“Takhayul!” kata Fina sambil monyongin bibirnya.
“Kamu boleh membuktikannya, tapiiii kamu juga harus siap dengan resikonya,” kata Galang dengan gaya percaya diri yang dipaksa-paksakan. Berdiri sambil menyelempangkan tangan di dada. Sebetulnya lebih mirip gaya Parto di acara Opera Van Java. Karena Galang memang sangat mengidolakan pelawak dengan logat Tegalnya itu.
Dan pada saat istirahat sudah usai, Fina pun mulai beraksi. Badan gendutnya itu tak mulas, tapi sangat bisa untuk menyimpan gas lebih dari cukup. Dan gas dalam perut Fina akan secara otomatis mendesak Fina agar segera mengeluarkannya. Tak peduli waktu dan tempat. Wajar. Gas yang keluar pertama sangat wajar. Tak bunyi. Demikian juga untuk yang kedua dan ketiga. Hanya sebuah desis belaka. Meski agak panjang desisnya.
Namun, tantangan Galang sangat meresahkan Fina. Mungkinkah hitungan keempat akan membuat seseorang celaka seperti disabdakan manusia paling urakan bernama Galang? Omong kosong! Dan Fina pun mulai beraksi. Dengan satu hentakan nafas, penuh tekanan, juga penuh perasaan. Maka bunyi itu pun nyaring sekali.
“Duuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuttttttttttttttttttttttttttttttt......!”
Bukan hanya nyaring, tapi juga panjaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnngggg sekali. Seluruh penghuni ruang kelas pasti mendengarnya. Dengan jelas pula. Karena sontak mendadak setelah Fina menghabiskan segala macam gas dalam perutnya, yang terdengar hanyalah suara bahak tawa seluruh isi kelas.
“Mantaappp...!” puji Galang yang selalu berminat pada segala yang aneh termasuk kentut Fina yang aneh itu.
Suara bahak itu mungkin tak masalah. Karena kelas delapan tiga memang sering dianggap oleh hampir semua guru sebagai gudangnya ribut. Selalu terbahak-bahak saat tertawa. Siapa lagi dalangnya kalau bukan si manusia dukun santet, Galang?
Ah, tak masalah. Yang menjadi masalah adalah karena pada saat yang sama, nongol wajah paling mencerminkan penjajah Belanda dalam hal kekejaman. Bengis dan dingin. Paling ditakuti di seluruh wilayah SMP Negeri 135. Bahkan ada yang bilang, kalau harus memilih lari kemana jika di depan ada macan dan di belakang ada dia, maka semua siswa SMP N 135 akan memilih lari menghadapi macan.
Dia adalah Pak Iwan. Guru olahraga yang benar-benar menghayati seluruh makna dari semboyan “mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga” itu. Sehingga, setiap kesalahan selalu harus ditebus dengan lima puluh kali push up atau lima puluh kali skot jump.
“Ada apa tertawa!” kata Pak Iwan dari ambang pintu