hukum yang diperhatikan, tetapi juga faktor sosial, ekonomi, dan budaya.
Relevansi di Indonesia
Di Indonesia, pemikiran G. Peter Hoefnagels ini dapat diterapkan dalam berbagai aspek kebijakan kriminal, seperti:
- Penegakan hukum berbasis bukti: Fokus pada penanganan kasus korupsi, narkotika, dan terorisme dengan metode yang terukur.
- Pencegahan kejahatan: Edukasi masyarakat, penguatan institusi sosial, dan perbaikan kondisi ekonomi.
- Kriminalisasi perilaku: Diskursus mengenai apa yang seharusnya dikategorikan sebagai tindak pidana, seperti hukum pidana lingkungan atau perlindungan terhadap kelompok rentan.
Gagasan Hoefnagels memberikan pandangan bahwa penanganan kejahatan harus melibatkan pendekatan lintas sektor dan berbasis rasionalitas untuk mencapai hasil yang optimal.
Criminal Policy adalah kebijakan yang berfokus pada upaya rasional dan terorganisir dalam merespons, mencegah, dan mengatasi kejahatan dalam masyarakat. Kebijakan ini mencakup semua pendekatan yang digunakan untuk menangani kejahatan, baik melalui penal policy (kebijakan pidana) maupun non-penal policy (kebijakan non-pidana).
Berikut penjelasan masing-masing konsep:
1. Criminal Policy
Criminal policy mencakup berbagai tindakan yang bertujuan untuk mengontrol dan mencegah kejahatan serta mengelola dampaknya. Gagasan ini mencakup pendekatan preventif dan represif. Menurut G. Peter Hoefnagels, criminal policy meliputi:
- Penegakan hukum (law enforcement): Menanggulangi kejahatan melalui sistem peradilan pidana.
- Pencegahan kejahatan: Menghindari kejahatan dengan menciptakan kondisi sosial yang lebih baik, seperti pendidikan dan pengentasan kemiskinan.
- Pengelolaan sosial: Mengontrol perilaku masyarakat melalui norma sosial dan nilai-nilai budaya.
2. Penal Policy (Kebijakan Penal)
Definisi:
Penal policy adalah pendekatan yang menggunakan instrumen hukum pidana untuk menangani kejahatan. Fokusnya adalah pada penindakan, penghukuman, dan pemberian efek jera kepada pelaku.
Ciri-ciri Penal Policy:
- Berbasis pada hukuman (punishment): Dapat berupa pidana penjara, denda, atau hukuman lainnya.
- Bersifat represif (reaktif): Menanggapi kejahatan yang sudah terjadi.
- Dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim.
Contoh Penal Policy:
- Penindakan korupsi dengan menjatuhkan hukuman penjara.
- Penerapan hukuman mati pada kasus narkotika berat di beberapa negara.
3. Non-Penal Policy (Kebijakan Non-Penal)
Definisi:
Non-penal policy adalah pendekatan yang menggunakan instrumen non-pidana untuk mencegah atau mengurangi kejahatan. Fokusnya adalah pada upaya preventif dan penanganan akar masalah kejahatan.
Ciri-ciri Non-Penal Policy:
- Bersifat preventif (pencegahan): Bertujuan untuk mencegah kejahatan sebelum terjadi.
- Mengatasi faktor-faktor penyebab kejahatan, seperti kemiskinan, pengangguran, atau ketimpangan sosial.
- Melibatkan sektor sosial, ekonomi, dan budaya.
Contoh Non-Penal Policy:
- Program pendidikan antikorupsi di sekolah.
- Penyediaan lapangan kerja untuk mengurangi kriminalitas akibat pengangguran.
- Peningkatan kualitas penerangan di jalan umum untuk mencegah tindak kejahatan jalanan.
Perbedaan Penal dan Non-Penal Policy
Aspek Penal Policy Non-Penal Policy
Tujuan UtamaMemberikan hukuman dan efek jeraMencegah kejahatan sebelum terjadiInstrumenHukum pidana, seperti KUHPProgram sosial, ekonomi, dan edukasiSifatReaktif (respon terhadap kejahatan)Proaktif (pencegahan)ContohHukuman penjara untuk koruptorEdukasi antikorupsi kepada masyarakat
Kedua pendekatan ini saling melengkapi. Penal policy penting untuk memberikan efek jera dan menegakkan hukum, sedangkan non-penal policy bertujuan untuk mengatasi akar masalah kejahatan sehingga dapat menciptakan masyarakat yang lebih aman dan adil. Kombinasi keduanya diperlukan untuk menciptakan kebijakan kriminal yang efektif.
Criminology
Kriminologi (Criminology) adalah ilmu yang mempelajari kejahatan, pelaku kejahatan, korban, serta sistem peradilan pidana secara ilmiah. Kriminologi mencakup berbagai pendekatan untuk memahami sebab, konsekuensi, pola, dan cara pencegahan kejahatan dalam masyarakat.
Aspek Utama Kriminologi
Definisi Kejahatan:Kriminologi mengkaji apa yang dianggap sebagai kejahatan di berbagai masyarakat dan budaya. Definisi kejahatan tidak hanya bersifat legal (pelanggaran hukum) tetapi juga dapat dipengaruhi oleh norma sosial dan moral.
Penyebab Kejahatan:Kriminologi bertujuan untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan kejahatan. Faktor-faktor ini meliputi:
- Biologis: Genetik atau ciri fisik tertentu.
- Psikologis: Gangguan mental, trauma, atau kepribadian.
- Sosiologis: Kemiskinan, ketimpangan, pengaruh lingkungan, atau subkultur kejahatan.
Perilaku Pelaku dan Korban:
- Mengidentifikasi karakteristik pelaku kejahatan dan motif mereka.
- Mempelajari korban kejahatan untuk memahami pola kejahatan dan bagaimana melindungi kelompok rentan.
Pencegahan Kejahatan:Kriminologi memberikan masukan untuk mengembangkan strategi dan kebijakan yang dapat mencegah atau mengurangi kejahatan.
Sistem Peradilan Pidana:Menganalisis fungsi dan efektivitas polisi, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan dalam menangani kejahatan.
Cabang Utama Kriminologi
Kriminologi Teoretis:
Mencakup teori-teori tentang penyebab dan dinamika kejahatan, seperti teori kontrol sosial, teori labeling, teori konflik, dan teori anomie.Kriminologi Terapan:
Menggunakan penelitian dan teori kriminologi untuk mengembangkan kebijakan publik, peraturan, dan program pencegahan kejahatan.Kriminologi Komparatif:
Membandingkan pola kejahatan dan respons terhadap kejahatan di berbagai negara dan budaya.Kriminologi Klinis:
Fokus pada rehabilitasi pelaku kejahatan dan mempelajari penyebab individu melakukan kejahatan.Kriminologi Kritis:
Mengkritik bagaimana sistem hukum dan peradilan sering kali mencerminkan ketidakadilan sosial, seperti melalui diskriminasi terhadap kelompok tertentu.
Tujuan Kriminologi
Mengenali Pola Kejahatan:
Mengidentifikasi pola kejahatan di masyarakat untuk memahami penyebabnya.Mencegah Kejahatan:
Memberikan solusi berbasis penelitian untuk mengurangi tingkat kejahatan.Meningkatkan Keadilan Sosial:
Mengkritik dan memperbaiki sistem peradilan pidana agar lebih adil dan inklusif.Melindungi Korban:
Memberikan perlindungan dan dukungan kepada korban kejahatan serta memahami peran mereka dalam dinamika kejahatan.
Contoh Aplikasi Kriminologi
Penelitian Penyebab Kriminalitas:
Studi tentang bagaimana kemiskinan atau urbanisasi berkontribusi pada tingkat kejahatan.Pengembangan Program Pencegahan:
Program pendidikan antinarkoba di sekolah atau pengawasan lingkungan untuk mengurangi kriminalitas.Evaluasi Sistem Hukum:
Menganalisis keefektifan hukuman penjara dalam mencegah kejahatan.
Penologi
Penologi (Penology) adalah cabang ilmu kriminologi yang mempelajari sistem dan praktik penghukuman terhadap pelaku kejahatan. Fokus utama penologi adalah menganalisis tujuan, efektivitas, serta dampak dari berbagai bentuk hukuman, termasuk bagaimana hukuman diterapkan dan cara terbaik untuk merehabilitasi pelaku kejahatan agar dapat kembali ke masyarakat.
Pengertian Penologi
Kata "penologi" berasal dari bahasa Latin poena yang berarti hukuman, dan bahasa Yunani logos yang berarti studi atau ilmu. Dengan demikian, penologi adalah ilmu yang mempelajari hukuman atau sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku tindak pidana.
Aspek Utama dalam Penologi
- Tujuan Hukuman
Penologi berupaya memahami mengapa hukuman diberikan kepada pelaku kejahatan. Beberapa tujuan utama hukuman meliputi:- Retribusi: Hukuman diberikan sebagai balasan atas kejahatan yang dilakukan, dengan dasar bahwa pelaku "layak dihukum."
- Deterrence (Pencegahan): Hukuman dirancang untuk mencegah pelaku (pencegahan khusus) dan masyarakat umum (pencegahan umum) agar tidak melakukan kejahatan.
- Rehabilitasi: Mengupayakan pemulihan atau perubahan perilaku pelaku agar dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif.
- Incapacitation (Penahanan): Menghilangkan kemampuan pelaku untuk melakukan kejahatan lebih lanjut dengan menahan atau membatasi kebebasannya.
- Restorasi (Keadilan Restoratif): Fokus pada pemulihan kerugian korban dan rekonsiliasi antara pelaku, korban, dan masyarakat.
- Metode dan Bentuk Hukuman
Penologi juga mempelajari berbagai bentuk hukuman yang diterapkan dalam sistem peradilan pidana, seperti:- Hukuman penjara.
- Hukuman mati.
- Hukuman denda.
- Kerja sosial.
- Program rehabilitasi atau perawatan (seperti terapi bagi pecandu narkoba).
- Sistem Pemasyarakatan
Penologi meneliti fungsi lembaga pemasyarakatan (penjara) dan dampaknya pada pelaku kejahatan. Studi ini mencakup:- Kondisi penjara dan hak-hak narapidana.
- Tingkat keberhasilan program rehabilitasi.
- Fenomena seperti kekerasan di dalam penjara atau dampak hukuman penjara terhadap pelaku.
- Kritik terhadap Sistem Hukuman
Penologi sering kali mengkritik kelemahan dalam sistem penghukuman, seperti:- Overcrowding (kelebihan kapasitas) di penjara.
- Ketidakadilan dalam penerapan hukuman (misalnya diskriminasi berdasarkan ras, kelas sosial, atau gender).
- Kurangnya program rehabilitasi yang efektif.
- Tingginya tingkat residivisme (pengulangan tindak pidana).
Perkembangan dalam Penologi
Penologi modern tidak hanya berfokus pada penghukuman, tetapi juga pada reformasi sistem pidana untuk mencapai keseimbangan antara menghukum pelaku, melindungi masyarakat, dan memulihkan korban. Pendekatan baru yang berkembang termasuk:
- Keadilan Restoratif: Pendekatan yang menekankan dialog dan rekonsiliasi antara pelaku, korban, dan masyarakat.
- Diversi: Mengarahkan pelaku (terutama anak-anak) ke program rehabilitasi daripada penjara.
- Alternatif Hukuman: Penggunaan hukuman seperti kerja sosial atau pemulihan komunitas untuk mengurangi ketergantungan pada hukuman penjara.
Hubungan Penologi dengan Kriminologi
Penologi adalah salah satu cabang dari kriminologi. Jika kriminologi mempelajari kejahatan, penyebabnya, dan dinamika sosialnya, penologi lebih spesifik dalam menganalisis bagaimana sistem peradilan menangani pelaku setelah kejahatan terjadi.
Sumber:
"The Other Side of Criminology" oleh G. Peter Hoefnagels
"Criminology" oleh Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey
"Penology and Correctional Administration" oleh N.V. Paranjape
Jurnal "Criminology & Criminal Justice"Â
"British Journal of Criminology"Â
Artikel di jurnal Crime, Law, and Social Change
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI