Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air dan Api, Idu Geni

12 Maret 2019   07:52 Diperbarui: 12 Maret 2019   07:56 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Begitu bayangan mereka hilang dari pandangan.  Arawinda menoleh ke arah Arya Dahana dan berkata pelan dengan nada sedikit takjub,

"Arya, ternyata kau masih hidup...seharusnya kau mengabari Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya.  Kedua gadis itu sangat terpukul karena menganggap dirimu sudah mati.  Apalagi Dewi Mulia Ratri, dia terlihat putus asa karena merasa bersalah telah menjatuhkan tangan maut kepadamu.."

Arawinda kemudian bercerita panjang lebar apa yang terjadi sepeninggal Arya Dahana terjatuh ke jurang laut Ngobaran.  Arya Dahana menghela nafas tanpa berusaha menjawab pertanyaan ataupun menyela.  Pemuda ini malah bertanya balik.

"Bagaimana kau bisa kesini Arawinda?...dan terimakasih telah menolongku tadi.  Ilmu sihirmu luar biasa...mengendalikan orang orang mati?....hiiihhh..."

Arawinda tersenyum simpul.  Dia mengira pemuda ini tidak mau membahas tentang Dewi Mulia Ratri.  Mungkin pemuda ini sangat sakit hati gadis sunda itu melukainya dan bahkan menjatuhkannya ke jurang laut Ngobaran.

Arawinda tidak tahu bahwa sebenarnya berita yang tadi dia sampaikan adalah sebuah berita kejutan bagi Arya Dahana.  Ratri mengkhawatirkan keadaannya dan bahkan hingga jatuh pingsan saking merasa bersalahnya?  Ini ajaib!  Lalu kenapa gadis itu tega menyerang dan memukulnya begitu dahsyat?  Ini misteri!  Paling tidak ada satu hal yang diketahuinya.  Dia tidak perlu menghindari Ratri.  Ini sesuatu yang menyenangkan baginya. Sebuah tujuan hidup baginya!

Melihat Arya Dahana komat-kamit sendiri, lalu tersenyum-senyum sendiri dan akhirnya mengerutkan kening dan setelah itu tersenyum-senyum lagi, Arawinda menjadi jengkel.  Pemuda ini sepertinya sudah sinting!  Jangan-jangan pemuda ini geli melihat dirinya.  Tanpa sadar, Arawinda memperhatikan dirinya sendiri selama beberapa jeda.  Bajunya bagus dan tidak ada yang aneh dengan tubuhnya. 

Ingin rasanya dia maju dan menampar pemuda tengil yang sedang cengar cengir sendiri itu.  Namun dia sedang kehabisan tenaga.  Lagipula apa salahnya dengan cengar cengir sendiri?  Biar sajalah.  Itu haknya. 

Arawinda memberi isyarat kepada pemuda itu untuk mendekat.  Sembari masih dengan cengar cengir tidak jelas, Arya Dahana mendekati Arawinda.

"Arya, aku harus meminta bantuanmu...sudikah kiranya kau membantuku?"

"Bantuan apa Arawinda?"  Arya Dahana menyahut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun