Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tak Semua Orang Bisa Dikibuli

19 Juli 2015   15:18 Diperbarui: 19 Juli 2015   15:18 1008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“Sesuatu yang tidak wajar pasti mengandung pemberontakan.  Misalnya saja masalah kentut.  Ka .....”

“Jangan kau bahas masalah kentut.  Kasih contoh yang lain!” potong Pak Iwan yang agak trauma dengan sesuatu yang bernama kentut pula. 

Oh iya, Pak Iwan memang pernah mengalami peristiwa yang tak mengenakkan karena kentut.  Peristiwanya begini.  Waktu itu, hari Senin pagi.  Semua tahu dong.  Setiap hari Senin pagi pasti ada kegiatan paling membosankan di seluruh sekolah di negeri ini.  Apalagi kalau bukan upacara bendera.

Pada saat kepala sekolah sedang memberikan sambutan, seluruh siswa pasti selalu diwajibkan diam sambil pura-pura mendengarkan segala omongan kepala sekolah yang tak penting itu.  Maka, selalu tercipta suasana hening saat kepala sekolah memberi sambutan.  Sekali lagi, bukan karena apa yang diomongkan kepala sekolah merupakan sesuatu yang penting dan sangat berguna.  Sama sekali bukan.  Omongan kepala sekolah masih seperti kaset rusak.  Mengulang kata-kata yang sudah dikatakan pada saat upacara hari Senin minggu kemarin dan kemarinnya lagi.  Tentunya ditambah dengan intonasi nenek-neneknya yang cempreng mirip panci ketendang kucing yang lari terbirit-birit sehabis berhasil mencuri sepotong ayam goreng.  Siswa diam lebih disebabkan takut pada guru olahraga yang berdiri di posisi paling belakang.  Siapa lagi kalau bukan Pak Iwan alias manusia push up itu.

Nah, pada saat suasana paling hening-heningnya itu, dari belakang terdengar jelas suara kentut.  Panjang dan cukup membahana.

“Duuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuutttttttttttttttt...!”

Segala muka pun menoleh ke belakang.  Dan di belakang seluruh siswa tak ada siapa pun kecuali Pak Iwan.  Mendadak sontak seluruh lapangan upacara bergetar dengan suara.  Suara yang jelas mencerminkan sebuah dendam yang sudah lama tak terbalaskan.  Dan tinggal Pak Iwan yang gelagapan.  Dengan wajah penuh kekalahan, beliau meninggalkan lapangan.  Dan itulah satu-satunya peristiwa yang membuat kami sering merasa rela jika kami harus nurut saat dihukum oleh Pak Iwan.  Karena kami sudah menertawakannya hingga panjang kali lebar sama dengan luas.

Sejak saat itu, Pak Iwan selalu tak suka dengan kata kentut.  Sejarah kelam yang terus dirawat dalam ingatannya.  Mungkin.

Galang pun menyadari sejarah gelap Pak Iwan dengan kentut.  Sehingga Galang berupaya menjelaskannya dengan memilih kata-kata lain yang lebih tak menyakitkan Pak Iwan.  Bagaimana pun juga, beliau ini adalah guru. 

“Begini, Pak.  Tadi ada suara pembuangan gas yang aneh dan menurut saya mengandung nuansa pemberontakan dari pelakunya.  Kami sebetulnya tak ingin dan tak pernah menertawai ken ..., eh, pembuangan gas tersebut.  Karena hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat wajar.  Karunia Tuhan yang justru harus disyukuri.  Tapi, penggunaannya sebagai sarana pemberontakan, yang menurut saya dan teman-teman menjadi sangat kreatif dan inovatif.  Belum pernah ada dalam sejarah, terutama yang ditulis dalam buku sejarah, entah kalau sejarawan enggan menuliskan sejarah tentang hal ini, seseorang melakukan pembrontakan melalui ken..., eh maaf, pembuangan gas ini,” panjang lebar Galang menjelaskan.

Pak Iwan yang terkesan dengan bahasa Galang, tak sempat memotong penjelasan Galang.  Pak Iwan justru tertarik dengan penjelasan Galang yang lumayan ilmiah itu.  Karena, ini hanya ada dalam hati Pak Iwan, kata-kata Galang cukup mewakili dirinya saat dulu bermasalah dengan ken..., eh, pembuangan gas itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun