Tergolong nekat kalau ia melamar Nizma, teman sekampus yang dipacarinya sejak semester pertama.
Bus yang ditunggu-tunggu telah tiba. Rianto beranjak dari tempat duduk. Ia berkemas-kemas memeriksa barang bawaannya.Â
Sesaat mata Rianto tertuju pada sebuah handphone yang tergeletak di kursi sampingnya. Ia melihat sekeliling tapi tak ada orang yang dilihat. Ia pun mengambil hp itu dengan harapan akan mengembalikan kepada sang pemilik.
Di dalam bus ia  termenung. Nizma beberapa bulan terakhir minta dibelikan HP. Telepon genggam yang dimiliki istrinya rusak. Tapi gaji seorang guru honorer seberapa banyak, sih? Hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari atau malah kurang.Â
Terbersit di angan membuang simcard di hp temuannya itu, lalu membeli simcard baru dan memberikan hp tersebut kepada istrinya.Â
Nuraninya memberontak. Beginikah moral seorang pendidik? Tapi aku kan tidak mencuri, aku berhak terhadap HP ini karena aku yang menemukannya. Sudah selayaknya barang ini menjadi milikku.Â
Tanpa pikir panjang ia menonaktifkan HP tersebut lalu dimasukkan dalam tas.
Ia teringat Nizma. Pasti ia senang jika  pulang nanti Rianto memberi kejutan sebuah HP.
Andrianto beranjak menuju bus. Ia meletakkan tas di jok kiri yang kosong. Kemudian ia merebahkan tubuhnya.Â
Entah kapan nasibnya akan berubah. Ia ingin punya kendaran sendiri hingga tak perlu naik bus dan tentunya ia ingin punya rumah sendiri dan bekerja di Solo saja. Ia ingin  dekat dengan keluarga, hidup selayak leluarga utuh, berkumpul dengan anak dan istri.
Semua keresahan Rianto tak jadi soal andai Nizma mau diboyong ke Jogja, menempati rumah orang tua Rianto.
Niat itu beberapakali ia diskusikan dengan Nizma. Namun, niat tinggallah niat. Sang ibu mertua tak memberi izin. Apalagi Nizma adalah anak tunggal dan ayahnya meninggal setahun yang lalu karena kecelakaan.