Ana menatap sendu meja di hadapannya. Berbeda beberapa meja dari tempat Ana duduk, disana terdapat keluarga kecil yang nampak sangat harmonis tengah bercengkrama.
Sang istri yang terus menatap penuh cinta kepada sang suami yang tidak diam dengan selalu menjahili seorang anak kecil berusia sekitar 3 tahun.Â
Anak itu memekik, saat sang ayah mendaratkan sebuah kelitikan pada pinggangnya "stop! Papa!" Ujar sang anak dengan tawa yang menderai.
Ana menghembuskan nafasnya, berat rasanya berhadapan dengan situasi ini. Ingin memutar balik tetapi sudah kepalang duduk. Jadi sudahlah, ia memilih untuk menyaksikannya saja.
Tak sengaja, pandangan Ana bertabrakan dengan ayah dari sang anak tersebut. Ana melihat laki-laki itu menatapnya dengan keterkejutan yang tak ditutupi.
Ana berusaha memalingkan wajah, memilih menatap jendela sebuah restoran cepat saji tempatnya makan siang kali ini.
Pikiran Ana dengan kurang ajarnya menarik raganya kembali, pada kejadian beberapa tahun silam. Menyelam kedalam lautan kilas balik kejadian saat itu, saat dimana Baru saja ia merasakan sebuah perasaan mengganggu di hatinya.Â
***
Ana berlari dengan tergopoh, menuju gedung olahraga sekolahnya. Gedung olahraga indoor yang berada di sekolahnya terdapat disebrang lapangan serbaguna. Gadis itu berlari tanpa menghiraukan tatapan aneh yang dilayangkan siswa siswi sekolahnya.
Ana mendobrak pintu, membuka dengan tergesa dan nafas yang terengah. Ana kemudian mengedarkan pandang keseluruh penjuru gedung olahraga ini. Matanya terpaku pada sosok pria yang tengah meringis sembari memegang kepalanya.
Ana menemukan apa yang ia cari, berlari kearah pria tersebut dan duduk di sebelahnya.
"Kamu kenapa bisa kaya gini sih!?" Seru Ana, nada bicaranya Sirat akan kekhawatiran.
Pria itu menoleh, menatap lembut Ana yang tengah menatapnya juga luka yang ada di wajahnya. Kemudian meraih tangan gadis itu.
"Gapapa, hanya luka kecil" ujar pria itu lembut, seraya jempolnya mengelus lengan Ana
"Gapapa gimana!? Orang sampai berdarah gini" nadanya kian lama kian bergetar.Â
Pria di hadapan Ana sangat tahu, bahwa gadisnya ini tengah menahan tangis. Diam-diam pria ini tersenyum menyadari sesuatu.
"Bener gapapa kok, tadi udah aku basuh pakai air di toilet" ujarnya sangat lembut.Â
Pria ini adalah Rangga, ia sangat paham betul bagaimana perangai kekasihnya, Ana. Gadis itu akan menangis jika terjadi dua hal, melihat darah dan juga mengalami kekhawatiran berlebih. Nah, dalam situasi ini Rangga tentu tidak bisa menghadapi Ana dengan ketegasan, pria itu memilih dengan sabar dan lembut menjawab semua rasa gundah gadisnya, gadis yang selalu berhasil membungakan hatinya.
"Itu berdarah lagi, Ngga. Masa cuma di kasih air aja sih!" Sungut Ana tidak terima, gadis itu sudah mengeluarkan isakkannya. Rangga hanya mengulum senyum sembari tangannya tak lepas menggenggam jemari Ana.
Gadis itu tiba-tiba bangkit dari duduknya "aku cari obat dulu, kamu tunggu sini" setelah mengucapkan kalimat itu, Ana melesat menghilang tertelan daun pintu yang tidak tertutup rapat.Â
Tak lama, gadis itu kembali dengan sekotak P3K yang dia pinjam dari UKS. Dengan telaten mengobati luka Rangga dengan jemari lentiknya.
Rangga menatap Ana lekat, Ana yang tengah fokus mengobati luka Rangga kini beralih menatap pria itu. Tatapan mereka bertemu, saling menyelam satu sama lain.Â
Bola mata kecoklatan milik Rangga terasa begitu indah di mata Ana. Irisnya yang begitu mengagumkan membuat Ana terbuai, tak sadar malah menangkup pipi pria itu.
"Jangan terluka lagi, aku orang yang paling sedih kalo liat kamu luka gini" ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca
Rangga hanya tersenyum menanggapi ucapan Ana.
Gadis itu menampilkan senyumnya untuk sang pujaan hatinya, cintanya, dunianya. Ya, Ana sangat mencintai Pria di hadapannya ini.Â
Rangga yang mengenalkan begitu banyak rasa padanya, Rangga yang menawarkan segala bentuk perhatian padanya, juga Ranggalah yang takkan pernah bisa menghilang dari ingatannya. Rangga begitu sangat berharga, Rangganya, cinta pertamanya.
Ana sangat yakin, kisah mereka akan berakhir bahagia. Sangat sangat yakin, hingga Ana lupa bahwa setiap cinta, akan sepaket dengan luka. Dan, ia tak pernah sadar bahwa Rangga juga berpotensi memberikan hal yang sama.
****
Ana mengerjap, pikirannya selalu seperti itu. Berkelana pada kejadian masa SMA dulu, saat ia baru pertama kali mengenal cinta pertamanya. Dan, ya, cinta pertamanya adalah Rangga. Rangganya yang kini sudah memiliki keluarga kecil yang indah, juga bahagia. Rangganya yang ternyata meninggalkan dirinya seorang diri, tersesat dalam dunia yang berkedok Cinta.
Rangganya yang takkan pernah kembali, meski hanya dalam mimpi.
Ana tersentak kaget, bahunya ditepuk oleh seseorang. Buru-buru ia menengok, dan alangkah terkejutnya ia melihat sosok itu.
Sosok yang baru saja selesai ia pikirkan, sosok yang baru saja ingin ia hilangkan, sosok itu adalah Rangganya. Cinta pertamanya yang sudah lama ia kubur dalam-dalam.
"Hai! Boleh duduk!?" Tanya Rangga, sejenak Ana terpaku sebelum kemudian mengangguk. Suara itu masih sama seperti dulu, masih selalu ia ingat. Lembut, mendayu, dan tegas manjadi satu.
"Sudah lama ya, kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu, An?" Hening beberapa saat, Ana enggan menjawab. Tetapi hati kecilnya berteriak. 'tidak jauh lebih baik ketika bersamamu'Â
"Baik, kamu sendiri?" Tentu Ana bukan perempuan segila itu.
"Aku, Baik. Tidak lebih baik ketika bersamamu" tunggu dulu! Apa pria ini gila?
Ana tersenyum tipis, enggan menanggapi nostalgia yang coba di pancing Rangga kepermukaan.
Lama sekali, mereka hanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang mau menyela dan membuka obrolan, terlalu tidak ingin mengakhiri tetapi juga tidak ingin memperpanjang. Mereka sama-sama nyaman dengan keterdiaman ini, hingga salah satunya berinisiatif.
"Aku, Rindu, An!" Lugas. Kalimat itu di ucapkan dengan satu tarikan nafas dan juga beberapa penekanan di setiap katanya.
Untuk sejenak, Ana terpaku. Dengan sialannya, pikiran Ana kembali menariknya pada kilas balik yang sama. Membuat, Ana hanya menatap mata Rangga dalam.Â
***
"Kamu udah dimana, Yang?" Suara seseorang di sebrang sana menyapa Ana. Dirinya tersenyum sebelum menjawabÂ
"Baru keluar kelas, tunggu bentar gapapa?" Tanya Ana masih dengan senyum di bibirnya. Gadis itu menghentikan langkahnya dan menyandarkan punggungnya di tembok ruang kelasÂ
"Oke, aku udah di tempat biasa ya, Yang?" Ujar sang pemilik hatinya di sebrang sana.
"Oke!" Ana menutup telpon, pandangannya tertuju pada lapangan outdoor sore itu yang tengah menampakan beberapa siswa/i yang tengah menjalani ekstrakulikuler.
Tersenyum membayangkan bagaimana hatinya saat ini, Ana merasa bahwa ini adalah kali pertama Gadis itu merasakan sebuah rasa yang sangat mengganggu hatinya.
Bukan mengganggu dalam artian negatif, tetapi mengganggu dalam artian yang sangat positif menurutnya. Sebab dengan perasaan ini, Ana jadi lebih banyak tersenyum, lebih mudah menyampaikan ekspresi nya dan membuat hidupnya sedikit lebih berwarna.Â
Rangga bukan hanya pengisi kekosongan yang ada dalam dirinya, tetapi juga ia mengubah segalanya menjadi sesuatu yang sama sekali belum Ana temui di manapun.Â
Rangga adalah sosok yang mampu menjadi segalanya untuk Ana, teman, musuh bahkan ia dapat menggantikan sosok Ayah yang selama ini tidak pernah Ana dapati figurnya dirumah.Â
Langkah Ana mengalun, membuat dirinya semakin dekat dengan gerbang dan melihat sosok yang sedari tadi mengganggu pikirannya. Rangga. Pria itu sedang duduk di atas motor maticnya, menoleh dan tersenyum manis saat mendapati Ana semakin mendekat.Â
"Hai, Sayang. Udah siap?" Ucap Rangga seraya membenarkan letak anak rambut Ana ke telinga.
"Siap dong! Kan mau quality time sama kamu, sebelum kita LDR-an. Haha" seloroh Ana seraya menaiki motor Rangga.
"Haha, bisa aja kamu. Tapi, udah izin ibu kan?" Tanya Rangga masih belum menjalankan motornya
"Udah dong!" Kata Ana lagi
"Oke! Mari berangkat" ujar Rangga dengan mulai menjalankan motornya
Ana tertawa riang, melingkarkan lengannya disepanjang pinggang Rangga hingga memeluknya erat dari belakang. Ana sangat bahagia, rasanya ia ingin sekali menghentikan waktu saat ini juga. Agar segala rasa bahagia ini bisa terus ia rasakan, tanpa harus ia akhiri.
Sore itu, mereka lewati dengan tawa. Menyusuri pasar malam, menaiki banyak wahana permainan, membeli camilan untuk mengisi perut, juga menyempatkan waktu untuk sedikit mengobrol.Â
Sebahagia itu, hingga tawa dan senyum yang dapat menghiasi bibir mereka sampai pada saat mereka harus berpisah, rasa itu masih tetap sama. Membahagiakan. Tanpa ada rasa khawatir sedikitpun atas apa yang akan terjadi esok.
Katanya, jika ingin bahagia secukupnya saja, agar keesokan harinya, rasa sedih yang menimpa kita juga hanya secukupnya. Entahlah.
***
Sudah 24 jam Rangga pergi dan belum sama sekali mengabari dirinya.Â
Saat setelah mereka pulang berkencan, lelaki itu berpamitan pada Ana untuk mengunjungi neneknya di kota. Tentu Ana mengizinkan, karna memang itu adalah hal rutin yang dilakukan oleh kekasihnya setiap hari libur sekolah.Â
Laki-laki itu akan mengunjungi neneknya di kota, sebagai perwakilan dari keluarganya. Rangga dan neneknya memang sangat dekat, Rangga harus pindah ke desa tempat mereka saat ini karna papa Rangga di pindah tugaskan.Â
Ana berbaring dikasurnya. Menaruh handphone miliknya disebelah bantal, dan mulai menekuni buku yang ia bawa.Â
Beberapa lama berselang, dering handphonenya berbunyi. Nama kekasihnya muncul, Ana langsung mengangkatnya tanpa basa-basi.
"Halo! Kamu kenapa baru ada kabar?" Tanya Ana, tapi ia tak mendapatkan jawaban
"Halo!? Rangga! Kamu disanakan?" Tanya Ana lagi, mengecek handphonenya dan panggilan masih tersambung.Â
Ana mengernyit bingung, sampai pada akhirnya Sura gaduh terdengar dan panggilan terputus.
Ana mencoba kembali menelpon kekasihnya, dering pertama tidak di angkat. Dering kedua masih sama. Hingga dering kesekian kali baru terangkat.
"Halo!" Ucap suara lembut dari sebrang sana. Ana mengernyit, suara perempuan? Apakah Ini sepupunya Rangga?
"Iya, halo. Maaf ini siapa ya? Rangganya kemana?" Tanya Ana memberanikan diri.
Hening beberapa saat sampai akhirnya suara di sebrang sana terdengar.
"Aku Lia, Rangga ada. Dia lagi beli makanan"Â
Deg!Â
Ana sangat mengenali nama itu, nama yang selalu ia hindari. Lia. Mantan kekasih Rangga.
"Kok, bisa kamu yang angkat. Rangga lagi sama kamu?" Lagi! Seakan tidak ada kapoknya, Ana sedang menggali liangnya sendiri.
"Iya, kebetulan abis antar aku pulang! Ini, Rangganya udah ada. Mau bicara?" Tanya perempuan itu pada Ana.Â
"Halo, An? Kenapa? Maaf aku nggak bisa chat kamu tadi, aku sibuk banget!"Â
Sibuk? Sibuk katanya? Apa lelaki itu tidak tahu betapa risaunya perasaan Ana saat ini? Apa lelaki itu tidak mengerti, bagaimana hatinya remuk didalam sana? Apa Rangga tidak merasakan sakit hatinya Ana?
Ana sama sekali tidak menjawab, ia terisak dengan tangan meremat dadanya. Sakit, sangat sakit rasanya. Telpon terputus, menyisakan Ana dengan ringisan tangisnya yang kian lama kian mengencang.
Satu pesan masuk dari Rangga mengalihkan perhatiannya.
'sudah saatnya kamu tau, Rangga kalau disini suka ketemu aku. Jadi, jangan merasa spesial!'Â
Runtuh sudah pertahanannya. Ia tak bisa menahan Isak tangisnya. Hingga ibunya tergopoh memasuki kamarnya, bingung melihat anak gadisnya menangis meraung-raung. Pelukan ibunya, menyadarkan Ana bahwa pada saat itu, cintanya tak lagi sama. Cintanya sudah penuh dengan luka.
***
"Jangan membual dengan hal yang sudah bisa dilihat kenyataannya." Balas Ana tegas. Wanita itu tidak ingin memberikan kesempatan barang setitik pun pada lelaki dihadapannya.
"Waktu merubah banyak hal ya, An! Termasuk perasaanmu" ujar Rangga sendu.Â
Ana tahu betul, hatinya masih mengingat dengan jelas bagaimana Rangga dengan segala kenangannya bisa memporak-porandakan hidupnya, jadi dia sudah bertekad. Untuk tidak terbuai lagi kali ini.
"Ya! Waktu memang mengubah banyak hal" ujar Ana sarkas. Tak berniat menatap lelaki itu.
Rangga menghela nafas, berdiri dari duduknya seraya berujar.
"Aku permisi, semoga kita bisa bertemu lagi. Dengan situasi yang lebih baik tentunya" Rangga yang hendak pergi kemudian termangu sebentar oleh perkataan Ana.
"Semoga waktu tidak mempertemukan lagi, walau dengan situasi yang lebih baik sekalipun" kata Ana dingin. Sambil menatap jendela Restoran.
Rangga meninggalkan Ana sendirian, lagi. Perempuan itu meneteskan air matanya, Ana memang sangat kuat. Tetapi, tidak dengan pertemuannya dengan Rangga.Â
Semua tentang Rangga melumpuhkannya, kekuatannya, ketegasannya, dinginnya, juga keteguhannya musnah bersama Rangga yang membawa cinta juga sakitnya hati Ana kala itu.
***
Terimakasih Rangga. Segala bentuk rasa yang pernah kau beri, kini sudah menjelma menjadi pelajaran yang apik. Kusimpan dalam hati, maaf jika sesekali masih sering ku kilas balik.Â
Ana yang sekarang kau temui, bukanlah Ana yang dulu memandangmu dengan penuh cinta. Sekarang ia menjelma menjadi seorang wanita perkasa, denga segala bentuk perasaan yang tak mudah goyah.
Terimakasih Rangga. Berkatmu, Ana selalu menyadari bahwa cinta memang sudah sepantasnya sepaket dengan luka. Tergantung bagaimana kita mengolahnya menjadi sebuah rasa yang bermakna indah.Â
Tapi, maaf Rangga. Ana tidak bisa mengolahnya, ini terlalu tidak bisa di terima oleh
 hati kecilnya, jadi saat itu ia memilih untuk berpisah. Dan saat ini, bukan sesal yang dirasa tetapi sebuah rasa bangga, karna telah bisa melewati segalanya.
Selamat menempuh hidup baru tanpa Ana, Rangga.
****
By: Miranda Putri Ningtias
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H