"Putri... kamu tahu aku tidak akan membiarkan siapapun kau lukai menggunakan gendewa sakti itu. Â Kamu juga tahu aku akan selalu teringat budi baikmu yang telah menyelamatkan nyawaku saat itu."
Putri Anjani mengedikkan kepalanya dengan pongah.
"Aku tidak peduli! Â Aku menagih hutangmu sekarang! Â Kau bantu aku membunuh mereka...dan hutangmu aku anggap lunas."
Arya Dahana terperangah kaget. Â Bukan hanya wajah dan penampilannya saja yang berubah. Â Watak dan sikap gadis ini juga jauh berubah. Â Â
Pemuda ini memalingkan wajah ke arah Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya yang juga sedang memandangnya. Â Tatapan kedua gadis itu mudah sekali diartikan. Â Nampak sekali kelegaan dan kerinduan memancar keluar dari sana. Â Ada juga terlihat rasa ingin tahu yang besar apa yang akan dilakukannya terhadap permintaan Putri Anjani.
Arya Dahana menghela nafas panjang.
"Putri, aku akan memenuhi permintaan apapun untuk melunasi hutang nyawaku. Kecuali permintaan seperti ini...aku akan menolaknya dengan tegas! Â Aku tidak bisa memenuhinya .....kau boleh ambil nyawaku jika kau mau sebagai gantinya...."
Putri Anjani melotot. Â Ehh tapi...semua permintaan? Hmmm...
"Baiklah Arya...aku menarik kembali kata-kataku...aku memintamu untuk menemaniku menemui Panglima Kelelawar di Pulau Kabut...kamu juga harus mencegah mereka menghalangiku pergi dari sini...kamu juga harus melindungiku selama perjalanan dan di Pulau Kabut...lalu kamu juga harus ikut aku pergi ke Istana Timur untuk menemui beberapa orang di sana...barulah hutangmu aku anggap lunas!"
Dewi Mulia Ratri mendelik mendengar rentetan permintaan yang tidak masuk akal itu. Â Gadis ini bertolak pinggang menghadap Arya Dahana yang masih bengong mendengar permintaan Putri Anjani.
"Dahana!...ingat! Â Aku juga mempunyai janji terhadap mendiang Dyah Puspita!...kamu dititipkan olehnya kepadaku...kamu harus meminta ijin kepadaku mengenai hal-hal seperti ini...karena aku yakin seyakin-yakinnya, Dyah Puspita tak akan pernah menyetujui perjanjian konyol seperti ini..."