Gelegar halilintar mengagetkan waktu
Mengingatkan bahwa masih ada gelap di luaran sana
Sebab di sini terang sekali
Karena ada nyala pelita di kedalaman hati.
Suara gemuruh hujan melipat seluruh kantuk
Memberi rasa tentang musim dan masa
Sebab kisah belum juga menutup halamannya
Karena keseimbangan alam tetap harus terjaga.
Bab XI
Jati Pasir. Â Arya Dahana memasuki dusun sunyi itu dengan tenang. Â Tidak banyak terbayang kenangan di kepalanya tentang dusun ini. Â Dulu dia masih kecil waktu ayahnya, Arya Prabu, menghabiskan masa masa pelariannya di sini. Â
Hanya satu yang tidak pernah dilupakannya. Â Dia digendong oleh ayahnya dalam sebuah buntalan kain saat bertempur melawan tiga orang tokoh lihai Sayap Sima. Â Hanya tinggal Madaharsa yang masih hidup dari para pengeroyok ayahnya. Â Yang dua sudah tewas saat terjadi perang besar perbatasan Blambangan. Â Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Â Dia hanya ingat suatu benda menusuk lehernya dan sebuah tangan mampir di pundaknya. Â
Selanjutnya dia pingsan dan tidak teringat apa apa. Â Dia siuman waktu seorang gadis cantik dan baik hati menurunkannya dari gendongan dan mencoba mengobatinya dari racun menyakitkan yang mengaduk aduk isi tubuhnya. Â Dyah Puspita!
Ah kenangan akan gadis itu malah membuat pandangan Arya Dahana berkunang kunang. Â Gadis yang berkorban banyak untuknya itu telah tiada. Menghembuskan nafas terakhir di pangkuannya. Â Gadis itu sangat mencintainya. Â Awalnya sebagai kakak terhadap adik angkat yang dititipkan oleh mendiang ayahnya. Â Lalu sebagai seorang wanita terhadap pria saat dia berjumpa kembali di Ranu Kumbolo. Â Kemudian dipupuk secara kuat melalui perjalanan dan petualangan yang penuh bahaya dan mengerikan bersama-sama.
Gadis itu selalu menyelamatkannya tanpa pamrih. Â Semuanya karena cinta. Â Betapa agungnya cinta yang dipunyai gadis itu. Â Betapa rumit cinta yang berkecamuk dalam dirinya. Â Orang yang dicintainya malah dendam kepadanya dan menjatuhkan tangan besi tanpa ampun. Â
Arya Dahana bergidik. Â Dia diselamatkan juga oleh seorang gadis. Â Gadis yang mempunyai watak yang sangat mengerikan akibat dendam yang mengaliri semua aliran darahnya. Hidupnya memang ditakdirkan rumit semenjak kecil. Â Dia ingin merasakan apa yang dinamakan bahagia. Â Namun hingga kini, pemuda ini kesulitan untuk mengartikan arti kata bahagia yang sesungguhnya.
Terbawa oleh lamunannya yang tanpa jeda, tanpa terasa pemuda ini tiba di sebuah pemakaman umum. Â Dicarinya di pemakaman tersebut makam yang ada nama ayahnya di situ, Arya Prabu. Â Setelah lama mencari cari, tidak ada satupun makam yang bertuliskan nama ayahnya. Â Arya Dahana terpekur. Â Apakah mungkin ayahnya tidak dimakamkan di sini? Â Apakah mungkin bahkan kalau ayahnya sama sekali tidak dimakamkan di mana-mana.Â
Arya Dahana lalu memutuskan keluar dari pemakaman kemudian duduk bersila dengan syahdu. Â Mendoakan agar ayahnya tenang di alam sana. Â Tidak ada dendam sedikitpun kepada orang-orang yang menjadi penyebab kematian ayahnya. Â Itu adalah garis yang ditetapkan oleh Sanghyang Widhi. Melalui perantara orang orang sesat yang kebetulan adalah orang orang Majapahit.Â
Pemuda ini terhanyut dalam perjalanan batin yang bisu. Â Setelah ini dia akan pergi ke Gunung Kelud. Â Dia berharap dalam perjalanan nanti, ada lagi tujuan berikutnya bagi dirinya setelah menyempurnakan Danu Cayapata. Â Tujuan hidupnya sekarang sungguh susah dicari. Â Ini semua karena cintanya telah terkurung dalam peti mati. Â Wajah cantik itu kembali hadir dalam lamunan Arya Dahana. Â Wajah yang terkadang galak, terkadang mesra, terkadang sulit diterka artinya. Â Wajah yang dengan dinginnya menjatuhkan tangan maut kepadanya.
Tak terasa, hampir setengah hari pemuda ini merenung. Â Sampai-sampai tidak menyadari bahwa sedari tadi ada sesosok bayangan yang terus saja memperhatikannya. Â Kemampuan pemuda itu sudah sangat tinggi. Â Suara sekecil apapun, langkah seringan apapun, pasti bisa didengarnya dengan mudah meski dari jarak yang cukup jauh. Â Tapi karena perhatiannya tercurah sepenuhnya kepada rangkaian lamunan, sehingga kewaspadaannya berkurang jauh. Â Apalagi sosok yang mengintai itu juga berilmu tinggi dan juga sangat berhati hati.
Arya Dahana terkesiap saat sebuah desir angin berhawa dingin mengarah tengkuknya. Â Desir itu sangat halus. Â Dia agak terlambat menyadarinya. Sehingga elakannya kurang sigap dan masih terkena satu jarum yang akhirnya menancap di lehernya. Â Pemuda ini mencabut jarum kecil itu. Memeriksanya dengan hati hati. Â
Jarum ini mengandung racun! Â Diciumnya bau racun di jarum itu dengan teliti. Â Hmmm...racun ini sangat mematikan! Â Untungnya dia kebal segala macam racun. Â Tapi tentu saja serangan curang tadi membuatnya penasaran. Â Si empunya senjata rahasia ini pastilah berniat jahat kepadanya. Â Dia pasti sedang menunggu khasiat racun ini bekerja. Â Dia akan pura pura terpengaruh racun itu agar si penyerang gelap menampakkan diri.
Arya Dahana terhuyung huyung sambil menampakkan wajah sangat kesakitan. Â Tangannya berpegangan pada sebatang pohon kecil seolah-olah menahan diri agar tidak terjatuh. Â Matanya setengah dipejamkan sembari mencoba cari tahu di mana gerangan si penyerang gelap berada. Â Dan muncullah orang itu. Â sambil tertawa terkekeh kekeh melihat serangannya ternyata berhasil. Â Seorang kakek tua bertongkat panjang dengan kepala tengkorak di kepala tongkatnya.
"He he he he... anak muda, racun yang sekarang menjalar dalam tubuhmu adalah racun ular hijau Kawah Ijen. Â Racun yang hanya bisa disamai oleh racun kobra dari Negeri Kali. Â Jika tidak mendapatkan penawarnya....ehhh."
Belum selesai ucapannya, kakek itu tertegun kaku. Â Tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali. Â Arya Dahana dengan secepat kilat telah menotok tubuhnya di bagian punggung. Â Pemuda itu sekarang bertolak pinggang di depan si kakek yang terbelalak ketakutan.
"Hmmmm...sungguh kejam perbuatanmu kek. Â Apa salahku sehingga kau tega menjatuhkan tangan maut kepadaku?"
Kakek tua itu mencoba menggerakkan tubuh namun sama sekali tidak bisa. Â Dia mencoba membuka mulutnya untuk berbicara. Â Bisa.
"A..a..aku tidak sengaja anak muda. Â Maafkan aku. Â Aku hanya bermaksud menguji kepandaianmu..."
Arya Dahana mengerutkan keningnya. Â Ucapan ini terlalu mengada ada. Â Apalagi setelah memperhatikan dari dekat, mata kakek ini menggambarkan keculasan dan kekejaman. Â Arya Dahana menghela nafas panjang.
"Sudahlah kek...jangan lagi berpura pura. Â Aku tahu kau memang berniat jahat kepadaku. Â Yang aku tidak tahu adalah, kita tidak saling mengenal, tapi kau seperti menyimpan sebuah dendam kepadaku.."
Kakek ini terdiam seribu bahasa. Â Hanya matanya yang kecil sekarang berubah berkilat kilat marah.
"Anak muda, aku tahu kau adalah anak dari si keparat Arya Prabu. Â Orang yang telah membunuh saudara saudaraku dengan kejam. Â Keparat itu telah mati. Â Namun dendamku belum habis hingga tujuh turunannya aku habiskan!"Â
Mulut si kakek menyeringai seperti orang yang haus akan darah.
Arya Dahana terpekur sejenak mendengar ucapan si kakek. Â Ayahnya membunuh orang dengan kejam? Â Rasanya itu tidak mungkin sama sekali. Â Meski dia hanya sebentar menghabiskan waktu bersama ayahnya, tapi dia yakin sekali bahwa ayahnya bukan orang yang berdarah dingin. Â Kalaupun menghabisi saudara orang ini, pasti alasannya sangat kuat. Â Dan melihat betapa culas dan jahatnya kakek ini, Arya Dahana yakin ayahnya bukanlah orang yang patut disalahkan atas kematian mereka.
Pemuda ini menggerakkan tangan membebaskan totokan di tubuh si kakek. Â Begitu terbebas dari totokan, kakek ini tanpa ragu ragu langsung menyerang Arya Dahana dengan dahsyat. Â Gerakan dan pukulannya cukup hebat. Â Tapi belum cukup hebat untuk bisa merobohkan Arya Dahana yang seperti kilat lagi menghindar dan kembali menotok tubuh si kakek.
Pemuda ini sudah menduga bahwa kakek ini pasti tidak ragu ragu menyerangnya begitu dibebaskan dari totokan. Â Kakek yang kembali berdiri dengan kaku akibat totokan kedua kalinya ini melotot ke Arya Dahana dengan penuh kemarahan.
Sebelum Arya Dahana membuka mulutnya, terdengar siutan angin pukulan dahsyat yang mengarah padanya. Â Kali ini angin pukulan yang datang jauh lebih kuat dibanding pukulan si kakek. Â Arya Dahana menggerakkan tangannya menangkis.
"Dukkk... dukkk...desssss...haiyaaaahhh..!"
Sosok penyerang Arya Dahana itu terpelanting ke belakang sambil berteriak kaget. Â Sosok itu kemudian bangkit berdiri sambil mengusap usap pinggangnya yang sakit usai bergulingan di tanah. Â Sosok penyerang ini adalah seorang kakek yang lebih tua lagi dari si kakek pertama. Â Tubuhnya yang tinggi kurus berbaju hitam hitam. Â Tongkat berkepala tengkorak di tangannya jauh lebih besar dan berkilauan dibanding punya kakek yang pertama.
"Aku...Raja Danyang Blambangan baru kali ini berhadapan dengan pemuda setangguh dirimu anak muda! Â Sebutkan namamu dan kenapa kau mengganggu muridku ini?!"
Suara yang muncul dari mulut si kakek yang mengaku sebagai Raja Danyang Blambangan itu sangat menggelegar. Â Sungguh mengejutkan, mengingat tubuhnya yang kurus kering.
Arya Dahana memandang lekat-lekat kakek di depannya. Â Kakek ini ternyata guru kakek yang pertama. Â Pantas saja jika dia jauh lebih tangguh. Â Raja Danyang Blambangan? Â Rasa rasanya dia belum pernah mendengar. Â Dulu, saat masih mengembara bersama Dewi Mulia Ratri, mereka banyak mendengar tentang tokoh tokoh Blambangan. Â Tapi tidak ada yang berjuluk Raja Danyang Blambangan. Â Yang ada adalah Tiga Danyang Kawah Ijen. Itupun mereka sudah tewas saat terjadi pertempuran besar perbatasan Majapahit-Blambangan dulu.
Si Kakek seperti bisa meraba jalan pikiran Arya Dahana.Â
"Iya! Â Aku adalah kakak seperguruan Tiga Danyang Kawah Ijen. Â Aku tahu mereka tewas karena kamu dan kawan-kawanmu ikut campur tangan dalam urusan Blambangan-Majapahit. Â Sekarang, rasakan akibat dari perbuatanmu.."
Kakek ini merapalkan sesuatu, lalu dari mulutnya terdengar suara pekikan keras sambung menyambung. Â Suara gemuruh mengerikan sahut menyahut dari dalam hutan. Â Semakin lama semakin mendekat. Â Dan akhirnya bermunculanlah berbagai macam makhluk mengerikan. Â Bukan makhluk gaib. Â Tapi mayat hidup! Â Mayat-mayat hidup ini bergerak mengepung Arya Dahana. Â Dari mulut-mulut yang sudah tidak berdaging itu terdengar suara suara bergumam tidak jelas namun terdengar jelas mengancam.
Arya Dahana mundur dua langkah. Â Kakek ini membangkitkan pasukan orang mati tanpa melalui ritual khusus seperti Tiga Danyang Kawah Ijen dulu. Itu berarti kakek ini mempunyai kemampuan teluh dan sihir yang jauh lebih tinggi dari mereka. Â Dan itu memang benar. Â Raja Danyang Blambangan adalah rajanya teluh di Blambangan. Â Dulu dia tidak muncul pada saat perang besar Blambangan-Majapahit karena sedang bertapa menyempurnakan ilmu teluhnya di sebuah pulau dekat pulau Bali.
Kemampuan kakek ini memang jauh lebih tinggi dibanding Tiga Danyang Kawah Ijen. Â Bahkan bisa disejajarkan dengan kemampuan Hulubalang Setan Tanah Baluran, mendiang Ki Hangkara. Â Oleh karena itu, membangkitkan pasukan orang mati dengan mudah bisa dilakukannya tanpa harus melalui ritual terlebih dahulu.
Arya Dahana sudah akan menyiapkan Geni Sewindu untuk melawan ilmu teluh dan gaib ini, ketika sesosok bayangan berkelebat dan berdiri di sampingnya. Â Bau harum menguar ke hidung Arya Dahana. Â Pemuda ini menoleh memperhatikan, Arawinda! Â Tapi Arawinda tidak mempedulikannya. Gadis itu bahkan sudah merapalkan sesuatu lalu memekik nyaring seperti sebuah perintah.Â
Pasukan orang mati itu seperti kebingungan menerima dua perintah yang berbeda. Â Tubuh tubuh sempoyongan itu bergerak maju mundur tidak teratur. Â Raja Danyang Blambangan terperanjat bukan kepalang. Â Gadis muda ini mampu menangkal ilmunya dan bahkan berbuat hal yang sama dengan dirinya, yaitu mengendalikan pasukan orang mati.Â
Kakek renta ini berkomat kamit menambah kekuatan mantranya. Â Pasukan orang mati itu bergumam gumam tidak karuan. Â Bergontai gontai menuju Arya Dahana dan Arawinda. Â Hebatnya, pasukan orang mati ini kebal terhadap senjata tajam, tidak mempan terhadap kutukan, bahkan mempunyai kemampuan kanuragan yang tidak lumrah.Â
Giliran Arawinda kaget bukan main dengan perubahan tindak-tanduk pasukan orang mati ini. Â Kakek itu punya kemampuan gaib yang luar biasa! Lebih hebat malah dari kemampuan paman gurunya Ki Hangkara. Â Gadis ini semenjak mendapat gemblengan langsung dari Si Bungkuk Misteri, kemampuannya meningkat berkali-kali lipat. Â Termasuk juga kekuatan batinnya. Â
Melihat pasukan orang mati itu sudah dekat dan siap menyerang mereka berdua, Arawinda mengangkat tangannya ke atas, menambah kekuatan pada ajian Menaklukkan Roh, lalu menghempaskan tangannya ke bawah sambil mengeluarkan lengkingan yang mendirikan bulu roma siapapun yang mendengarnya.
Arya Dahana sampai harus menutup kedua telinganya mendengar lengkingan tajam ini. Â Pemuda ini membelalakkan kedua bola matanya. Â Pasukan orang mati ini kembali berbalik arah menuju Raja Danyang Blambangan. Â Gerakannya tidak lagi tergontai gontai namun berlari cepat. Â Pasukan orang mati mendapatkan tambahan kekuatan luar biasa dari mantra-mantra Arawinda.
Raja Danyang Blambangan rupanya tidak mau kalah. Â Kali ini semua kekuatan mantra dan tenaga batinnya dikerahkan semua. Â Sehingga ketika merapal ajian dan mantra, tubuh kakek itu menggigil hebat. Â Keringat sebesar butir-butir jagung menetes dari keningnya. Â
Pasukan orang mati ikut menggigil. Â Tubuh-tubuh yang sudah jadi mayat itu bergetar-getar tidak karuan. Â Dan mantra Raja Danyang Blambangan memang lebih kuat dibandingkan Arawinda yang coba melawan dengan bersila dan mengerahkan semua kekuatan batinnya juga. Â Pasukan orang mati terbang dengan cepat ke arah Arya Dahana dan Arawinda. Â Benar benar terbang! Â Sungguh mengerikan bagi siapapun yang menyaksikan peristiwa ini.
Arya Dahana menoleh ke arah Arawinda yang masih mencoba bertahan pada mantranya. Â Pemuda itu melihat Arawinda terguling dari duduknya saking tidak bisa menahan lagi desakan mantra Raja Danyang Blambangan. Â Pasukan orang mati itu mendekat dengan cepat. Â Diikuti gumaman-gumaman bergemuruh yang bisa mencabut sukma orang-orang biasa.
Arya Dahana yang sudah bersiap dari tadi mengibaskan kedua tangannya yang berwarna keperakan ke udara di depan. Â Dua larik sinar perak menghantam pasukan orang mati yang sedang terbang itu.
"Blaaarrr...blaaarrr...bresssss....bresssss"
Tubuh-tubuh orang mati yang dihidupkan dengan mantra itu rontok satu persatu ke tanah. Â Tanpa bisa bangkit lagi karena kekuatan Geni Sewindu yang mempunyai sifat anti sihir dan teluh. Â Beberapa kali Arya Dahana mengulangi pukulannya sampai akhirnya pasukan orang mati itu habis tanpa sisa.
Raja Danyang Blambangan terkesiap. Â Pasukan orang matinya dipunahkan oleh pemuda itu dengan mudah. Â Ahli teluh yang sudah kehabisan tenaga ini maklum. Â Pemuda ini tidak akan bisa ditandingi dalam olah kanuragan. Â Bahkan ilmu sihir dan teluhnya bisa ditaklukkan oleh pemuda ini dengan pukulannya yang aneh itu.Â
Kakek ini bangkit perlahan lalu menarik tangan muridnya yang sedari tadi hanya bisa melongo menyaksikan hal-hal yang berada di luar kemampuannya. Â Kakek ini bergidik. Â Pemuda itu selain kebal terhadap racun, juga mampu memunahkan sihir luar biasa gurunya. Â Seandainya pemuda ini mau, pasti sedari tadi dia sudah terkena batunya. Â Oleh karena itu dengan tergesa-gesa dia menurut saja saat gurunya menarik tangannya pergi.
Arya Dahana memandang Arawinda untuk melihat bagaimana sikap gadis itu ketika dua kakek aneh itu pergi begitu saja. Â Arawinda balik menatap dirinya untuk mengetahui hal yang sama. Â Arya Dahana mengangkat bahu. Â Arawinda mengerti bahwa pemuda itu menyerahkan keputusan kepada dirinya. Â Gadis ini membiarkan saja dua kakek aneh itu terseok-seok pergi.
Begitu bayangan mereka hilang dari pandangan. Â Arawinda menoleh ke arah Arya Dahana dan berkata pelan dengan nada sedikit takjub,
"Arya, ternyata kau masih hidup...seharusnya kau mengabari Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya. Â Kedua gadis itu sangat terpukul karena menganggap dirimu sudah mati. Â Apalagi Dewi Mulia Ratri, dia terlihat putus asa karena merasa bersalah telah menjatuhkan tangan maut kepadamu.."
Arawinda kemudian bercerita panjang lebar apa yang terjadi sepeninggal Arya Dahana terjatuh ke jurang laut Ngobaran. Â Arya Dahana menghela nafas tanpa berusaha menjawab pertanyaan ataupun menyela. Â Pemuda ini malah bertanya balik.
"Bagaimana kau bisa kesini Arawinda?...dan terimakasih telah menolongku tadi. Â Ilmu sihirmu luar biasa...mengendalikan orang orang mati?....hiiihhh..."
Arawinda tersenyum simpul. Â Dia mengira pemuda ini tidak mau membahas tentang Dewi Mulia Ratri. Â Mungkin pemuda ini sangat sakit hati gadis sunda itu melukainya dan bahkan menjatuhkannya ke jurang laut Ngobaran.
Arawinda tidak tahu bahwa sebenarnya berita yang tadi dia sampaikan adalah sebuah berita kejutan bagi Arya Dahana. Â Ratri mengkhawatirkan keadaannya dan bahkan hingga jatuh pingsan saking merasa bersalahnya? Â Ini ajaib! Â Lalu kenapa gadis itu tega menyerang dan memukulnya begitu dahsyat? Â Ini misteri! Â Paling tidak ada satu hal yang diketahuinya. Â Dia tidak perlu menghindari Ratri. Â Ini sesuatu yang menyenangkan baginya. Sebuah tujuan hidup baginya!
Melihat Arya Dahana komat-kamit sendiri, lalu tersenyum-senyum sendiri dan akhirnya mengerutkan kening dan setelah itu tersenyum-senyum lagi, Arawinda menjadi jengkel. Â Pemuda ini sepertinya sudah sinting! Â Jangan-jangan pemuda ini geli melihat dirinya. Â Tanpa sadar, Arawinda memperhatikan dirinya sendiri selama beberapa jeda. Â Bajunya bagus dan tidak ada yang aneh dengan tubuhnya.Â
Ingin rasanya dia maju dan menampar pemuda tengil yang sedang cengar cengir sendiri itu. Â Namun dia sedang kehabisan tenaga. Â Lagipula apa salahnya dengan cengar cengir sendiri? Â Biar sajalah. Â Itu haknya.Â
Arawinda memberi isyarat kepada pemuda itu untuk mendekat. Â Sembari masih dengan cengar cengir tidak jelas, Arya Dahana mendekati Arawinda.
"Arya, aku harus meminta bantuanmu...sudikah kiranya kau membantuku?"
"Bantuan apa Arawinda?" Â Arya Dahana menyahut.
"Aku ditugaskan oleh guruku untuk menjadi penjaga keseimbangan. Â Hitam dan putih memang tak bisa menciptakan warna lain. Â Hitam dan putih tidak boleh bercampur. Â Hitam dan putih saling meniadakan. Â Penjaga keseimbangan berdiri di antaranya. Â Menjaga agar hitam dan putih tidak saling meniadakan. Â Karena bencana bagi dunia, jika salah satu terlalu berjaya."
Arya Dahana melongo. Â Matanya menatap kagum Arawinda. Â Gadis ini bicara seperti seorang begawan.
"Aku masih belum cukup kuat untuk menjadi penjaga keseimbangan yang baik. Â Aku meminta bantuanmu agar ikut menjaga saat putih yang terlalu terang dan hitam yang terlalu pekat susah dihentikan. Â Aku memerlukanmu untuk menghentikan. Â Ingat! Menghentikan bukan berarti meniadakan..."
Kali ini mulut Arya Dahana terbuka menganga seluruhnya. Â Seandainya ada rombongan lalat lewat, sudah pasti akan muat seluruhnya dalam mulut itu.
Arawinda menjadi geli. Â Gadis ini melanjutkan.
"Saat ini, terjadi pertentangan yang meruncing antar kerajaan. Â Majapahit terancam pecah oleh pemberontakan dan perang saudara. Â Tokoh-tokoh silat pembela masing-masing pihak akan saling bentrok dengan hebat. Guruku mengatakan bahwa Dewi Mulia Ratri dan Putri Anjani akan memegang peranan yang luar biasa penting dalam kancah peperangan ini. Â Merekalah yang aku maksud putih yang terlalu terang dan hitam yang terlalu pekat. Kamu adalah orang yang paling tepat untuk menghentikan hitam dan putih yang akan saling menghancurkan dan akan dengan sangat mempengaruhi keseimbangan dunia persilatan."
Sambil berbicara panjang lebar, Arawinda berjalan mondar mandir di depan Arya Dahana yang duduk bersila dengan tekun.Â
"Peperangan ini tidak akan bisa dielakkan. Â Ini sudah diramalkan dalam kitab-kitab terdahulu. Â Korban jiwa akan sangat banyak. Â Terutama dari kalangan rakyat jelata. Â Kedahsyatan ilmu-ilmu para tokoh yang terlibat dalam peperangan ini bisa mengakibatkan kerusakan yang sangat besar. Gendewa Bernyawa, Pasukan Orang Mati, Sihir-Sihir di Kitab Ranu Kumbolo, ilmu-ilmu dari unsur-unsur utama alam seperti api, air, angin, tanah, kayu , baja akan memporak porandakan semuanya."
"Aku belum cukup mumpuni untuk menjaga semua itu seimbang. Â Guruku sendiri tidak bisa ikut campur tangan terlalu dalam lagi karena dia sedang berada di tempat yang sangat jauh. Â Aku mengemban tugas berat ini dengan kemampuan yang masih terbatas. Â Karena itulah aku perlu bantuanmu. Kamu mempunyai kemampuan untuk mencegah kerusakan yang besar. Â Karena jika tidak, akan banyak orang yang menderita karenanya."
Arawinda berhenti berkata kata. Â Dia baru menyadari mendengar dengkur halus di belakangnya. Â Waktu gadis ini menoleh, dilihatnya Arya Dahana masih bersila dengan rapi dan tekun. Â Tapi matanya terpejam dan dari mulutnya yang terbuka keluar dengkur halus pertanda orang yang sedang tidur nyenyak. Â Gadis ini membelalakkan matanya. Â Jadi dari tadi dia berkata panjang lebar hanya untuk didengarkan oleh dirinya sendiri? Â Dasar pemuda sableng!Â
Arawinda tidak tega melanjutkan kejengkelannya. Â Pemuda itu benar-benar nyenyak tidurnya. Â Sangat nyaman kelihatannya. Â Tapi, dia harus membalas perlakuan pemuda ini. Â diambilnya sesuatu dalam buntalan perbekalannya. Â Garam! Ini cocok untuk pembalasan.Â
Diambilnya sepotong kecil daging asap. Â Diolesinnya dengan banyak air garam. Â Lalu gadis ini meletakkan potongan kecil daging itu ke dalam mulut Arya Dahana yang terbuka dengan hati-hati. Â Seketika itu juga Arya Dahana melahap daging yang masuk ke mulutnya dengan cepat. Â Mungkin pemuda ini sedang bermimpi lapar, atau mungkin memang sedang benar-benar lapar.
Dalam sekejap potongan daging itu tandas masuk ke dalam perut Arya Dahana. Â Giliran Arawinda yang melongo sekarang. Â Pemuda di depannya ini memang gila! Â Itu tadi sama saja dengan melahap sekantung garam!
Arawinda tidak kehilangan akal. Â Kali ini dilupakannya garam. Â Matanya mencari cari di sekitar. Â Aha! Ada pohon maja di sudut sana. Â Tubuhnya melayang mengambil sebutir buah maja yang sudah cukup tua. Â Digerusnya buah pahit itu dengan menggunakan batu lalu diambilnya air yang keluar dari gerusan dan dioleskannya pada potongan kecil daging yang lain. Â
Setelah dirasa daging itu menyerap semua rasa pahit buah maja, Arawinda meletakkan daging di mulut Arya Dahana yang masih tertidur dengan mulut terbuka. Â Untuk kedua kalinya mulut itu langsung saja mengunyah daging yang disodorkan. Â Arawinda menatap dengan seksama untuk melihat reaksi pemuda itu. Â Gadis itu terbelalak gembira, namun langsung saja surut seketika. Â Wajah Arya Dahana memang terlihat mengrenyit menahan suatu rasa tapi kunyahannya jalan terus dan akhirnya daging itupun habis tertelan.Â
Pemuda itu bahkan bersendawa! Rupanya dalam mimpi, Arya Dahana benar benar sangat kelaparan. Â Arawinda semakin gemas. Â Usaha terakhir! Dia mengeluarkan sekantung kecil bubuk cabai. Â Dioleskannya banyak sekali bubuk cabai yang memang selalu menjadi salah satu benda yang harus ada dalam perbekalannya ke potongan daging bekalnya yang juga ternyata potongan terakhir!
Arawinda saking gemasnya memasukkan potongan gading itu ke mulut Arya Dahana dengan sedikit kasar. Â Sambil menahan kikik-kikik geli, gadis ini juga mengoles-oleskan potongan daging yang luar biasa pedas itu ke bibir Arya Dahana yang terbuka. Â Seperti yang tadi-tadi, pemuda ini mengunyah dan melahap dengan cepat potongan daging. Â Arawinda mendekatkan dirinya untuk melihat dengan jelas seperti apa wajah pemuda itu.
Wajah yang masih tidur itu seperti kaget akan sesuatu di tengah-tengah kunyahannya. Â Meski masih dilanjutkannya juga kunyahan hingga lahapan terakhir. Â Barulah setelah semuanya tandas masuk dalam perut, Arya Dahana mendadak bangkit berdiri. Â Matanya melotot menahan sesuatu. Mulutnya bergerak-gerak tidak karuan. Â Keringat sebesar butiran jagung mengalir deras melalui dahi dan lehernya.Â
Pemuda ini meloncat-loncat seperti penari monyet. Â Desis keras keluar melalui mulutnya yang kepedasan. Â Saking tidak tahannya, pemuda ini mengerahkan Danu Cayapata dan dicelupkannya ke air di mangkuk Arawinda yang ada di depan gadis itu. Â Air itu seketika berubah menjadi es. Diambilnya es lalu dioles oleskannya ke bibirnya yang membengkak merah kepanasan. Â Belum berhenti sampai di situ, dimasukkannya potongan es itu ke dalam mulutnya.Â
Mata Arya Dahana kembali terbelalak. Â Es ini asin sekali! Â Wajahnya mengrenyit menahan rasa berlawanan. Â Pedas dan asin! Â Tubuh pemuda ini berkelebat lenyap. Â Rupanya menuju sungai kecil yang terletak tidak jauh dari situ. Â Dimasukkannya seluruh wajah ke dalam air. Â Dihadapkannya mulutnya yang terbuka kepedesan ke arus air yang cukup deras. Â Aaaahhh nyaman sekali!
Arawinda yang melihat semua ini, memegang perut saking tidak sanggup lagi menahan ketawa. Â Ini benar-benar menggelikan! Â Angin berdesir cepat saat pemuda itu ada di hadapannya sambil bertolak pinggang. Â Rupanya rasa pedas dan asin tadi sudah hilang dengan bantuan air sungai yang dingin. Â
Arawinda yang tadi terkejut pemuda itu tiba tiba ada di hadapannya, kali ini tak sanggup lagi menahan diri. Â Gadis ini tertawa terbahak bahak sampai terguling-guling ke tanah saking gelinya. Â Bibir Arya Dahana bengkak membesar sekali! Â Wajah itu terlihat sangat lucu seperti wajah para pemain sirkus keliling dengan bibir yang besar dan ndower!
Arya Dahana sebenarnya kesal sekali hatinya. Â Namun bibirnya sakit dan aneh sekali rasanya untuk sekedar mendamprat Arawinda. Â Bibirnya terasa sangat tebal sekali. Â Saat dia mengeluarkan sedikit suara untuk mencela.
"awwppha yhanwng kaw lawkukwan Awrawindwa..?
Gadis yang sudah terhenti ketawanya tadi, langsung saja meledak tertawa lagi. Â Bibir ndower itu sama sekali tidak bergerak namun ada suara yang berusaha keluar dari situ.
"Hi hi hi hi....xi xi xi xi...maaf Arya... habis kamu sama sekali tidak mendengarkan yang aku katakan...kamu malah enak-enakan tidur.."
Arya Dahana mencoba tersenyum. Â Arawinda terbelalak ketakutan. Â Bibir besar dan ndower itu kalau tersenyum malah mengerikan! Arya Dahana menghentikan senyumnya dengan kesal. Â Dia tahu seperti apa wajahnya kalau melihat arti wajah Arawinda. Â Pemuda ini lalu duduk lagi bersila dan...tidur.
Arawinda ikut menghempaskan tubuhnya ke rumput dan bersila memulihkan tenaga. Â Tenaganya banyak terkuras habis saat melawan sihir dan teluh Raja Danyang Blambangan tadi, sekaligus juga terserap karena banyaknya dia tertawa menyaksikan kelucuan Arya Dahana.
Suasana hening memaku lereng Gunung Raung ke dalam kegelapan sore. Â Suara siamang terdengar dari kejauhan. Â Seperti suara rintihan yang merindukan sinar surya, yang sebentar lagi akan lenyap ditelan keangkuhan malam.
***********
Bersambung Bab XII
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H