Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Boneka Mertua

16 Desember 2019   07:01 Diperbarui: 16 Desember 2019   20:10 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Intervensi sang mertua adalah api kecil, namun bisa berubah api besar yang bakal menghanguskan rumah tangga.

Bukan tanpa alasan Rianto memilih menjadi guru, daripada menjadi pengusaha  batik, suatu pekerjaan turun temurun dari keluarga Nizma, istrinya. Berulangkali sang mertua menawarinya meneruskan bisnis batik. Namun, Rianto kukuh menolak.

Satu jam lebih Rianto duduk di halte bus, sedikit resah menunggu bus jurusan Yogyakarta, kota kelahirannya. 

Hampir dua tahun ia menjalani profesi sebagai guru honorer di SMA swasta di Jogja. Ia ingin menyumbangkan ilmu menjadi guru, karena ia memang lulusan fakultas keguruan sebuah universitas di Jogja.

Terbersit dalam pikiran, Rianto ingin menerima pekerjaan dari mertuanya, tapi sikap ibu mertua yang otoriter membuat Rianto berpikir seribu kali lipat. 

Ia merasa pekerjaan itu hanyalah upaya mertua mengekangnya, agar ia bisa diperintah seenaknya.

Akibat menolak keinginan mertua, Rianto dan Nizma harus mencukupi kebutuhan hidup secara mandiri, tanpa harta sedikit pun dari mertua.

Sudah lama ia dilabeli sebagai menantu yang tak bisa apa-apa tanpa mertua. Kalau ia mengambil tawaran itu pasti keangkuhan sang mertua semakin menjadi-jadi.

Rianto memang lebih suka naik bus daripada mengendarai sepeda motor, yang lagi-lagi motor yang ditawarkan oleh ibu mertuanya. 

Rianto berangkat ke Jogja Selasa sore karena pagi hari  harus mengajar. Empat hari dalam seminggu ia mengajar di SMA PERSADA, pada Rabu hingga Sabtu. Praktis hanya dua hari waktu luang untuk Nizma dan Airin, anaknya yang berusia 1 tahun.

Mungkin benar perkataan orang tuanya, Rianto terlalu muda untuk membina  rumah tangga. Saat itu ia baru saja mendapat gelar sarjana dan belum bekerja. 

Tergolong nekat kalau ia melamar Nizma, teman sekampus yang dipacarinya sejak semester pertama.

Bus yang ditunggu-tunggu telah tiba. Rianto beranjak dari tempat duduk. Ia berkemas-kemas memeriksa barang bawaannya. 

Sesaat mata Rianto tertuju pada sebuah handphone yang tergeletak di kursi sampingnya. Ia melihat sekeliling tapi tak ada orang yang dilihat. Ia pun mengambil hp itu dengan harapan akan mengembalikan kepada sang pemilik.

Di dalam bus ia  termenung. Nizma beberapa bulan terakhir minta dibelikan HP. Telepon genggam yang dimiliki istrinya rusak. Tapi gaji seorang guru honorer seberapa banyak, sih? Hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari atau malah kurang. 

Terbersit di angan membuang simcard di hp temuannya itu, lalu membeli simcard baru dan memberikan hp tersebut kepada istrinya. 

Nuraninya memberontak. Beginikah moral seorang pendidik? Tapi aku kan tidak mencuri, aku berhak terhadap HP ini karena aku yang menemukannya. Sudah selayaknya barang ini menjadi milikku. 

Tanpa pikir panjang ia menonaktifkan HP tersebut lalu dimasukkan dalam tas.
Ia teringat Nizma. Pasti ia senang jika  pulang nanti Rianto memberi kejutan sebuah HP.

Andrianto beranjak menuju bus. Ia meletakkan tas di jok kiri yang kosong. Kemudian ia merebahkan tubuhnya. 

Entah kapan nasibnya akan berubah. Ia ingin punya kendaran sendiri hingga tak perlu naik bus dan tentunya ia ingin punya rumah sendiri dan bekerja di Solo saja. Ia ingin  dekat dengan keluarga, hidup selayak leluarga utuh, berkumpul dengan anak dan istri.

Semua keresahan Rianto tak jadi soal andai Nizma mau diboyong ke Jogja, menempati rumah orang tua Rianto.

Niat itu beberapakali ia diskusikan dengan Nizma. Namun, niat tinggallah niat. Sang ibu mertua tak memberi izin. Apalagi Nizma adalah anak tunggal dan ayahnya meninggal setahun yang lalu karena kecelakaan.

Selain mempunyai beberapa kios di Pasar Klewer, keluarga Nizma mempunyai  toko batik cabang di Jakarta.  Ayahnya bertindak sebagai kepala toko, yang seminggu dalam sebulan ke Jakarta.  Ia mengalami kecelakaan saat mengantar batik. Mobil yang ditumpangi sang ayah mertua diseruduk truk tronton. 

"Kamu kira Ibu tak sanggup memberi makan keluargamu apa?" 

Begitu kalimat sang ibu mertua yang terngiang di telinga Rianto. Kalimat yang membuat kuping panas dan tak tenang hidup di Solo.

Perkataan dan intervensi sang mertua adalah api kecil, namun bisa berubah api besar yang bakal menghanguskan rumah tangganya.

Ia semakin mantap meninggalkan Solo. Kata-kata sang mertua yang nylekit alias bikin sakit hati, tak hanya sekali didengarnya. Hampir setiap ia berada di rumah di Solo.

Rianto sering disebut suami yang tidak bertanggung jawab, menelantarkan istri  dan tak sanggup memberi nafkah keluarga.

"Menyesal aku punya menantu kamu, kerjanya cuma makan," ucap ibu mertua suatu hari di ruang makan.

"Aku juga menyesal punya mertua seperti Anda."

Entah darimana keberanian muncul, tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari mulut Rianto.

"Cuuh..." 

Percikan ludah "wangi" sang mertua mendarat di wajah Rianto.

Rianto marah setengah mati. Harga dirinya terkoyak. Barangkali jika tidak karena Nizma dan Airin, ia bakal mengambil pisau dapur lalu menikamkan tepat di dada mertuanya.

Niat jahat diurungkannya. Ia ingin tetap menjadi ayah yang baik, suami yang baik. Walaupun takkan pernah bisa menjadi menantu yang baik, menantu penurut bagai boneka.

"Sabar mas Rianto. Ibuk memang begitu," Nizma menenangkannya.

Rianto sadar, kehadirannya di keluarga Nizma tidak diharapkan. Ia seperti boneka hidup. Tak bisa berbuat keputusan apa-apa. 

Sang mertua ingin menguasai rumah tangganya. Tak sependapat sedikit dengan mertua pasti dicerca. Apalagi berani membantah.

***

Malam itu ketika Rianto pulang dari Jogja, secara terang-terangan ia berkata kepada ibu mertua. Ia utarakan niat dengan kalimat sebaik-baiknya. Ia ingin memboyong Nizma dan Airin ke Jogja. 

Ibu mertuanya marah besar. Namun, Rianto bergeming.

Rianto masuk kamar. Ia memasukkan baju ke koper. Nizma datang membawakan secangkir teh hangat untuk Rianto.

"Ada apa sih, Mas kok ribut lagi sama ibu?" tanya Nizma

"Aku punya surprise buat kamu"

"Surprise?! Surprise apaan? Aku dibelikan HP ya? Tapi kok gara-gara HP ibu jadi marah besar? Apa karena Mas pernah menyuruhku mengembalikan HP pemberian Ibu?" Nizma memberondong Rianto dengan pertanyaan.

Disinggung tentang HP, Rianto teringat HP yang ia temukan. Walaupun ia sangat membutuhkan HP itu, tapi ia tak ingin memberi sesuatu yang tidak halal untuk keluarganya. 

Ia mengurutkan niat mengganti simcard HP itu. Barang itu diserahkan ke pemilik saat Rianto pulang je Solo.

"Aku akan memboyongmu ke Jogja. Aku bosan menjadi boneka."
"Tapi Ibu...?"

Rianto berpikir sejenak. Sejelek-jelek menantu dan sekeras kepala sang mertua, ia adalah ibu kandung dari istri yang sangat dicintainya.

"Kamu anaknya pasti kamu lebih tahu hatinya dan bagaimana cara mengambil dan meluluhkan hati kerasnya."

Nizma tak mau membantah Rianto. Bagaimanapun  suami adalah kepala keluarga. Ia juga tak ingin melihat suaminya menderita batin lebih lama lagi.

Andriyanto, Nizma dan si kecil Airin sudah bersiap meninggalkan rumah itu.

"Kalian mau kemana?" kata ibu mertua

Nizma menunduk sambil mengelus rambut Airin yang tidur di pelukannya. 

Rianto terdiam. 

Sang mertua mengambil pigura lalu dilempar ke lantai, tepat depan kaki Rianto. Seketika Andri merah padam.

"Biarlah hanya Bapakmu yang merasakan pahitnya hidup jauh dari keluarga. Aku tak ingin hal itu terulang pada menantuku. Kalau kamu dan istrimu mau mengurusi usaha batik, aku tidak akan sekeras ini."

Nizma  mengambil pigura bergambar ayahnya. Lalu diberikan pada sang suami.

Rianto tertegun. Nizma disuruh membawa koper ke kamar.

***

 *) Pertama kali dipublikasikan di buletin sastra Rumput, Mei 2009. Didokumentasikan di laman Kompasiana dengan beberapa perubahan kalimat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun