Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air dan Api, Idu Geni

12 Maret 2019   07:52 Diperbarui: 12 Maret 2019   07:56 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sudahlah kek...jangan lagi berpura pura.  Aku tahu kau memang berniat jahat kepadaku.  Yang aku tidak tahu adalah, kita tidak saling mengenal, tapi kau seperti menyimpan sebuah dendam kepadaku.."

Kakek ini terdiam seribu bahasa.  Hanya matanya yang kecil sekarang berubah berkilat kilat marah.

"Anak muda, aku tahu kau adalah anak dari si keparat Arya Prabu.  Orang yang telah membunuh saudara saudaraku dengan kejam.  Keparat itu telah mati.  Namun dendamku belum habis hingga tujuh turunannya aku habiskan!" 

Mulut si kakek menyeringai seperti orang yang haus akan darah.

Arya Dahana terpekur sejenak mendengar ucapan si kakek.  Ayahnya membunuh orang dengan kejam?  Rasanya itu tidak mungkin sama sekali.  Meski dia hanya sebentar menghabiskan waktu bersama ayahnya, tapi dia yakin sekali bahwa ayahnya bukan orang yang berdarah dingin.  Kalaupun menghabisi saudara orang ini, pasti alasannya sangat kuat.  Dan melihat betapa culas dan jahatnya kakek ini, Arya Dahana yakin ayahnya bukanlah orang yang patut disalahkan atas kematian mereka.

Pemuda ini menggerakkan tangan membebaskan totokan di tubuh si kakek.  Begitu terbebas dari totokan, kakek ini tanpa ragu ragu langsung menyerang Arya Dahana dengan dahsyat.  Gerakan dan pukulannya cukup hebat.  Tapi belum cukup hebat untuk bisa merobohkan Arya Dahana yang seperti kilat lagi menghindar dan kembali menotok tubuh si kakek.

Pemuda ini sudah menduga bahwa kakek ini pasti tidak ragu ragu menyerangnya begitu dibebaskan dari totokan.  Kakek yang kembali berdiri dengan kaku akibat totokan kedua kalinya ini melotot ke Arya Dahana dengan penuh kemarahan.

Sebelum Arya Dahana membuka mulutnya, terdengar siutan angin pukulan dahsyat yang mengarah padanya.  Kali ini angin pukulan yang datang jauh lebih kuat dibanding pukulan si kakek.  Arya Dahana menggerakkan tangannya menangkis.

"Dukkk... dukkk...desssss...haiyaaaahhh..!"

Sosok penyerang Arya Dahana itu terpelanting ke belakang sambil berteriak kaget.  Sosok itu kemudian bangkit berdiri sambil mengusap usap pinggangnya yang sakit usai bergulingan di tanah.  Sosok penyerang ini adalah seorang kakek yang lebih tua lagi dari si kakek pertama.  Tubuhnya yang tinggi kurus berbaju hitam hitam.  Tongkat berkepala tengkorak di tangannya jauh lebih besar dan berkilauan dibanding punya kakek yang pertama.

"Aku...Raja Danyang Blambangan baru kali ini berhadapan dengan pemuda setangguh dirimu anak muda!  Sebutkan namamu dan kenapa kau mengganggu muridku ini?!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun