Rianto marah setengah mati. Harga dirinya terkoyak. Barangkali jika tidak karena Nizma dan Airin, ia bakal mengambil pisau dapur lalu menikamkan tepat di dada mertuanya.
Niat jahat diurungkannya. Ia ingin tetap menjadi ayah yang baik, suami yang baik. Walaupun takkan pernah bisa menjadi menantu yang baik, menantu penurut bagai boneka.
"Sabar mas Rianto. Ibuk memang begitu," Nizma menenangkannya.
Rianto sadar, kehadirannya di keluarga Nizma tidak diharapkan. Ia seperti boneka hidup. Tak bisa berbuat keputusan apa-apa.Â
Sang mertua ingin menguasai rumah tangganya. Tak sependapat sedikit dengan mertua pasti dicerca. Apalagi berani membantah.
***
Malam itu ketika Rianto pulang dari Jogja, secara terang-terangan ia berkata kepada ibu mertua. Ia utarakan niat dengan kalimat sebaik-baiknya. Ia ingin memboyong Nizma dan Airin ke Jogja.Â
Ibu mertuanya marah besar. Namun, Rianto bergeming.
Rianto masuk kamar. Ia memasukkan baju ke koper. Nizma datang membawakan secangkir teh hangat untuk Rianto.
"Ada apa sih, Mas kok ribut lagi sama ibu?" tanya Nizma
"Aku punya surprise buat kamu"