“Namamu siapa?” tanya Pak RW.
“Rodan.”
“Kamu tinggal dimana?”
“Kampung Sumur.”
Jawaban Rodan langsung mendapat tanggapan dari seluruh warga. Seluruh warga memang tahu betul kalau kampung Sumur memang area pemukiman para pemulung. Mereka banyak tinggal di gubug triplek apa adanya. Bahkan banyak pula yang tinggal di gubuk-gubuk kardus.
Selama ini tak ada yang berani masuk ke Kampung Sumur. Karena kabarnya, di Kampung yang masih masuk wilayah ibukota ini tak ada hukum. Siapa yang kuat maka ia akan berkuasa di Kampung itu. Banyak yang tertangkap polisi sebagai pencuri juga berasal dari Kampung kumuh itu.
Banyak warga Kampung Sumur yang malu mengakui kalau dirinya tinggal di kampung Sumur. Kalau sampai berani mengaku berasal dari kampung sumur, maka hanya ada dua kemungkinan. Pertama, langsung ditakuti. Kedua, dicurigai.
Tapi anak pemulung ini malah berani mengaku dari Kampung Sumur. Sehingga wajah-wajah yang berkumpul di balai warga itu terbelah dua. Ada yang takut. Siapa yang tak takut kalau berani berurusan dengan warga Kampung Sumur berarti akan menjadi sasaran balas dendam. Beberap tahun lalu saja ada tewas dibacok saat pergi ke mall hanya karena dia pernah meneriaki warga kampung sumur dengan teriakan maling, padahal memang yang diteriaki itu maling beneran. Tapi si maling menjadi dendam. Sehingga banyak warga yang takut dan tak mau berurusan dengan warga Kampung Sumur. Apa pun bentuknya.
“Kenapa kamu mencuri?” tanya Pak Sapto yang menjadi satpam lingkungan.
“Saya tidak mencuri Pak,” jawab Rodan.
“Nyatanya kamu tertangkap basah sedang mencuri!”