Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Semua Sudah Takdir

19 Juli 2015   16:22 Diperbarui: 19 Juli 2015   16:22 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Malam terus merambat turun.  Dingin.  Sepi.  Tapi belum juga ada tanda-tanda orang yang ditunggu.  Lima tubuh yang kedinginan itu tetap berusaha untuk tetap tersembunyi. 

Sudah lima malam mereka melakukan pengintaian.  Dan selalu saja gagal.  Sepertinya, tindakan kelima sekawan itu telah tercium oleh sasaran sehingga sasaran tak datang.  Sudah hampir kecewa.  Bahkan mereka tak akan melakukan pengintaian lagi, jika pada malam kelima ini juga hanya menemui suasana sepi nan dingin.

“Awas!” teriak Zaki.

Keempat kawannya langsung waspada.  Rido yang daritadi duduk sambil menepok-nepok nyamuk langsung bersembunyi.  Ramadan yang sedang bersiul langsung menghentikan siulannya.  Bahkan Faiz langsung meloncat ke dalam semak hingga kakinya terkena duri.  Tapi tak berani teriak, hanya meringis sambil menahan rasa sakit.

“Ada apa?” tanya Ramadan.

“Kodok! Hahahahaaa....!” kata Zaki.

“Sialan kamu, Zak.  Aku pikir ada yang datang!” kata Faiz agak marah sambil meringis.

“Kenapa Iz?” tanya Rido.

“Kena duri.”

“Gara-gara kamu tuh, Ki,” kata Ramadan.

“Aku kan Cuma bilang awas!” Zaki tak mau disalahkan.

“Sssssssttt!” kata Ramadan sambil menunjuk ke arah uHadg gang.

Ada bayangan di uHadg gang.  Mereka segera bersembunyi kembali.  Betul.  Bayang-bayang itu bayangan seorang pemulung.  Orang yang mungkin sedang ditunggunya selama lima malam ini.

“Bagaimana?”

“Tunggu dulu.”

Pemulung itu tak sadar kalau ada lima pasang mata memperhatikannya.  Dia terlihat santai.  Tak mencurigai sekeliling.

“Ikuti terus!” suruh Zaki.

“Kemana dia?” tanya Faiz.

Berlima terus mengikuti langkah pemulung itu.  Dengan sembunyi-sembunyi tentunya.  Sudah satu minggu kelima anak muda ini mengintai.  Baru pagi ini, mereka melihat pemulung itu.  Membuka tong sampah di tiap rumah.  Membuka dan menutupnya kembali.  Pelan-pelan.  Seperti hendak menghilangkan segala kemungkinan bunyi.

“Mungkin bukan dia, Ki,” Faiz mulai ragu.

“Memang kenapa?” tanya Ramadan.

“Menutup tong sampahnya saja selalu berhati-hati.  Sepertinya dia tak ingin mengganggu si penghuni rumah,” kata Faiz.

“Justru ia sedang berusaha untuk tak membuat curiga si punya rumah,” kata Zaki agak marah kepada Faiz. 

“Terus bagaimana?” tanya Ramadan.

“Kita sergap saja!” perintah Zaki.

“Tapi kita tak punya bukti apa-apa,” bantah Faiz.

“Kedatangan dia ke sini saja sudah menjadi bukti!” Zaki tetap mau kalah.

Sesampainya di depan rumah Zaki, pemulung itu mendekati sepatu Zaki yang diletakkan di dekat tong sampah.  Sepatu itu masih bagus.  Tidak dibuang.  Sengaja diletakkan tak jauh dari tong sampah.  Kalau melihat sepintas, sepatu itu seperti sudah dibuang oleh pemiliknya.  Siapa pun pemulungnya, pasti akan mengambil sepatu itu karena masih tampak bagus.

Dengan hati-hati pemulung itu mengambil sepatu itu.  Diambilnya tapi tak dimasukkan ke dalam karung yang dibawanya.  Sepatu itu hendak dimasukkan posisinya sehingga tak terlalu mencolok kalau ada pemulung lain.

Baru saja dia memasukkan posisi sepatu, kelima anak yang dari tadi mengawasi langsung menyergapnya.

“Jangan lari kamu!” kata Zaki.

“Heh, maling!  Jangan pura-pura jadi pemulung deh!” tambah Ramadan.

“Pasti kamu yang dalam seminggu ini beroperasi  di lingkungan sini kan?!” tambah Rido.

Pemulung itu tampak kebingungan.  Tak bisa berkata-apa.  Hanya diam dengan sorot mata ketakutan.

Bluk!  Tahu-tahu Zaki sudah mendaratkan bogem mentahnya ke perut si pemulung itu.  Bluk!  Bluk!  Bluk!  Tiga temannya juga tak mau ketinggalan.  Hany Faiz yang tak mau ikut-ikutan.

“Hai, kalian jangan main hakim sendiri!” kata Faiz sambil mencoba melerai pengeroyokan itu.

“Biar kapok dia, Iz!” kata Ramadan.

“Belum tentu dia yang selama ini mencuri di sini!” kata Faiz sambil terus melindungi pemulung sial itu agar tak dihajar keempat kawannya itu.

“Tadi kita lihat sendiri dia mengambil sepatu Zaki!” kata Rido.

“Zaki sendiri yang salah,” kata Faiz.

“Kok kamu malah menyalahkan aku, Iz?” kata Zaki.

“Karena kamu taruh sepatumu di samping tong sampah, siapa pun pemulungnya, dia pasti akan menganggap kalau sepatumu itu sudah dibuang!” kata Faiz.

Ribut-ribut itu membuat warga berkumpul.  Pemulung itu pun dibawa ke balai warga yang ada tak jauh dari temapt kejadian.  Mulut pemulung itu mengeluarkan darah segar.  Matanya juga tampak lebam.  Ia berjalan tertatih sambil memegangi perutnya yang kesakitan.

Warga pun semakin banyak yang datang.  Mereka ingin tahu apa yang terjadi.  Ketika ada yang berkata kalau yang tertangkap adalah pencuri yang selama ini mencuri di lingkungan mereka, warga pun tampak geram.  Bahkan ada yang membawa bensin.  Hendak dipergunakan untuk membakar pencuri itu.  Untung ada yang segera mencegahnya.  Sehingga, tak terjadi  hal itu.

“Namamu siapa?” tanya Pak RW.

“Rodan.”

“Kamu tinggal dimana?”

“Kampung Sumur.”

Jawaban Rodan langsung mendapat tanggapan dari seluruh warga.  Seluruh warga memang tahu betul kalau kampung Sumur memang area pemukiman para pemulung.  Mereka banyak tinggal di gubug triplek apa adanya.  Bahkan banyak pula yang tinggal di gubuk-gubuk kardus.

Selama ini tak ada yang berani masuk ke Kampung Sumur.  Karena kabarnya, di Kampung yang masih masuk wilayah ibukota ini tak ada hukum.  Siapa yang kuat maka ia akan berkuasa di Kampung itu.  Banyak yang tertangkap polisi sebagai pencuri juga berasal dari Kampung kumuh itu. 

Banyak warga Kampung Sumur yang malu mengakui kalau dirinya tinggal di kampung Sumur.  Kalau sampai berani mengaku berasal dari kampung sumur, maka hanya ada dua kemungkinan.  Pertama, langsung ditakuti.  Kedua, dicurigai.

Tapi anak pemulung ini malah berani mengaku dari Kampung Sumur.  Sehingga wajah-wajah yang berkumpul di balai warga itu terbelah dua.  Ada yang takut.  Siapa yang tak takut kalau berani berurusan dengan warga Kampung Sumur berarti akan menjadi sasaran balas dendam.  Beberap tahun lalu saja ada tewas dibacok saat pergi ke mall hanya karena dia pernah meneriaki warga kampung sumur dengan teriakan maling, padahal memang yang diteriaki itu maling beneran.  Tapi si maling menjadi dendam.  Sehingga banyak warga yang takut dan tak mau berurusan dengan warga Kampung Sumur.  Apa pun bentuknya.

“Kenapa kamu mencuri?” tanya Pak Sapto yang menjadi satpam lingkungan.

“Saya tidak mencuri Pak,” jawab Rodan.

“Nyatanya kamu tertangkap basah sedang mencuri!”

“Saya sedang memulung, Pak.”

“Sepatu itu?”

“Justru saya ingin mendorongnya masuk, biar tak ada yang mengambilnya. “

“Mendorong masuk atau mengaitnya!” bentak Zaki.

“Seumur-umur, saya belum pernah mencuri, Mas.”

“Kecuali seminggu ini?! Di lingkuingan sini!” bentak Zaki.

“Kemana kamu seminggu ini?” tanya Rido.

“Sudah seminggu saya sakit. Sekarang juga masih sakit,” jawab Rodan.

“Kenapa sakit kamu pas setelah Pak Santoso kehilangan sepeda, ya?  Kamu pasti sengaja tidak nongol selama seminggu agar kami lupa semua kan?!” bentak Zaki sambil hendak memukulnya.

“Zaki, tak boleh kamu main hakim sendiri.  Kita cukup menanyainya saja, tak usah main pukul,” cegah Pak RW.

“Tapi aku kesel banget lihat mukanya, Pak,” kata Zaki yang mencoba menahan marahnya karena tak enak sama Pak RW.

“Eh, Rodan.  Kenapa kamu?” tanya Ustad Choiron.

“Pak Ustad kenal dia?” tanya Pak RW.

“Kenallah.  Dia kan sering ikut salat jamaah subuh,” kata Ustad Choiron.

Warga yang berkumpul di balai RW pun menjadi malu sendiri.  Terutama Zaki.  Tapi lain dengan yang lain, Zaki masih dendam dengan Rodan.   Pemulung yang telah membuatnyua malu itu.

Tadinya Zaki sudah bangga bisa menangkap pencuri. Tapi malah berakhir malu karena pemulung itu malah rajin salat di musola.  Zaki sendiri tak pernah ikut jamaah.  Apalagi jamaah salat subuh.  Jalan ke musola saja mungkin sudah lupa.  Hanya setahun dua kali.  Kalau ada idul Fitri atau Idul Adha.  Itu pun kalau salat id-nya tak diadaklan di lapangan. Kalau salat id-nya di lapangan, maka hitungannya betul-betul menjadi nol.

***

Lebaran menjelang.  Semua begitu bersiap menyambutnya.  Walau salah.  Seharusnya bukan lebaran yang disambut tapi bulan Ramadhannya.  Tapi semuanya sudah salah kaprah.    Lebaran yang dikejar-kejar.  Sehingga banyak yang menganggap tak perlu puasa, yang penting ikut lebaran.

Satu hari lebaran.  Itulah peristiwanya.  Semua pasti akan terus mengingatnya.  Sebuah kebakaran besar terjadi di Rw 22.  Hampir tiga Rt ludes terbakar.  Tak menyisakan apa-apa kecuali abu. 

“Kebakaran!”

“Apa?”

Semua orang kalang kabut.  Tak tahu apa yang harus dilakukan.  Semua hanya tahu urusannya sendiri.  Sehingga api pun semakin membesar.  Mobil kebakaran juga datang terlambat.  Pas datang juga menjadi rebutan warga sehingga penyemprotan tak efektif.

Semua penduduk mengungsi. Di pengungsian itulah, Zaki bertemu kembali dengan Rodan.

Kejadiannya justru berkebalikan.  Karena pada saat ini, justru Zaki yang tertangkap oleh Rodan pada saat hendak mencuri supermi.

“Ada apa?” tanya Rodan kepada Zaki yang berdiri terpaku.  Ada lima bungkus indomi yang tercecer di antara kakinya.  Zaki memang kaget saat sedang mengambil indomi di tenda umum.  Sehingga lima indomi yang sudah sempat terambil langsung terlepas dari tangannya dan terserak begitu saja di antara kakinya.

“Ehm, ehm...,” Zaki tak bisa bicara.

“Sini kamu!” kata Roda.

Kaki Zaki tak bisa digerakkan.  Zaki ingat betul.  Belum ada sebulan.  Wajah itulah yanh telah dibentak dan dihajarnya.  Waktu itu, Zakilah yang berkuasa.  Zaki bisa membentak dan memukul.  Tanpa takut dibalas.  Sekarang berbalik.  Zaki yang tertangkap basah sedang mencuri.  Dan Zaki tak bisa berkata apa-apa karena memang tertangkap basah.  Bahkan buktinya masih ada di antara kakinya.

“Sini!” kata Rodan.  Tak ada rasa dendam.  Suaranya tenang.  Tapi Zaki tetap saja belum percaya.  Zaki masih terpaku dan tak berani menghampiri Rodan.

“Ada apa?” tanya seseorang kepada Rodan.

“Mati aku,” pikir Zaki.  Ada terlintas dalam pikirannya untuk melarikan diri.  Tapi segera diurungkan.  Karena takut risikonya akan lebih besar.  Zaki hanya pasrah.  Mungkin ini waktunya menerima balasan atas apa yang telah dilakukan kepada Rodan.

“Tak ada apa-apa,” jawab Rodan.

“Siapa yang berdiri di situ?” tanya orang itu lagi sambil menampakkan wajahnya.

“Temanku,” kata Rodan.

“Kenapa mie-nya berantakan?”

“Dia sedang ikut membantu kita,” kata Rodan lagi.

Agar tak menjadi lebih curiga, Zaki pun menghampiri Rodan. 

“Bawa ini ke dapur umum yang sebelah sana!” suruh Rodan,”Sekalian bereskan mi yang berantakan itu.”

Hati Zaki pun langsung bergetar.  Rodan.  Anak pemulung yang dulu pernah dianiayanya, sekarang telah menyelematkan dirinya.  Zaki merasa dirinya lebih rendah dari pemulung itu.  Bukan hanya kalah dalam salat berjamaah.  Sekarang kalah dua kosong.  Si pemulung itu, bahkan menjadi sukarelawan membantu dirinya saat dirinya justru mencoba mencuri.

“Kamu tak marah padaku?” tanya Zaki saat istirahat.

“Kenapa?”

“Aku kan pernah mengeroyokmu.”

“Semua itu kan sudah takdirku.”

“Kamu jadi sukarelawan?”

“Kan aku seorang pramuka.”

“Kamu sekolah?”

“Aku kelas delapan.”

“Di mana?”

“MTs Assyfa.”

Orang yang selama ini dipandang rendah ternyata lebih tinggi segala-galanya.  Baru dua minggu yang lalu, Zaki diskors karena tak masuk-masuk sekolah.  Apalagi setelah pada kenaikan kelas kemarin, Zaki harus bertelor lagi di kelas delapan untuk setahun lagi.

“Kenapa kamu menjadi pemulung?  Emang tak malu?”

“Demi sekolahku.  Apa pun akan aku lakukan.  Asal jangan mencuri.”

“Ah, aku yang tinggal sekolah dan tak usah mikiran biaya, malah menyia-nyiakan sekolah,” pikir Zaki.

Ada kelebat sesal.  Ada kelebat janji.  Dalam hati Zaki.  Sudah lama dia tak pernah merasa semenyesal seperti saat ini.

Mudah-mudahan masih ada kesempatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun