Mohon tunggu...
Miftahul Jannah
Miftahul Jannah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Belajar dan Pembelajaran

25 Mei 2024   13:34 Diperbarui: 25 Mei 2024   13:46 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

  1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Base Learning)

  2. Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Base Learning)

     Pembelajaran Berbasis Masalah yang berasal dari bahasa Inggris Problem Based Learning (PBL) adalah suatu metode pendidikan yang diawali dengan pemecahan masalah. Namun, siswa membutuhkan pengetahuan segar untuk mengatasi tantangan ini secara efektif. Intinya, pemanfaatan kerangka instruksional meningkatkan efektivitas proses pengajaran dan pembelajaran. Pemanfaatan model pembelajaran pada hakikatnya memberikan kontribusi terhadap efektivitas belajar mengajar. Kemajuan suatu pembelajaran di kelas dapat diukur dari kemajuan proses pembelajaran yang berkelanjutan. Keberhasilan pembelajaran sangat bergantung pada kemahiran guru dalam mengelola kelas, penguasaan bahan ajar, pemanfaatan metode pengajaran, penerapan model pembelajaran, penggabungan media pembelajaran, dan pemanfaatan sumber daya pendidikan lainnya yang menunjang keberhasilan pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah, disebut juga dengan Problem Based Learning atau PBL, dikenal dengan model Pembelajaran Berbasis Masalah.

     Nor Khakim dkk, mengutip dari Ibrahim dan Nur,  dalam Rusman, model pembelajaran ini (PBL) adalah suatu metode pembelajaran yang bertujuan untuk menumbuhkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa dalam konteks dunia nyata, sekaligus menekankan pada pengembangan kemampuan belajar mandiri.

     Nor Khakim dkk mengutip dari Arends, dalam Putra, model Pembelajaran Berbasis Masalah ini atau PBL ditandai dengan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada masalah otentik, memungkinkan siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, menumbuhkan keterampilan tingkat tinggi dan kemampuan inkuiri, menumbuhkan kemandirian, dan meningkatkan rasa percaya diri.

     Sedangkan dalam artikel lain, Hardika menjelaskan bahwa Model Pembelajaran Berbasis Masalah atau PBL merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengatasi masalah-masalah fakta di dunia nyata untuk membangun pengetahuannya, meningkatkan keterampilan dan penyelidikannya, menumbuhkan kemandirian, dan meningkatkan rasa percaya diri.

     Model Pembelajaran Berbasis Masalah atau PBL berakar pada filosofi John Dewey, yang menganjurkan pengajaran yang memanfaatkan keingintahuan dan kreativitas bawaan siswa. Dewey menekankan pentingnya pendekatan pendidikan yang menstimulasi pikiran siswa untuk memperoleh berbagai keterampilan belajar non-tradisional di semua mata pelajaran. Menurut Dewey, pembelajaran harus dihubungkan dengan pengalaman siswa sehari-hari, karena konteks alami ini menawarkan peluang untuk keterlibatan otentik dan hasil pembelajaran yang bermakna. Dalam konteks ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013) memandang PBL sebagai model pendekatan pembelajaran yang menumbuhkan perkembangan kemampuan siswa, berkolaborasi dalam kelompok untuk mengatasi tantangan dunia nyata. Permasalahan yang disajikan dalam PBL berfungsi untuk menyulut rasa ingin tahu siswa dan mendorong keterlibatan mereka dalam proses pembelajaran.

     Wina Sanjaya menguraikan tiga ciri utama Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL), yaitu:

  1. PBL melibatkan serangkaian kegiatan belajar aktif, mendorong siswa untuk terlibat dalam berpikir, berkomunikasi, mengelola data, dan menarik kesimpulan, daripada mendengarkan dan menghafal secara pasif.

  2. Kegiatan pembelajaran dalam PBL difokuskan pada pemecahan masalah, menjadikan masalah sebagai pusat proses pembelajaran. Pembelajaran memerlukan adanya tantangan agar berlangsung secara efektif.

  3. Pemecahan masalah dalam PBL dilaksanakan melalui pendekatan berpikir ilmiah, yaitu melibatkan penalaran deduktif dan induktif secara sistematis dan empiris, dengan bertumpu pada data dan fakta.

     Baron mengidentifikasi ciri-ciri utama model Problem Based Learning (PBL) sebagai berikut:

  1. Memanfaatkan masalah fakta yang otentik.

  2. Menekankan pemecahan masalah sebagai fokus inti pembelajaran.

  3. Memungkinkan siswa menentukan tujuan pembelajaran.

  4. Mengalihkan peran guru menjadi fasilitator.

     Model ini juga bercirikan dengan menggunakan masalah kehidupan nyata sebagai alat pembelajaran untuk meningkatkan pemikiran kritis dan kemampuan pemecahan masalah. Di samping memperoleh konsep-konsep penting, peran guru dipusatkan pada membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan mengarahkan diri sendiri. Pembelajaran berbasis masalah melibatkan penerapan pemikiran tingkat lanjut dalam situasi yang berpusat pada masalah, yang mencakup proses pembelajaran itu sendiri.

     Model Pembelajaran Berbasis Masalah atau PBL ini memerlukan pengajuan pertanyaan atau masalah dunia nyata, menekankan hubungan interdisipliner, penyelidikan otentik, kerja sama dan penciptaan karya juga demonstrasi. Berbeda dengan metode pengajaran tradisional yang berfokus pada penyampaian informasi, Pembelajaran Berbasis Masalah bertujuan untuk menumbuhkan pemikiran kritis dan keterampilan pemecahan masalah siswa bukan dibuat untuk membantu pendidik dalam menyampaikan informasi yang cukup kepada siswa. Salah satu tujuan utama dari model pembelajaran ini adalah untuk mendorong pengembangan pemikiran kritis dan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Berbeda dengan pendekatan pembelajaran tradisional yang hanya berfokus pada perolehan pengetahuan prosedural, pembelajaran berbasis masalah menekankan tujuan pembelajaran yang lebih luas di luar hafalan. Oleh karena itu, penilaian dalam model ini lebih dari sekadar tes atau tidak hanya cukup dengan tes, dengan fokus pada evaluasi pekerjaan yang dihasilkan siswa dan memfasilitasi diskusi tentang hasil mereka. Penilaian dalam proses digunakan untuk mengevaluasi tugas siswa sepanjang proses pembelajaran. 

     Penilaian proses bertujuan untuk memberikan guru wawasan tentang bagaimana siswa mendekati pemecahan masalah, mengamati demonstrasi pengetahuan dan keterampilan mereka, dan mengevaluasi kinerja mereka. Menurut Airasian (dikutip dalam Hosnan), penilaian kinerja memungkinkan siswa untuk untuk menampilkan kemampuan mereka dalam konteks otentik. Mengingat permasalahan kehidupan nyata dapat bersifat dinamis dan bergantung pada konteks, pengembangan kurikulum hendaknya tidak hanya berfokus pada konten tetapi juga merancang model pembelajaran yang selaras dengan tujuan kurikulum. Model-model ini harus memberdayakan siswa untuk secara aktif menumbuhkan pola pikir untuk memecahkan masalah dan belajar adaptif.

     Peran guru pada Model Pembelajaran Berbasis Masalah atau PBL ini yaitu Guru harus menerapkan metodologi pembelajaran yang mendorong otonomi siswa, pengembangan holistik, dan pembelajaran seumur hidup. Suasana pembelajaran yang diciptakan oleh guru harus menumbuhkan pemikiran reflektif, penilaian kritis, dan teknik pemecahan masalah yang mahir. Peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah sangat bervariasi dari peran mereka di ruang kelas tradisional.

     Dalam pembelajaran berbasis masalah, guru secara konsisten mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain:

  1. Merancang dan melaksanakan permasalahan dunia nyata untuk menjamin siswa mencapai tujuan pembelajaran.

  2. Bertindak sebagai pelatih siswa untuk memfasilitasi pemecahan masalah, pembelajaran mandiri, dan pembelajaran kolaboratif antar teman sebaya.

  3. Mendorong siswa untuk memandang dirinya sebagai pemecah masalah yang aktif.

     Selain itu, guru dalam pembelajaran berbasis masalah berkonsentrasi pada:

  1. Memfasilitasi proses pemecahan masalah dengan mendorong pergeseran pemikiran siswa, menumbuhkan keterampilan inkuiri, dan mendorong pembelajaran kooperatif.

  2. Membekali siswa dengan strategi pemecahan masalah, meningkatkan kemampuan penalaran, metakognisi, berpikir kritis, dan berpikir sistem.

  3. Berfungsi sebagai jembatan proses informasi dengan membimbing siswa dalam meneliti informasi, menavigasi lingkungan belajarnya, mengakses berbagai sumber informasi, dan membuat koneksi.

     Guru dapat mengambil beberapa langkah untuk mempersiapkan siswa menghadapi pembelajaran berbasis masalah:

  1. Membantu siswa dalam mengubah pola pikirnya.

  2. Memperjelas konsep pembelajaran berbasis masalah dan menguraikan pola-pola yang akan ditemui siswa.

  3. Memberikan gambaran mengenai siklus pembelajaran berbasis masalah, strukturnya, dan batasan waktu.

  4. Komunikasikan tujuan, hasil, dan harapan pembelajaran dengan jelas.

  5. Melengkapi siswa untuk menangani pembaruan dan tantangan yang mungkin mereka hadapi.

  6. Memastikan siswa merasa berdaya dan mampu mengatasi masalah.

  1. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Base Learning)

     Menurut Barrow yang dikutip dari jurnal milik Arief Ageng Sanjaya, beberapa karakteristik atau ciri-ciri utama model pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut:

  1. Penekanan pada pembelajaran yang berpusat pada siswa,

  2. Lingkungan belajar kelompok kecil,

  3. Guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing

  4. Penyajian masalah secara terstruktur sebagai rangsangan pembelajaran,

  5. Promosi pembelajaran mandiri untuk memperoleh informasi baru, dan

  6. Pemanfaatan masalah sebagai sarana untuk menumbuhkan keterampilan pemecahan masalah klinis.

          Pembelajaran berbasis masalah memerlukan lingkungan belajar di mana masalah berfungsi sebagai titik fokus pembelajaran. Proses pembelajaran dimulai dengan penyajian suatu masalah, yang merangsang siswa untuk memperluas pengetahuannya sambil berusaha memecahkannya. Dalam pencarian solusi yang layak, siswa diminta untuk mendefinisikan masalah, mengumpulkan informasi yang relevan, mengeksplorasi solusi potensial, menilai alternatif, dan menarik kesimpulan. Keberhasilan pelaksanaan langkah-langkah ini menghasilkan perolehan pengalaman dan wawasan baru. Pemahaman dan emosi individu memainkan peran penting dalam membentuk bagaimana individu memandang dan berpartisipasi dalam aktivitas matematika.

     Pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan permasalahan terbuka dan berpotensi menimbulkan kekacauan. Dalam kekacauan ini, siswa memanfaatkan kecerdasan mereka yang beragam melalui diskusi dan penelitian untuk mengidentifikasi masalah mendasar. Tahapan berurutan yang dilakukan siswa dalam pendekatan pembelajaran berbasis masalah meliputi:

  1. Identifikasi masalah atau permasalahan, 

  2. Definisi masalah atau permasalahan, 

  3. Mengumpulkan fakta yang ada di dunia nyata

  4. Menghasilkan hipotesis,

  5. Melakukan penelitian,

  6. Membingkai ulang permasalahan,

  7. Menghadirkan alternatif, dan

  8. Mengusulkan solusi.

  1. Implikasi (dampak)

     Model Pembelajaran Berbasis Masalah atau PBL memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan atau kemahiran siswa untuk memahami pengetahuan dalam kerangka pemecahan masalah, karena hal ini meningkatkan kapasitas mereka untuk mengingat dan menerapkan pengetahuan pada situasi baru.

     Pemanfaatan pembelajaran berbasis masalah dibenarkan pada artikel karena kemampuannya untuk:

  1. Membekali siswa dengan kesiapan yang lebih baik menerapkan apa yang telah mereka pelajari ke skenario dunia nyata.

  2. Memberdayakan siswa untuk secara aktif menghasilkan pengetahuan daripada hanya mengkonsumsinya, dan

  3. Menumbuhkan pengembangan keterampilan komunikasi, penalaran, dan berpikir kritis di kalangan siswa.

     Menurut Hani A. Wesha yang dikutip oleh Arief Ageng Sanjaya menjelaskan dalam jurnalnya mengenai pengaruh baik dari penggunaan Model Pembelajaran Berbasis Masalah sebagai strategi pengajaran memberikan kontribusi besar terhadap pengembangan keterampilan berpikir reflektif siswa. Jenis pemikiran ini melibatkan refleksi diri terhadap belajar (proses metakognitif) yang dapat dikembangkan dalam lingkungan pendidikan formal. Terlibat dalam pemikiran reflektif meningkatkan kapasitas siswa untuk mengkonversi pengetahuan implisit menjadi pemahaman eksplisit dan bermakna.

     Pembelajaran berbasis masalah menanamkan pendekatan sistematis seperti metode ilmiah. Selain itu, siswa terlibat dalam pembelajaran aktif melalui penerapan praktis, serupa dengan berpikir kritis, yang memfasilitasi pembentukan pengetahuan terperinci. Pendekatan pembelajaran ini menekankan perolehan pengetahuan dan keterampilan, serta retensi memori.

     Pemikiran kritis sejalan dengan prinsip-prinsip ilmiah, yang mencakup analisis yang adil, sintesis, evaluasi, dan pertimbangan etis dalam argumen. Schafersman menganjurkan untuk mengintegrasikan pemikiran kritis ke dalam pengajaran di kelas karena hal itu mendorong keterlibatan dan aktivitas siswa, mengatasi dimensi intelektual dan perilaku. Berpikir kritis memupuk keterampilan praktis, memfasilitasi perumusan kesimpulan, dan mempengaruhi keyakinan dan tindakan.

     Pembelajaran berbasis masalah mempunyai potensi untuk ditingkatkan rasa percaya diri siswa melalui berbagai cara, seperti pemilihan masalah, penciptaan dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran, serta pemberian bantuan bila diperlukan. Observasi terhadap aktivitas belajar siswa menunjukkan tingginya semangat dan ketekunan dalam memecahkan masalah, aktif terlibat dalam diskusi kelompok, dan bersedia mencari bimbingan teman atau guru tanpa ragu. Akibatnya, Pembelajaran Berbasis Masalah dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kompetensi emosional siswa, tidak hanya memupuk sikap positif tetapi juga mendorong pemikiran dan tindakan konstruktif.

     Pembelajaran berbasis masalah secara signifikan mempengaruhi tiga aspek siswa: kognitif, afektif, dan keterampilan.

  • Dari segi kognisi, metode ini mendorong siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam dan keterampilan pemecahan masalah yang lebih baik.

  • Secara afektif, siswa cenderung menumbuhkan sikap positif terhadap materi pembelajaran dan menjadi lebih percaya diri dalam proses pembelajaran.

  • Mengenai keterampilan, Pembelajaran berbasis masalah memfasilitasi pengembangan keterampilan berpikir kritis, komunikasi, dan kerja tim.

     Pembelajaran berbasis masalah adalah metode pengajaran yang canggih dan signifikan dimana masalah dunia nyata menjadi titik fokusnya. Ini menekankan pendekatan pembelajaran yang menarik dan berfokus pada siswa yang menggunakan masalah-masalah dunia nyata yang tidak terstruktur sebagai landasan untuk memulai perjalanan pembelajaran. Mengatasi tantangan dalam belajar akan meningkatkan kedalaman pemahaman siswa, sehingga meningkatkan kemampuan mereka untuk mempertahankan pengetahuan secara efektif.

  1. Teori Belajar yang Melandasi Pembelajaran Berbasis Masalah

     Beberapa teori pendidikan dasar yang mendasari pembelajaran berbasis masalah meliputi:

  1. Teori belajar bermakna dari David Ausubel

     Menurut Ausubel yang dikutip oleh Rusman terdapat perbedaan antara pembelajaran bermakna dan pembelajaran hafalan. Pembelajaran yang bermakna memerlukan menghubungkan informasi baru dengan kerangka kognitif yang ada pada pelajar, sedangkan pembelajaran hafalan melibatkan menghafal tanpa hubungan yang bermakna dengan pengetahuan sebelumnya. Pembelajaran berbasis masalah (PBL) memfasilitasi pembelajaran bermakna dengan mendorong siswa menghubungkan informasi baru dengan kerangka kognitif yang sudah ada sebelumnya.

  1. Teori Belajar Vygotsky

     Pertumbuhan intelektual terjadi ketika individu dihadapkan pada situasi baru dan menuntut, mendorong mereka untuk terlibat dalam upaya pemecahan masalah. Dalam upayanya untuk memahami, individu berusaha untuk mengintegrasikan informasi baru dengan basis pengetahuan yang ada, sehingga membangun pemahaman baru.

     Ibrahim dan Nur menegaskan bahwa teori Vygotsky menyoroti pentingnya interaksi sosial antar teman sebaya dalam menumbuhkan munculnya ide-ide segar dan meningkatkan perkembangan intelektual siswa. Konsep ini selaras dengan pembelajaran berbasis masalah, yang menekankan pada menghubungkan informasi baru dengan kerangka kognitif siswa melalui kegiatan pembelajaran kolaboratif dan pertukaran interpersonal dengan teman sekelas atau sebaya.

  1. Teori Belajar Jerome S. Bruner

     Metode penemuan melibatkan siswa dalam proses menemukan kembali konsep, bukan mengungkap informasi baru, sehingga memungkinkan mereka terhubung dan memahami pengetahuan yang sudah ada dengan cara yang lebih dalam. Hal ini sejalan dengan kecenderungan bawaan manusia untuk memperoleh pengetahuan secara aktif, sehingga menghasilkan hasil yang lebih efektif. Dalam pendekatan ini, siswa secara mandiri mencari solusi permasalahan, didukung dengan pengetahuan yang menyertainya, sehingga mengarah pada terciptanya pengetahuan yang benar-benar bermakna.

  1. Tujuan Pembelajaran Model Problem Based Learning

     Dalam model Pembelajaran Berbasis Masalah, peran guru dalam mencapai tujuan pendidikan melibatkan membimbing dan mengarahkan siswa sepanjang proses pemecahan masalah. Lebih lanjut, tujuan Pembelajaran Berbasis Masalah mencakup membantu siswa dalam menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan meningkatkan keterampilan pemecahan masalah mereka.

     Nor Khakim dkk mengutip dari Putra, bahwa tujuan keseluruhan pemanfaatan Model Problem Based Learning yaitu untuk membantu siswa meningkatkan pemikiran kritis, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual mereka sekaligus menawarkan mereka kesempatan untuk terlibat dalam beragam peran orang dewasa melalui pengalaman otentik atau partisipasi simulasi.

     Dari sudut pandang diatas, jelaslah bahwa tujuan utama model Pembelajaran Berbasis Masalah adalah untuk menumbuhkan dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa, memberdayakan mereka untuk menganalisis, mengevaluasi, dan memecahkan masalah kompleks secara efektif melalui keterlibatan aktif dengan tantangan dunia nyata, menumbuhkan keterampilan kolaboratif, dan meningkatkan kemandirian.

  1. Tahapan Pembelajaran dengan Model Pembelajaran Berbasis Masalah

  1. Tahap 1

     Selama orientasi siswa terhadap masalah, guru menguraikan tujuan pembelajaran, mendiskusikan logistik yang diperlukan, menyajikan fenomena, demonstrasi, atau narasi yang mendorong pemecahan masalah, dan mendorong keterlibatan siswa dalam mengatasi masalah yang dipilih.

  1. Tahap 2

     Dalam menyusun studi siswa, guru membantu mereka dalam mendefinisikan dan menyusun tugas-tugas pembelajaran yang berkaitan dengan masalah yang mereka hadapi.

  1. Tahap 3

     Dalam membimbing penyelidikan individu dan kelompok, guru memainkan peran penting dalam memotivasi siswa untuk secara aktif mengumpulkan informasi yang relevan, melakukan eksperimen, dan menyempurnakan penjelasan mereka untuk memecahkan masalah secara efektif. Proses ini memupuk keterlibatan yang lebih dalam dengan pembelajaran ketika siswa mengembangkan kemampuan mereka untuk menganalisis secara kritis dan menerapkan pengetahuan dalam konteks praktis.

  1. Tahap 4

     Dengan memfasilitasi pengembangan dan penyajian hasil kerja, guru membantu siswa dalam merencanakan secara cermat dan menghasilkan berbagai keluaran, termasuk laporan, video, dan model. Selain itu, guru mendukung siswa dalam mengkomunikasikan pekerjaan mereka secara efektif kepada teman-temannya, sehingga meningkatkan pembelajaran kolaboratif dan memupuk pemahaman komprehensif tentang materi pelajaran.

  1. Tahap 5

     Dalam menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah, guru memainkan peran penting dalam mendukung siswa saat mereka merefleksikan dan menilai penyelidikan, metodologi, dan hasil yang mereka capai. Praktek reflektif ini memungkinkan siswa untuk memperdalam pemahaman mereka tentang pendekatan pemecahan masalah dan meningkatkan kemampuan mereka untuk menganalisis secara kritis pengalaman belajar mereka sendiri.

   Berdasarkan pembahasan ini maka dapat penulis simpulkan bahwa "Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) adalah pendekatan pendidikan yang berfokus pada pemecahan masalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan pembelajaran mandiri dalam konteks dunia nyata. Ini menekankan keterlibatan aktif siswa, kolaborasi, dan penerapan metode berpikir ilmiah. PBL memandu siswa untuk mengidentifikasi, mendefinisikan, dan mengatasi masalah otentik, yang bertujuan untuk meningkatkan pemikiran kritis, kemampuan pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual. Melalui tahapan terstruktur dalam identifikasi masalah, pengumpulan data, perumusan hipotesis, dan pengujian solusi, PBL memberikan pengalaman belajar komprehensif yang mempersiapkan siswa menjadi pemecah masalah yang efektif dan pembelajar seumur hidup."

  1. Langkah-Langkah Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah

     Penerapan pembelajaran berbasis masalah memerlukan pertimbangan yang matang karena karakteristiknya yang berbeda dan berbeda dengan model pendidikan lainnya; satu kesalahan dapat memengaruhi tahapan selanjutnya.

  1. Langkah pertama model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) adalah mengenalkan siswa pada permasalahan, mendorong mereka untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada disekitarnya. Permasalahan dalam PBL harus menarik dan belum terpecahkan, memotivasi siswa untuk mencari solusi. Selain itu, permasalahan yang ditangani dalam pendekatan PBL harus kompleks, memungkinkan adanya banyak hipotesis dan mendorong siswa menyelesaikan permasalahan tersebut. Selain itu, isu-isu yang dibahas dalam model PBL harus diselesaikan permasalahan yang dapat menghasilkan hipotesis ganda, sehingga menuntut siswa untuk mengasah kemampuan pemecahan masalah dan menggunakan pemikiran kreatif untuk menyelesaikannya.

     Merangsang kemampuan berpikir kreatif siswa sangat penting ketika melakukan brainstorming memilih jalan keluar yang paling tepat untuk mengatasi masalah ini sangatlah penting. Teori Ausubel yang menekankan pada asimilasi bermakna dalam pembelajaran mendukung peningkatan kemampuan berpikir kreatif dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, pemilihan materi hendaknya bermakna dan disesuaikan dengan tahap perkembangan siswa. Dengan memilih masalah yang selaras dengan tingkat perkembangan siswa, keterlibatan dapat ditingkatkan, yang mengarah pada meningkatkan kreativitas dan meningkatkan prestasi pendidikan.

  1. Langkah kedua melibatkan pengorganisasian siswa belajar. Melalui interaksi sosial dengan teman sebaya dan gurunya, sebuah konsep yang didukung oleh teori belajar Vygotsky. Untuk memudahkan hal tersebut, pendidik mengatur siswa menjadi beberapa kelompok untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Strategi pengelompokan ini sejalan dengan penekanan Vygotsky pada pentingnya interaksi sosial dalam pembelajaran.

     Siswa dirangsang oleh diskusi antara teman sebaya dan guru. Mereka berusaha untuk bertukar informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah, sehingga memastikan bahwa informasi yang diperlukan dibagikan secara efektif selama proses pembelajaran, yang mengarah pada peningkatan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran. Tahap kedua ini menghormati kemampuan siswa untuk menghasilkan ide-ide orisinal. Pengelompokan pada tahap ini melatih siswa berpikir lancar dan fleksibel. Kedua aspek tersebut merupakan komponen penting dari keterampilan berpikir kreatif.

  1. Langkah ketiga melibatkan fasilitasi penyelidikan independen dan kelompok. Siswa berkolaborasi untuk terlibat dalam tugas pemecahan masalah yang diberikan oleh guru. Sepanjang perjalanan pembelajaran, siswa melakukan eksperimen untuk menguji hipotesis yang dirumuskan pada tahap sebelumnya. Melalui eksperimen ini, siswa memperoleh pengalaman langsung. Melakukan eksperimen meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi karena mereka menerima pengetahuan melalui bahan bacaan atau sumber yang dibagikan teman sebayanya, serta melalui diskusi dengan guru. Selain itu, siswa memperoleh pengetahuan pengalaman dari hasil eksperimen mereka. Pendekatan ini memang didukung oleh teori pembelajaran Bruner yang menekankan perlunya transformasi informasi secara bertahap untuk mengembangkan kemampuan kognitif siswa. Menurut Bruner, ada tiga tahapan dalam proses ini:

  1. Representasi Aktif. Ini adalah tahap awal perolehan informasi. Informasi diterima dari sumber eksternal, dan interpretasi sederhana atas informasi dianggap sebagai pengetahuan.

  2. Representasi Ikonik: Pada tahap ini terjadi pemrosesan informasi. Siswa menyesuaikan informasi yang diperoleh dengan mengklasifikasikannya secara objektif.

  3. Representasi Simbolik: Tahap terakhir melibatkan pemeriksaan atau pelaksanaan "uji kecukupan" atau verifikasi keakuratan informasi yang diproses.

     Tahapan ini selaras dengan gagasan bahwa siswa mengembangkan pemahaman mereka melalui keterlibatan aktif dengan materi, yang difasilitasi oleh aktivitas pemecahan masalah dan eksperimen.

  1. Langkah keempat meliputi pengembangan dan presentasi dalam memproduksi dan memamerkan karyanya. Melalui proses ini, siswa menjalani pelatihan untuk meningkatkan kelancaran berpikir dan keterampilan elaborasi, yang keduanya merupakan komponen berpikir kreatif. Keterampilan tersebut diasah melalui presentasi siswa yang berfungsi untuk memamerkan karyanya. Proses penyajian tidak hanya menumbuhkan kemampuan berpikir lancar dan elaborasi tetapi juga menunjukkan penguasaan terhadap materi yang dipelajari.

     Tahap ini berpotensi meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan prestasi akademik siswa. Hal ini sejalan dengan teori Piaget yang menekankan pentingnya berbagai tahapan dalam perolehan pengetahuan. Di sini, siswa dapat bereksperimen dan menerapkan pemahamannya, memungkinkan mereka untuk mereka mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui eksperimen yang dilakukannya. Dengan memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengembangkan karyanya, mereka menerapkan pengetahuannya dan mengintegrasikannya dengan hasil eksperimen.

  1. Langkah kelima, siswa menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah, bekerja sama dengan guru untuk menilai prosedur dari tahap sebelumnya. Langkah ini membantu mengembangkan kemampuan berpikir lancar dan adaptif siswa. Pemikiran cair muncul ketika siswa merefleksikan dan menyempurnakan proses belajar mereka. Mereka belajar memperbaiki kesalahan, memberikan pembenaran, dan mempertahankan penalaran logis, sehingga meningkatkan kelancaran berpikir mereka. Keterampilan berpikir fleksibel juga dipupuk melalui kesempatan untuk menanggapi pertanyaan yang diajukan baik oleh guru maupun teman sebaya. Ketika siswa secara konsisten memberikan jawaban yang tepat logis dan beralasan, hal itu menunjukkan kemampuan berpikir fleksibelnya mengalami peningkatan.

     Langkah lain dalam Model Pembelajaran Berbasis Masalah, sebagaimana dikemukakan oleh John Dewey, seorang pakar pendidikan asal Amerika, terdiri dari enam langkah sebagaimana diuraikan di bawah ini:

  1. Merumuskan masalah: Guru membantu siswa dalam menentukan masalah yang ingin dipecahkannya selama proses pembelajaran, padahal guru sudah menentukan masalahnya.

  2. Pada fase analisis masalah, siswa terlibat secara kritis dengan masalah dari berbagai sudut pandang.

  3. Mereka melanjutkan dengan merumuskan hipotesis yang konsisten dengan pengetahuan yang ada, diikuti dengan melakukan penelitian menyeluruh.

  4. Mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.

  5. Selanjutnya, siswa menguji hipotesis mereka dan menarik kesimpulan berdasarkan apakah hipotesis tersebut valid atau terbantahkan.

  6. Terakhir, mereka merumuskan rekomendasi pemecahan masalah berdasarkan kesimpulan dan hipotesis mereka.

     Menurut David Johnson & Johnson (Trianto, 2010), langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

  1. Mendefinisikan masalah: Guru merumuskan masalah yang berkaitan dengan peristiwa tertentu yang mengandung konflik, memastikan siswa memiliki pemahaman yang jelas tentang masalah yang diteliti. Guru dapat meminta pendapat siswa tentang masalah yang sedang dibahas untuk menumbuhkan keterlibatan dan pemahaman.

  2. Mendiagnosis masalah, yang meliputi identifikasi penyebab masalah.

  3. Merumuskan strategi alternatif: Menghasilkan berbagai pendekatan untuk mengatasi masalah, dibahas di kelas.

  4. Menguji setiap tindakan: Menggali dan menilai setiap tindakan yang dirumuskan melalui diskusi kelas.

  5. Menentukan dan menerapkan strategi yang dipilih: Memutuskan strategi mana yang akan diterapkan.

  6. Evaluasi: Menilai proses dan hasil dari strategi yang dipilih.

     Secara umum langkah-langkah model pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut:

  1. Mengenali Masalah: Dimulai dengan siswa menjadi sadar akan masalah yang memerlukan penyelesaian. Hal ini memerlukan identifikasi atau melihat kesenjangan dalam lingkungan manusia dan sosial.

  2. Merumuskan Masalah: Melibatkan memastikan kejelasan dan konsistensi dalam persepsi masalah dan data terkait yang diperlukan untuk pengumpulan. Hal ini bertujuan agar siswa dapat menetapkan prioritas mengenai permasalahan tersebut.

  3. Merumuskan Hipotesis: Siswa ditugaskan untuk menggambarkan hubungan sebab-akibat yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi dan mengusulkan berbagai solusi potensial.

  4. Mengumpulkan data: Mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan ilustrasi terkait, menyajikannya dalam beragam format agar mudah dipahami.

  5. Menguji Hipotesis. Siswa diharapkan memiliki keterampilan menelaah dan mendiskusikan hubungannya dengan masalah yang diujikan.

  6. Menentukan Pilihan Solusi. Kemampuan memilih alternatif solusi yang layak dan dapat dilaksanakan, serta mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin timbul sehubungan dengan alternatif yang dipilih.

     Berdasarkan pembahasan ini maka dapat disimpulkan bahwa "Penerapan pembelajaran berbasis masalah (PBL) merupakan pendekatan yang bernuansa dan terstruktur yang memerlukan perhatian cermat karena sifatnya yang unik dan membedakannya dengan model pembelajaran lainnya. Sebagaimana diuraikan oleh John Dewey, PBL melibatkan enam langkah penting: membimbing siswa untuk mengidentifikasi masalah yang telah ditentukan, menganalisisnya secara kritis, merumuskan hipotesis yang relevan, mengumpulkan data yang diperlukan, menguji hipotesis tersebut, dan mengembangkan rekomendasi berdasarkan temuan. David Johnson & Johnson menambahkan penekanan lebih lanjut pada pendefinisian dan diagnosis masalah, mengeksplorasi strategi alternatif melalui diskusi kelas, menerapkan strategi yang dipilih, dan melakukan evaluasi menyeluruh. Secara keseluruhan, PBL mengharuskan siswa untuk mengenali dan mendefinisikan masalah dengan jelas, merumuskan dan menguji hipotesis, mengumpulkan dan menafsirkan data, dan akhirnya menentukan dan menerapkan solusi yang layak, menumbuhkan pemikiran kritis dan keterampilan pemecahan masalah."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun