Kejahatan fraud bisa tergolong ke dalam hukum pidana maupun hukum perdata.Â
Hukum pidana secara umum menyebut fraud dengan "Pencurian dengan penipuan" , "Pencurian dengan penggelapan dan penipuan" . "Penyelewengan yang dilakukan oleh pegawai bank" dan lain sebagainya.Â
Fraud dapat ditemukan dalam Pasal 362 KUHP Tentang Pencurian, Pasal 372 Tentang Penggelapan, Pasal 378 Tentang Perbuatan Curang.Â
Pasal 362 KUHP berbunyiÂ
"Barang siapa yang mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian punya orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah".Â
Pasal 372 KUHP berbunyi
"Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu"
Pasal 378 KUHP berbunyi
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun".
Perbuatan fraud dapat masuk ke dalam lingkup perdata jika korban yang merasa dirugikan ingin menuntut ganti rugi terhadap pelaku fraud. Misalkan Bank melakukan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum terhadap nasabahnya yang mengakibatkan nasabah tersebut mengalami kerugian baik secara material maupun non-material maka, nasabah tersebut dapat melakukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum terhadap bank terkait untuk mendapatkan hak-haknya kembali.
FRAUD MENJADI "PARASIT" DALAM BISNIS PERBANKAN