“Hamda, kamu jangan menangis, ya?” kata Bunda saat Hamda sampai di rumah.
“Hamda kan laki-laki, Bun. Pantang bagi laki-laki hebat sepertiku untuk menangis," kata Hamda sambil menepuk dada.
Sevi. Adik Hamda yang masih SD masih terisak. Bahkan suara isakannya sudah terdengar lirih sekali. Mungkin karena terlalu lama terisak. Sehingga suaranya sampai hilang.
Sevi. Adik perempuan yang terkadang lebih kuat dari Hamda ternyata menangis. Mungkin ada berita berat yang sudah didengar Sevi dari Bundanya.
“Ayah .. Hamda,” jelas Bunda.
“Kenapa dengan Ayah?”
“Ayah dituduh telah berbuat jahat. Sekarang ditahan. Mungkin mulai nanti malam, Ayah tak pulang.”
“Kenapa? Ayah tak mungkin berbuat jahat,” kata Hamda mencoba menguatkan hatinya yang hendak runtuh.
Hamda tahu persis Ayahnya. Disiplin. Apalagi kalau bicara tentang kejujuran. Apa pun yang terjadi, kejujuran harus diutamakan. Bahkan ketika berhadapan dengan pedang sekalipun. Ayah benci. Benci sekali terhadap kebohongan. Dengan alasan apa pun. Walau resikonya harus dibunuh, tetap harus jujur. Kapan pun dan di mana pun.
Maka, sangatlah mustahil kalau ayah dikatakan telah berbuat jahat.
“Ayah difitnah, Ham.”